Menuju konten utama

Difteri Mewabah, MUI Belum Terbitkan Sertifikasi Vaksin Halal

MUI menyatakan imunisasi sifatnya mubah, namun harus menggunakan vaksin halal kecuali dalam kondisi darurat.

Difteri Mewabah, MUI Belum Terbitkan Sertifikasi Vaksin Halal
Petugas Dinas Kesehatan Pemprov Banten memasukan vaksin DPT anti penyakit difteri ke jarum suntik di Posyandu Cempaka, Kaujon, Serang, Banten, Senin (11/12/2017). ANTARA FOTO/Asep/Fathulrahman

tirto.id - Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Zainut Tauhid Saadi menyatakan MUI belum menerima pendaftaran dan permintaan pemeriksaan kehalalan vaksin difteri dari pihak manapun.

"Sehingga MUI belum pernah menerbitkan sertifikasi halal terhadap vaksin tersebut," kata Zainut kepada wartawan di Jakarta, Selasa (12/12/2017).

Ia melanjutkan, pada dasarnya hukum imunisasi adalah boleh (mubah) sebagai bentuk upaya mewujudkan kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya suatu penyakit tertentu. Meski begitu, vaksin yang digunakan dalam imunisasi harus halal dan suci. Jika belum ada vaksin halal dan dalam kondisi darurat mengancam jiwa maka diperbolehkan untuk digunakan.

"Setelah ditemukan vaksin yang halal maka pemerintah wajib menggunakan vaksin yang halal," ucap Zainut, menegaskan.

Kondisi darurat itu diartikan sebagai suatu kondisi keterpaksaan yang apabila tidak dilakukan tindakan imunisasi dapat mengancam jiwa manusia (mudarat) atau kondisi hajat yaitu kondisi keterdesakan yang apabila tidak dilakukan tindakan imunisasi maka akan dapat menyebabkan penyakit berat atau kecacatan pada seseorang.

"Ketentuan tersebut di atas harus dipastikan bahwa memang benar-benar belum ditemukan bahan vaksin yang halal dan suci dengan didukung keterangan tenaga ahli yang kompeten dan dapat dipercaya," kata dia, seperti dikutip Antara.

Pada 6 Desember lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mencatat, sebanyak 66 persen dari keseluruhan kasus difteri yang terjadi sepanjang 2017 di seluruh Indonesia adalah karena penderitanya tidak diimunisasi.

“Ini kenyataannya bahwa sebagian besar tidak diimunisasi,” kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Muhammad Subuh di Jakarta, Rabu (6/12/2017).

Menurut Subuh, 66 persen kasus difteri yang ada karena tidak ada imunisasi sama sekali, 31 persen imunisasi kurang lengkap, dan 3 persen lainnya imunisasi lengkap.

Pada Januari hingga November 2017, tercatat 593 kasus difteri terjadi di Indonesia dengan angka kematian 32 kasus. Kasus tersebut terjadi di 95 kabupaten-kota pada 20 provinsi.

Oleh karena itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek mendesak masyarakat yang kerap menolak imunisasi, atau biasa disebut kelompok anti-vaksin, mengubah sikap. Dia meminta kelompok ini bersedia mengikuti imunisasi Difteri. Hal ini menyusul adanya kejadian luar biasa (KLB) penyakit itu di 11 Provinsi di Indonesia.

Nila menegaskan sikap masyarakat, yang masih menolak anaknya mengikuti imunisasi Difteri, bisa membahayakan orang lain. "Saya kira mereka harus sadar. Jangan merusak (kekebalan kelompok) untuk masyarakat yang lain," kata Nila di Jakarta, pada Senin (11/12/2017) seperti dikutip Antara.

Menurut Nila, imunisasi dengan menggunakan vaksin, yang selama ini ditolak sebagian kalangan dengan alasan agama, membawa lebih banyak kemaslahatan ketimbang mudharat. Dia juga menyampaikan bahwa imunisasi merupakan upaya memenuhi hak anak untuk sehat.

Baca juga artikel terkait DIFTERI atau tulisan lainnya dari Dipna Videlia Putsanra

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Dipna Videlia Putsanra
Penulis: Dipna Videlia Putsanra
Editor: Dipna Videlia Putsanra