Menuju konten utama

Ditemukan Praktik Pungli dalam Pembuatan SKCK

Ombudsman, melalui investigasinya, menemukan sejumlah pelanggaran dalam proses mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

Ditemukan Praktik Pungli dalam Pembuatan SKCK
Pimpinan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) Ahmad Alamsyah Saragih (tengah) didampingi Kepala Perwakilan Ombudsman Sumut Abyadi Siregar (kanan) meninjau pelayanan perekaman data E-KTP di kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Medan, Sumatera Utara, Kamis (15/9). Ombudsman RI memantau proses pelayanan pembuatan kartu tanda penduduk elektronik (E-KTP) terkait kebijakan tenggat waktu perekaman data E-KTP oleh Kemendagri di seluruh Indonesia untuk mengetahui efektivitas penyediaan pelayanan yang diberikan pemerintah terhadap masyarakat. ANTARA FOTO/Septianda Perdana/ama/16

tirto.id - Ombudsman Republik Indonesia menemukan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oknum petugas dalam proses pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK).

"Kami menemukan beberapa bentuk malaadministrasi [seperti] indikasi meminta uang, menunda layanan, melayani yang tidak sesuai standar," kata Komisioner Ombudsman Republik Indonesia Adrianus Meliala di kantornya, Karet Kuningan, Jakarta, Senin (27/11/2017).

Contohnya soal biaya pembuatan. Berdasarkan ‎Peraturan Pemerintah Nomor 60 tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, biaya pembuatan SKCK per 6 Januari 2017 hanya Rp30 ribu. Praktiknya oknum petugas bisa memungut uang melebihi nominal tersebut.

"Ini pungli namanya," kata Adrianus.

Permintaan uang tak resmi dalam proses pembuatan SKCK terjadi, misalnya, saat pemberian lembar legalisasi, saat pemohon mengurus persyaratan, atau ketika pemohon membayar biaya map.

Sedangkan penyimpangan prosedur pelayanan terjadi ketika petugas meminta pemohon menyertakan Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang telah dilegalisir oleh Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Disdukcapil) sebagai syarat pembuatan SKCK. Ini tidak ada dalam prosedur resmi.

Adrianus mengatakan segala bentuk penyimpangan itu terjadi karena di lokasi pembuatan tidak terdapat informasi pelayanan pembuatan SKCK yang jelas dan lengkap.

Malaadministrasi pelayanan SKCK juga terjadi karena tidak optimalnya pengawasan, rendahnya integritas petugas, dan tidak adanya efek jera terhadap pelaku malaadministrasi.

"Para penyelenggara layanan tidak memahami bahwa biaya pembuayan SKCK adalah PNBP yang tidak diperbolehkan lagi dikenai pungutan di luar biaya resmi," ujar Adrianus.

Temuan-temuan ini adalah hasil investigasi inisiatif Ombudsman sendiri, atau dilakukan bukan berdasarkan aduan masyarakat sebagaimana investigasi yang kerap mereka lakukan. Terkait ini, Adrianus menyimpulkan bahwa masyarakat enggan melapor karena salah satunya jumlah pungutan tidak resminya relatif keci, belum lagi prosedur pelaporan yang dinilai rumit.

Selain itu juga karena pada dasarnya masyarakat tidak begitu peduli dengan penyimpangan ini.

Investigasi pelayanan SKCK dilakukan selama bulan Oktober. Obyek investigasi dilakukan di wilayah hukum Polda Metro Jaya (Polres Jakarta Selatan dan Polres Jakarta Timur), Polda Bengkulu (Polres Bengkulu), Polda Sumatera Selatan (Polres Banyuasin), Polda Papua (Polres Kota Jaya Pura), Polda Jawa Barat (Polrestabes Bandung dan Polres Cimahi), Polda Sulawesi Selatan (Polrestasbes Makassar, Polres Gowa, dan beberapa polsek di wilayah keduanya).

"Metode investigasinya investigasi tertutup (melakukan pengamatan), analisis ketentuan dan perundangan, dan wawancara terbuka," kata Adrianus.

Selain diseminasi informasi, hasil temuan ini juga jadi landasan Ombudsman untuk meminta kepolisian untuk segera memperbaiki pembuatan SKCK. Beberapa cara yang dapat dilakukan adalah dengan menyusun standar pelayanan di seluruh daerah, menyediakan informasi yang jelas mengenai standar layanan dan syarat pembuatan, meningkatkan pengawasan terhadap petugas di lapangan, serta menempatkan petugas pelayanan yang berintegritas dan berkompeten.

"Agar pemohon yang bingung menjadi jelas dan menutup celah administrasi," ujar Adrianus.

Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Komisaris Jendra Putut Eko Bayuseno mengaku senang dengan temuan ini. Menurutnya temuan lembaga negara yang berdiri sejak 2000 ini adalah masukan berharga bagi polisi demi memperbaiki layanan kepada masyarakat.

Putut meminta masyarakat turut berpartisipasi mencegah dan menghentikan praktik malaadministrasi dalam pelayanan SKCK. Ia mengatakan Mabes Polri telah menentukan syarat-syarat pembuatan SKCK yang bisa diunduh masyarakat melalui internet.

"Kalau ada penyimpangan ditunjukkan [ke petugas]: 'petunjuknya dari Mabes Polri seperti ini kok bapak lakukan penyimpangan?'," ujar Putut.

Di kesempatan yang sama Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Polri Komisari Jendra Pol Lutfi Lubihanto mengatakan proses "berbelit" dalam pembuatan SKCK bisa jadi karena petugas di lapangan kelewat hati-hati. Menurutnya ini dapat dimaklumi karena SKCK adalah catatan resmi dan akan jadi rujukan pihak yang berkepentingan dengan pemegang SKCK. Karena itu proses berbelit tidak bisa lantas selamanya dimaknai sebagai bentuk malaadministrasi.

"SKCK ini catatan mengenai kriminal seseorang. Bisa jadi sifat kehati-hatiannya itu muncul karena itu digunakan [institusi lain dalam menilai seseorang]. Bisa jadi itu yang menyebabkan [petugas] menambah prosedur," papar Luthfi.

Luthfi mengatakan pihaknya sudah berupaya memperkecil praktik malaadministrasi dalam pembuatan SKCK. Sepertinya misalnya dengan membuka layanan online dan meminta penilaian pihak independen terhadap layanan yang dilakukan Polri. "Memang ada beberapa hal yang harus disempurnakan," katanya.

Baca juga artikel terkait PUNGLI atau tulisan lainnya dari Jay Akbar

tirto.id - Hukum
Reporter: Jay Akbar
Penulis: Jay Akbar
Editor: Rio Apinino