tirto.id - Bekas anggota DPR RI Damayanti Wisnu Putranti mangkir dari panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini (5/8/2019).
Selain Damayanti, saksi untuk kasus yang sama, Ketua DPRD Provinsi Maluku Edwin Adrian Huwae juga mangkrak tanpa keterangan dari panggilan KPK.
"Tidak didapatkan informasi terkait ketidakhadiran dua saksi ini," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah kepada wartawan, Senin (5/8/2019).
Keduanya dipanggil untuk kasus tindak pidana korupsi (TPK) penerimaan hadiah terkait proyek di Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat 2016.
"Yang bersangkutan dipanggil sebagai saksi untuk tersangka HA [Direktur Komisaris PT Sharleen Raya, Hong Artha]," kata Febri.
Hong Artha John Alfred telah ditetapkan oleh KPK pada 2 Juli 2019 sebagai sebagai tersangka kasus korupsi proyek infrastruktur berupa pembangunan jalan di Kementerian PUPR. Hong Artha diduga bersama-sama memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara.
Damayanti Wisnu Putranti selaku Anggota DPR RI periode 2014-2019 merupakan pihak yang diduga menerima suap sebesar Rp 1 miliar pada November 2015.
Selain itu, terdapat Kepala Badan Pelaksana Jalan Nasional (BPJN) IX Maluku dan Maluku Utara, Amran HI Mustary yang diduga menerima uang sebesar Rp8 miliar dan Rp2,6 miliar.
HA dijerat melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a atau pasal S ayat (1) huruf b atau pasal13 UU 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Di sisi lain, Damayanti Wisnu Putranti sudah mendapatkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan, pada 26 September 2016 oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Politisi PDIP itu dinyatakan bersalah dan terbukti menerima suap proyek pelebaran jalan Tehoru-Laimu, Maluku, senilai Rp8,1 miliar.
Vonis untuk Damayanti ini lebih rendah dari tuntutan jaksa, yang meminta hakim menjatuhi hukuman 6 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan, serta pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik. Namun, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mengajukan banding.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Zakki Amali