Menuju konten utama

Dilan 1991, Makassar, dan Kekerasan

Di Makassar, protes atas film Dilan 1991 karena film itu mengandung adegan kekerasan berujung perusakan properti. Ironis?

Dilan 1991, Makassar, dan Kekerasan
Vanesha Prescilla (kiri dan Iqbaal Ramadhan, pemeran utama dari film Dilanku 1991. Instagram/Dilanku

tirto.id - Baru beberapa hari diputar, film Dilan 1991 sudah memperoleh penolakan di Makassar. Mengutip pemberitaan Gatra, penolakan disampaikan oleh kelompok mahasiswa yang menamakan dirinya Aliansi Mahasiswa Peduli Pendidikan Nasional kepada Dinas Pendidikan Kota Makassar. Alasannya: cerita film Dilan 1991 dianggap memuat adegan kekerasan yang bisa merusak institusi pendidikan.

“Kata mereka kurang memuliakan guru. Bahkan, ada bahasa mereka yang melecehkan profesi guru dan tidak sesuai dengan martabat pendidikan,” kata Kepala Dinas Pendidikan Kota Makassar, Rahman Bando, pada Kamis (28/2).

Selain itu, alasan penolakan lainnya adalah bahwa adegan-adegan romantis dalam film Dilan 1991 tidak sesuai dengan budaya kota Makassar. “Makassar ini berbeda dengan Bandung yang membuatkan Taman Dilan segala,” jelas Mika, salah satu koordinator aksi.

Di jagat Twitter, banyak beredar video memperlihatkan aksi tolak Dilan 1991 yang berujung kericuhan.

Stereotip Makassar sebagai Kota Tawuran

Aksi protes itu ramai diperbincangkan. Ada yang melihat bahwa aksi itu ironis: memprotes kekerasan, tetapi penyampaiannya disertai kekerasan.

"Mahasiswa di Makassar pada demo depan XXI supaya film DILAN tidak ditayangkan karena katanya bakal merusak generasi penerus bangsa. LO PADA YANG RUSAK WOI. URUS TUH SKRIPSI GADA KERJAAN APA. ANARKIS LAGI EWH. Terus yang demo COWOK semua. Kentara jomblonya, sih. Malu-maluin. Drrttt," tulis akun @jesshorangi di Twitter.

Ada pula yang merespons sinis, mengingatkan bahwa di Makassar, tawuran adalah hal jamak. "Tak perlu khawatir soal Dilan mengajarkan tawuran. Soal tawuran, anak Makassar tak perlu diajari siapa-siapa," tulis akun @trendingtopiq. Ia menyertakan tangkapan layar berita-berita yang memuat soal kekerasan mahasiswa di sana.

Tahun lalu, diberitakan Kompas, ratusan mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum serta Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin terlibat tawuran. Pemicunya yakni keributan yang sebelumnya terjadi di lapangan futsal. Tawuran menyebabkan puluhan kendaraan rusak dan sejumlah kaca gedung perkuliahan pecah.

Di awal 2018, tawuran lagi-lagi terjadi. Pelakunya: dua kelompok mahasiswa yang diduga berasal dari Fakultas Teknik dan Fakultas Bahasa Universitas Negeri Makassar (UNM). Tawuran diwarnai saling lempar batu dan molotov. Menurut keterangan polisi, tidak ada korban jiwa maupun luka akibat peristiwa ini.

Setahun sebelumnya, 2017, UNM kembali menjadi medan pertempuran. Pelakunya lagi-lagi mahasiswa Fakultas Teknik serta Fakultas Bahasa dan Sastra. Satu mahasiswa dilarikan ke rumah sakit setelah pangkal hidungnya terkena busur.

“Kejadian ini karena ada mahasiswa yang memprovokasi dengan melempar batu ke Fakultas Bahasa kemudian lari ke Fakultas Teknik,” terang Kepala Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, Komisaris Besar Endi Sutendi kepada Tempo.

Aksi tawuran pernah menyebabkan korban tewas, seperti yang terjadi pada 2012. Saat itu, puluhan mahasiswa Universitas Muslim Indonesia (UMI) terlibat tawuran di sekitar gedung Teknik Sipil yang terletak di Jalan Urip Sumoharjo. Korban tewas bernama Ibrahim, mahasiswa jurusan Teknik Elektro angkatan 2008. Hasil pemeriksaan memperlihatkan Ibrahim tewas karena tusukan badik di perutnya. Usai bentrokan, aparat Polsek Panakkukang melakukan penyisiran di beberapa laboratorium dan ruang kuliah. Polisi menemukan beberapa bilah keris, badik, dan beberapa anak panah.

Tawuran paling besar terjadi pada 1992. Publik mengenalnya dengan sebutan “Black September.” Waktu itu, gedung Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin dibakar sekelompok mahasiswa gabungan dari berbagai fakultas. Pemicunya adalah kekalahan dalam liga sepakbola Unhas. Keributan ini membikin Unhas rugi miliaran rupiah.

Biasanya, catat Gatra, tawuran terjadi antara Agustus dan September, manakala kampus-kampus di Makassar sedang menggelar orientasi mahasiswa baru. Saking seringnya ada tawuran, tabloid Unhas, Identitas, pada 1997, membikin karikatur bertajuk: “Paleolitikum, Megalitikum, dan Unhaslitikum”—dengan gambar batu-batuan, tulang-tulangan, busur panah, serta parang.

Falsafah siri' na pacce atau Faktor Lain?

Dalam makalah berjudul “Makna Tawuran: Studi Fenomenologis Pada Mahasiswa Universitas Hasanuddin Makassar” (PDF), Nur Indah Sari, Zaenal Abidin, dan Achmad Mujab Masykur menjelaskan aksi tawuran di Makassar, salah satunya, disebabkan oleh adanya sikap menjunjung tinggi harga diri. Dalam tradisi-budaya Bugis, ia disebut siri’ na pacce.

Konsep siri' na pacce sendiri merupakan prinsip hidup yang biasa dijunjung oleh masyarakat Bugis-Makassar. Siri' berarti rasa malu atau harga diri dan pacce berarti solidaritas atau persaudaraan. Pendek kata, siri' na pacce mendorong masyarakat Bugis-Makassar untuk senantiasa mempertahankan harga dirinya sebagai manusia.

Apabila falsafah ini tidak dibawa sebagai pegangan hidup, anggota masyarakat tak ubahnya seperti binatang sebab tidak punya rasa malu, harga diri, serta kepedulian sosial. Tanpa siri' na pacce, anggota masyarakat juga hanya ingin menang sendiri dan sekadar menuruti hawa nafsunya. Pada hakikatnya, siri' na pacce memuat nilai-nilai moralitas kesusilaan berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban, kesetiakawanan, sifat belas kasih, hingga rasa solidaritas.

Namun, seiring waktu, konsep siri' na pacce, sebagaimana ditulis Dedi Haryanto dalam "Reduksi Makna Siri' Na Pacce oleh Aktivis Mahasiswa di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar" (PDF, 2016), mengalami pergeseran makna di kalangan generasi muda. Mereka cenderung melihat siri’ na pacce secara tak utuh. A

lih-alih menganggap siri' na pacce sebagai pedoman hidup, anak-anak muda malah melihat siri' na pacce sebagai wujud maskulinitas yang lantas diartikan ke dalam wujud fanatisme. Ia mewujud dalam aksi-aksi kekerasan dengan dalih solidaritas maupun keinginan menjaga harga diri.

Namun, Yahya Kadir, dosen antropologi Universitas Hasanuddin, punya pendapat berbeda dengan para peneliti itu. Menurutnya, interpretasi tentang siri' na pacce yang bergeser maknanya hanya berperan sedikit dalam fenomena tawuran mahasiswa di Makassar. Menurutnya, ada tiga faktor yang melatarbelakangi aksi tawuran dalam skala masif.

"Rasa ingin eksis, doktrin senior, dan ingin fakultasnya unggul dibanding fakultas lain. Tiga hal tersebut adalah bahan bakar utama mengapa aksi tawuran antar mahasiswa di Makassar marak terjadi," terangnya saat dihubungi Tirto via telepon pada Minggu siang (3/3/2019).

Pelaku tawuran di Makassar, jelas Yahya, seringkali melibatkan mahasiswa dari fakultas eksakta (teknik, MIPA) dan humaniora (ilmu sosial dan politik). Anggapan yang melekat: fakultas eksak lebih unggul dibanding humaniora. Tak jarang, status tersebut dipakai anak-anak dari fakultas eksak untuk merisak anak-anak fakultas humaniora.

"Keduanya menggunakan ajang ospek untuk mendoktrin mahasiswa baru. Para senior di fakultas eksak berkoar-koar soal keunggulan mereka dibanding fakultas yang lain, sementara senior di [fakultas] humaniora menjejali anak-anak baru dengan keyakinan jangan kalah dari anak-anak eksak," ucap Yahya.

Maka, ketika ada miskomunikasi di antara mahasiswa dari kedua fakultas, cara penyelesaiannya hanya satu: baku hantam. Karena, jelas Kadir, setiap kesalahpahaman yang keluar dari masing-masing pihak diartikan sebagai bentuk pelecehan.

Infografik Menolak Film

Infografik Ramai-Ramai Menolak Film

Sementara itu, Kacung Marijan dan Hari Fitrianto dalam “Anatomi Kekerasan Mahasiswa di Makassar” (2013) yang dipublikasikan Jurnal Review Politik mengungkapkan bahwa kekerasan antar mahasiswa di Makassar tidak selalu disebabkan oleh setting sosial, melainkan juga karena kekerasan itu sendiri. Aksi kekerasan bisa diartikan sebagai tindak agresivitas kolektif untuk memuaskan emosi dan ego kelompok—menegaskan eksistensi lebih superior maupun balas dendam atas memori kemarahan masa lalu.

Dari sini, tidak berlebihan jika kekerasan mahasiswa di Makassar sudah menjadi semacam tradisi lanjutan dari masa lalu maupun peristiwa yang sebelumnya. Setiap waktu, mereka terus mereproduksi pengalaman-pengalaman yang ada untuk membentuk tindak kekerasan lainnya.

Kacung dan Hari menjelaskan bahwa salah satu aktivitas yang bisa ditempuh untuk mereproduksi kekerasan kolektif adalah penyelenggaraan kegiatan seremonial. Tujuannya adalah memperkenalkan mahasiswa baru (junior) dengan sejarah kekerasan yang pernah dialami fakultas. Dalam kegiatan ini ini, para senior juga berupaya membentuk identitas “we” yang kelak melahirkan fanatisme.

Para senior—dengan segala argumentasi pembenarannya—menegaskan kepada junior untuk mengemban tanggungjawab kehormatan fakultas. Tanggung jawab ini kemudian diartikan sebagai tindakan balas dendam maupun tindakan agresif lainnya.

Kekerasan mahasiswa di Makassar bersumber pada identitas kolektif berupa identitas jurusan, fakultas, universitas, dan, dalam beberapa kasus, sampai pula identitas etnis maupun kesukuan. Identitas kolektif ini terbentuk melalui sosialisasi dan internalisasi nilai-nilai kolektif dari senior kepada junior.

Pertanyaannya: bagaimana fenomena tawuran di Makassar kini?

Menurut Yahya, eskalasi konflik di antara mahasiswa tidak setinggi beberapa tahun yang lalu. Di Universitas Hasanuddin sendiri, lokasi fakultas eksak dan humaniora sudah terpisah, yang satu di Kabupaten Gowa dan yang lain tetap di Kota Makassar. Faktor ini, Yahya Bilang, cukup mengurangi benih-benih tawuran di antara mahasiswa.

Faktor lain adalah menurunnya pandangan tentang "jurusan favorit dan non-favorit" di kalangan anak-anak muda masa kini. "Mereka lebih bisa terbuka. Tidak kaku dalam memandang jurusan mana yang terbaik. Baik humaniora maupun eksak sama-sama punya keunggulan yang seharusnya tidak dibandingkan," tuturnya.

Baca juga artikel terkait DILAN 1991 atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Maulida Sri Handayani