tirto.id - Hasil investigasi Ombudsman RI menemukan sejumlah dugaan maladministrasi dalam kegiatan penataan dan penertiban pedagang kaki lima (PKL) di DKI Jakarta.
Anggota Ombudsman RI, Adrianus Meliala menjelaskan hasil investigasi itu menyimpulkan proses penataan PKL di DKI Jakarta rawan dengan praktik penyalahgunaan wewenang, pungutan liar, dan pembiaran yang dilakukan oleh aparat Satpol PP maupun pejabat Kelurahan dan Kecamatan.
Menurut dia, potensi maladministrasi tersebut berimbas pada rendahnya kualitas kinerja Satpol PP DKI Jakarta sehingga penertiban PKL kerap menimbulkan keresahan serta ketidakpastian.
“Ombudsman RI memperoleh data dengan melakukan investigasi tertutup dengan objek beberapa wilayah di DKI Jakarta,” kata Adrianus dalam siaran pers tentang pemaparan hasil investigasi itu yang dilansir laman resmi Ombudsman RI pada Kamis (2/11/2017).
Pemantauan tim Ombudsman beberapa kali menemui fakta aparat Satpol PP tidak melakukan tindakan apapun kepada PKL yang berjualan bukan pada tempatnya di Tanah Abang, Stasiun Manggarai dan Stasiun Tebet. Padahal aparat Satpol PP jelas sedang melakukan pemantauan langsung di lapangan.
Sementara berdasar Pasal 25 Perda Nomor 8 Tahun 2007, setiap orang atau badan dilarang berdagang, berusaha di bagian jalan, trotoar, halte, jembatan penyeberangan, dan tempat umum di luar ketentuan. Tindakan pengabaian itu tak sesuai amanat Pasal 33 Pergub DKI Jakarta No 221 Tahun 2009.
Adrianus melanjutkan, Tim Ombudsman juga menemukan indikasi Kewenangan Satpol PP yang diatur dalam PP Nomor 6 Tahun 2010 dalam menegakkan Perda berupa penertiban penataan PKL disalahgunakan dengan mengizinkan pedagang berjualan dan menarik insentif. Sementara instansi yang seharusnya berwenang dalam penataan PKL adalah Dinas UMKM melalui Camat dan Lurah.
Tim Ombudsman menemukan pula penyalahgunaan peran Ketua RT dengan memposisikan diri sebagai pemberi izin kepada PKL. Misalnya, temuan itu terjadi di sekitar mall Ambassador Jakarta. Aliran dana dari Ketua RT diduga kuat sampai pada pejabat kelurahan hingga kecamatan.
Investigasi Ombudsman menyimpulkan pada hampir semua kasus PKL, yang berjualan bukan pada lokasi peruntukannya, ada setoran uang kepada aparat untuk menjamin keamanan dan dibolehkannya mereka berjualan.
Dalam penjelasan Adrianus, Tim Ombudsman juga menemukan bukti dugaan tindakan tidak patut yang dilakukan oleh aparat Satpol PP DKI di Tanah Abang. Salah satu preman di lokasi tersebut mengaku mempunyai kedekatan dengan aparat Satpol PP sehingga dapat menjamin PKL tidak dirazia.
Berdasar temuan-temuan itu, Ombudsman menyimpulkan ada tiga persoalan dalam proses penataan PKL di DKI selama ini. Pertama, penataan PKL di DKI rawan praktik maladministrasi. Kedua, pengawasan Pemprov DKI dalam penertiban PKL belum optimal. Ketiga, penyalahgunaan wewenang membuka ruang transaksional yang justru merugikan PKL.
Karena itu, untuk konteks penataan PKL di DKI, Ombudsman merekomendasikan kepada Gubernur DKI Anies Baswedan agar melakukan sejumlah langkah perbaikan.
Pertama, menata sistem pengawasan kinerja Satpol PP. Kedua, melakukan penataan ruang sesuai peraturan serta meningkatkan koordinasi di internal Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Ketiga, memerintahkan Inspektorat Pemprov DKI Jakarta untuk mendalami temuan-temuan dalam investigasi Ombudsman.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom