tirto.id - Suatu hari pada 2015 silam, sebuah pesawat Boeing 787 Dreamliner yang tengah mengudara di ketinggian jelajah dengan tujuan California, Amerika Serikat, menghadapi masalah ganjil nan mencemaskan. Sistem pesawat tiba-tiba mati dan menggiring semua instrumen penerbangan, termasuk mesin, berhenti mendadak.
Beruntung sang kapten yang dilatih untuk tak panik dan siap sedia menghadapi pelbagai masalah berhasil menghidupkan kembali sistem dalam tempo singkat dan dengan cara amat sederhana: menekan tombol "on".
Penyebab sistem pesawat itu mati, uniknya, juga tak kalah sederhana. Matt Parker dalam Humble Pi: When Math Goes Wrong in the Real World (2020) menyebut masalahnya adalah karena si pesawat menggunakan prosesor yang tak lebih canggih dari yang tersemat di ponsel pintar. Ini tentu saja ironis karena pesawat itu didaulat sebagai pinnacle of technology atau 'puncak teknologi'.
Cip atau otak pesawat ini--yang memanfaatkan arsitektur 32 bit sehingga hanya mampu menjalankan sistem operasi jadul seperti Windows 95--hanya mampu menjaga System Time sampai 4.294.967.295 tik (1 tik = 1 milidetik). System Time adalah salah satu fundamen dari sebuah sistem operasi yang berfungsi menyelaraskan segala aplikasi agar tetap berjalan. Umumnya, setelah mencapai hitungan tik tertinggi, cip mengulang penghitungan secara otomatis.
Mekanisme inilah yang gagal terjadi pada Boeing 787 Dreamliner tersebut. Cip tidak mengulang perhitungan saat tik mencapai angka tertinggi.
Sistem pesawat tak pernah dimatikan berbulan-bulan atau dibiarkan dalam kondisi idle ketika berada di permukaan tanah--mungkin agar cepat kembali beroperasi sehingga mampu mendulang penumpang sebanyak-banyaknya. Inilah yang menyebabkan sistem pesawat buta waktu hingga membuatnya mematikan diri sendiri, memberhentikan generator listrik pesawat.
Apa yang dilakukan sang kapten tidak lain adalah memaksa cip menghitung ulang tik dengan restart.
Dari contoh kasus ini dapat dilihat bagaimana pesawat terbang, yang terdiri atas lebih dari enam juta komponen segala ukuran, membutuhkan perawatan serta perhatian ekstra dari pilot, teknisi, serta si pemilik. Untuk dapat terus mengudara, semua bagian harus diperhatikan, sekecil dan sesepele apa pun--yang kemudian dicatat dalam maintenance logbook.
Menurut Quentin Brasei, pendiri firma aviasi ACI Aviation Consulting, perawatan dan perhatian bahkan lebih berharga dari pesawat itu sendiri karena itu menentukan apakah ia layak mengudara atau tidak.
Elemen teknis yang menentukan nasib pesawat tersebut kini menghilang di dunia penerbangan Rusia. Mantan jawara angkasa ini sekarang tengah tertatih memastikan pelbagai pesawat di negerinya tetap dapat mengudara karena alasan politis.
Lanskap Penerbangan Rusia
Uni Soviet adalah penguasa angkasa sepanjang abad ke-20, sebelum pecah menjadi banyak negara yang salah satunya adalah Rusia. Ini semua berawal dari kerja Konstantin Tsiolkovsky yang merilis studi berjudul "Exploration of Space with Reactive Device" pada 1903 dan menjadikan riset tersebut sebagai landasan untuk membangun terowongan angin (wind tunnel) pertama di dunia. Hal ini membuatnya dikenal sebagai Bapak Astronautika Teoretis.
Setelah itu berbagai perangkat udara bermunculan. Uni Soviet menjadi negeri pertama yang menciptakan pesawat multi-mesin (Ilya Muromets), pengebom berat (Ruskii Vitiaz), tergesit (S-16), hingga roket dan wahana/satelit yang mengorbit Bumi.
Pasca Perang Dunia Kedua, tak kurang dari 25 persen total pesawat yang berlanglang buana di dunia bertitel "made in Soviet Union". Bahkan, untuk pesawat militer, sumbangsih Soviet untuk dunia penerbangan mencapai angka 40 persen.
Ada latar belakang politis yang memicu Soviet berhasrat berkuasa di angkasa--dan benar-benar mencapainya. Menurut Tamilla Curtis dalam "How High Will Russian Aviation Fly?" (World Review of Intermodal Transportation Research Vol. 3., 2010), menggapai angkasa menjadi fokus karena negeri suku-bangsa Rus ini tak memiliki wilayah air hangat yang cukup untuk membangun kekuatan maritim dan khawatir kelemahan ini dieksploitasi oleh Inggris (raja dunia pra-Perang Dunia Kedua) atau AS (raja baru pasca-Perang Dunia Kedua).
Keinginan ini dapat lebih cepat terealisasi manakala Soviet berhasil menguasai sebagian Jerman pada 1945. Mereka ketiban durian runtuh berupa pengetahuan baru nan mutakhir di bidang kedirgantaraan dari ilmuwan/teknisi Nazi.
Soviet lewat tangan Kementerian Produksi Pesawat mulai membangun dunia aviasinya dengan membentuk BUMN di bidang kedirgantaraan. Untuk mengerek ekonomi wilayah-wilayah non-Rusia, Soviet pun mendesentralisasikan pengembangan/produksi pesawat. Biro rancang bangun pesawat, misalnya, dibangun di Kiev; biro pengetesan pesawat didirikan di Zhukovsky; lalu biro penerbangan khusus (roket) di Baikodur.
Tak seperti AS atau Eropa, Soviet menitikberatkan dunia aviasinya untuk militer, bukan sipil. Bahkan, tatkala negeri yang dijuluki Kerajaan Jahat oleh Presiden AS Ronald Reagan ini membentuk maskapai sipil pertama, Aeroflot, tugas utama mereka tetap memenuhi kebutuhan angkatan bersenjata.
Clinton D. Howie dalam "(Re)learning to Fly: Russian Aviation in the Post-Soviet Era" (Journal of Air & Com Vol. 467., 1995) menyebut Aeroflot, yang dibentuk secara formal oleh Kepala Direktorat Armada Udara Sipil (kemudian menjadi Kementerian Penerbangan Sipil) pada 1923 merupakan "operasi khusus" yang lahir untuk "mengaburkan perbedaan antara kebutuhan diplomatik, sipil, hingga ekonomi guna memenuhi tugas-tugas militer."
Salah satu realisasinya adalah ketika Aeroflot menerbangkan tentara serta intel KGB gelombang pertama ke Cekoslowakia pada 1968 dan Afganistan pada 1979 untuk menginisiasi serangan.
Aeroflot pun bertugas menjadi "pamflet" untuk mengabarkan kekuatan komunis. Lewat maskapai ini Soviet mencoba memengaruhi dunia bahwa merekalah yang terbaik (dan selayaknya diikuti). Tugas ini diterjemahkan Aeroflot dengan terbang lebih banyak ke negara-negara Dunia Ketiga. Jumlahnya mencapai dua-per-tiga total penerbangan internasional mereka.
Awalnya, kebijakan kedirgantaraan yang menitikberatkan pada kebutuhan militer tampak merupakan keputusan yang tepat. Namun, tatkala Perang Dingin berakhir dan Soviet pecah, kebijakan ini justru membuat Rusia, sang ahli waris, ketiban sial. Steven E. Harris dalam "The World's Largest Airline: How Aeroflot Learned to Stop Worrying and Became a Corporation" (Russian Review of Social Research Vol. 13., 2021) menyebut pasca Soviet runtuh, industri penerbangan yang dibangun secara desentralisasi membuat Rusia kehilangan kekuatan untuk membangun/mengembangkan pesawat.
Biro rancang bangun menjadi milik Ukraina dan diubah namanya menjadi Antonov. Lalu, Rusia dan Kazakhstan juga sempat bersitegang memperebutkan biro khusus di Baikodur--yang akhirnya dikuasai Rusia.
Jika di era keemasan Soviet berhasil memproduksi 500-an pesawat pertahun, Rusia hanya dapat membuat sekitar 10 saja pada periode yang sama. Kini Boeing dan Airbus (pesawat sipil) serta Lockheed Martin (pesawat militer) melangkah tanpa perlawanan dari sang (mantan) penguasa angkasa.
Lantas bagaimana dengan Aeroflot? Di era Soviet, mereka tidak peduli dengan pendapatan karena sepenuhnya menggantungkan hidup dari subsidi negara. Ini ditunjukkan dengan menghadirkan rute ke seluruh wilayah Soviet padahal tak menguntungkan dari sisi bisnis.
Kala Soviet bubar, Aeroflot pun akhirnya terpecah belah. Memiliki lebih dari 500 ribu pengawai serta 4.000 pesawat, maskapai ini bertransformasi menjadi 300-an perusahaan berbeda--Aeroflot sendiri masih eksis. Saat pesawat "made in Soviet" telah usang dimakan usia, maskapai-maskapai ini akhirnya memilih menggunakan pesawat buatan Boeing (dari AS) dan Airbus (dari Prancis), entah dengan cara membeli atau menyewa.
Tentu tak ada yang salah dengan pilihan Aeroflot dan pelbagai maskapai turunannya menggunakan pesawat buatan Boeing dan Airbus--yang mengusung teknologi mutakhir. Namun, karena hasrat Vladimir V. Putih menguasai Ukraina, pilihan ini berlabuh malapetaka. Karena melanggar kedaulatan negara lain, Rusia diembargo AS dan sekutunya menggunakan pesawat Barat, termasuk dilarang mengakses suku cadang yang diperlukan untuk membuat pesawat tetap laik terbang.
Maskapai juga diiperintahkan untuk mengembalikan pesawat sewaan. Jumlahnya diperkirakan mencapai 600-an atau lebih dari 50 persen total pesawat yang mengangkasa di langit Rusia.
Rusia tak terima dengan embargo ini. Mereka pun melawan balik dengan melarang maskapai terbang ke luar negeri.
Masalahnya, meskipun dapat melayani penerbangan domestik, pesawat merupakan produk yang perlu dirawat secara berkala dan rinci agar tetap layak terbang. Dengan diembargo, hal ini sulit dijalankan, jika tak mau disebut hampir mustahil. Akibatnya, menurut sebuah konsultan penerbangan, sampai akhir Mei lalu langit Rusia hanya diisi 876 pesawat, padahal pada akhir Februari atau sebelum invasi jumlahnya sebanyak 968.
Dunia penerbangan Rusia, singkatnya, kini berada di ujung tanduk--dan akan semakin kritis andai invasi ke Ukraina tak segera dihentikan.
Editor: Rio Apinino