tirto.id - Rest area atau tempat istirahat di jalan bebas hambatan (tol) sering jadi biang kemacetan saat puncak arus kendaraan di akhir pekan ataupun momen musim mudik. Perilaku pengendara yang berlama-lama di rest area, dan sebaran rest area yang belum merata jadi persoalan.
Sebaran rest area memang tak berkorelasi dengan panjang ruas tol. Ruas tol dari Jakarta-Cikampek yang hanya 73 km misalnya, punya rest area hingga lima lokasi atau rata-rata 14 km. Sedangkan Tol Cikopo-Palimanan (Cipali) yang panjangnya sampai 116 meter hanya punya tiga lokasi atau rata-rata 38 km. Bahkan untuk ruas tol ke arah timur Jakarta seperti Palimanan-Kanci (28 km) dan Kanci-Pejagan (36 km) masing-masing punya satu lokasi rest area.
Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi mengatakan jumlah rest area di Cipali perlu ditambah. Ia ingin ada rest area di setiap 20 km di Tol Cipali. "Tempat istirahat yang ada di Tol Cipali memang masih kurang, karena tol itu justru merupakan titik lelah pengemudi dari arah timur," kata Budi Karya dikutip dari Antara.
Keberadaan rest area sering jadi masalah saat ada volume kendaraan dalam jumlah besar. Jumlah kendaraan yang melebihi kapasitas tempat istirahat menimbulkan antrean panjang di pintu masuk rest area, SPBU, toilet, dan restoran. Kenyataan ini menimbulkan pertanyaan soal fungsi rest area sebagaitempat beristirahat.
Ketentuan soal rest area di tol mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2005 tentang jalan tol yang direvisi dengan PP No 30 tahun 2017, yang mengatur setiap jalan tol antarkota diwajibkan memilik tempat istirahat dan pelayanan atau rest area. "Disediakan paling sedikit satu untuk setiap jarak 50 km pada setiap jurusan". Semestinya ruas tol antara Jakarta-Cikampek hanya ada dua rest area.
Menurut Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PU dan Perumahan Rakyat Herry Trisaputra Zuna, jumlah rest area di jalan tol disesuaikan dengan rata-rata volume kendaraan yang melintas setiap hari. Artinya ketentuan jarak antar rest area bisa tak sesuai dengan ketentuan.
“Tol Cikopo-Palimanan misalnya, volume kendaraan itu sehari 12 ribu sampai 14 ribu, tapi ketika arus mudik bisa sampai 70 ribu. Kita tidak bisa mendesain (rest area) sesuai kebutuhan hari raya. Jika disesuaikan seperti itu, iya memang tidak penuh saat hari raya, tetapi di hari biasa sangat sepi,” kata Herry kepada Tirto.
Keberadaan rest area menjadi tidak sinkron antara aturan di atas kertas dengan keadaan di lapangan. Keberadaan rest area pada akhirnya tergantung dengan kepadatan kendaraan daripada pertimbangan jarak sesuai PP No 15 Tahun 2005.
“Standarnya jarak antar-rest area itu setiap 50 km, tetapi di tol Jakarta-Cikampek itu ada yang hanya 10 km jaraknya. Itu membuat mereka saling berkompetisi, bisa menjadi masalah,” kata Herry.
Dalam upaya menanggulangi kemacetan saat beban puncak arus kendaraan di tol, memang ada gagasan agar operator tol membuat rest area operasional atau semi permanen. Lokasi rest area ini sebagai alternatif untuk mendukung keberadaan rest area permanen saat akhir pekan atau musim tertentu seperti Lebaran atau Tahun Baru. "Dicari lahannya yang bisa dibuka, nanti rest area sementara itu ditutup saat hari biasa,” ujar Herry.
Di luar persoalan itu, apakah sebaran rest area lebih mengutamakan pertimbangan volume kendaraan, atau faktor jarak sebagai acuan utama untuk keselamatan pengendara?
Rest Area dan Kecelakaan
Keberadaan rest area memang punya peran penting dalam aspek keselamatan terutama mitigasi kecelakaan lalu lintas di jalan, sehingga keberadaannya tak hanya di jalan tol tapi juga di non tol. Kini berkembang konsep integrated rest area yang berada di jalan nasional atau non tol.
Ada dua integrated rest area yang menjadi pilot project atau percontohan, yakni di Rambut Siwi, Jembrana, Bali dan Trenggalek, Jawa Timur. Ketentuan rest area jalan arteri berjarak 25 km. Ketentuan jarak ini tentu mempertimbangkan aspek keselamatan dari faktor kelelahan pengendara.
Dalam sebuah laporan yang berjudul “Rest Areas – Reducing Accidents Involving Driving Fatigue” yang dipublikasikan Departemen Transportasi California tahun 2009, risiko kecelakaan akibat kelelahan meningkat di ruas jalan yang memiliki jarak antar rest area lebih dari 30 mil (48 km). Ini karena penurunan stamina dapat meningkatkan risiko kecelakaan semakin sering terjadi ketika pengendara melalui jalanan dengan rest area berjarak di atas 60 mil (96 km).
Pada laporan itu mengungkap potensi kecelakaan karena penurunan stamina dipengaruhi tingkat kepadatan jalanan. Jalan raya padat kendaraan dengan rest area berjarak lebih dari 30 mil lebih berpotensi menyebabkan kelelahan dibandingkan jalanan yang memiliki lalu lintas lengang dengan jarak rest area yang lebih dekat.
Pengaruh kelelahan terhadap risiko kecelakaan juga diulas oleh penelitian terbaru dari University of Kentucky. Seperti dilansir Safety and Health Magazine, para peneliti mengungkap dari 7.538 kecelakaan kendaraan komersial sejak 2005 sampai 2014, sebanyak 284 kasus di antaranya merupakan dampak dari kelelahan pengendara.
Penelitian ini juga mengungkap kecelakaan meningkat 2,5 kali lebih besar ketika melewati jalanan yang memiliki rest area berjarak 20-40 mil (32-64 km) antara satu dan lainnya. Bahkan, potensi bahaya naik tujuh kali lipat saat melintasi jalanan dengan rest area berjarak lebih dari 40 mil.
Berdasarkan hasil riset yang didapatkan, peneliti dari University of Kentucky menyarankan pemerintah federal untuk mengevaluasi lokasi rest area di jalan bebas hambatan.
Rest area tak terpisahkan dengan aspek pencegahan dari kecelakaan, terutama yang dipicu karena faktor kelelahan fisik pengendara. Jarak antar-lokasi rest area yang terlalu jauh bisa jadi persoalan yang memicu kecelakaan, dan di sisi lain banyaknya rest area menimbulkan persoalan kemacetan.
Pemerintah dan operator tol harus mengevaluasi soal pembangunan rest area, jangan hanya mengejar sisi komersial operator tol dari bisnis tempat istirahat.
Editor: Suhendra