tirto.id - Switzerland van Java. Demikianlah pelancong-pelancong Eropa di era Kolonial Hindia Belanda menjuluki Garut. Kota kecil nun di jantung Dataran Tinggi Priangan memang merupakan salah satu destinasi wisata terkenala di zaman itu. Julukan itu pun tak berlebihan lantara beberapa tokoh penting dan pesohor pernah pula berlibur menikmati keindahan alam Garut.
Menurut penelusuran S.R. Slamet dalam “Puncak Alpen Swiss van Java” yang dimuat di Pikiran Rakyat edisi 2 Oktober 2017, orang-orang penting yang pernah berlibur di Garut di antaranya Gubernur Jenderal Hindia Belanda D. Fock yang menjabat pada 1921-1926, Perdana Menteri Perancis George Clemenceu (1906-1909), novelis dan penyair Belanda Louis Couperus, artis film Kanada Mary Pickford, Pangeran Leopold III dari Belgia, Putri Astrid dari Swedia, artis Jerman akhir 1920-an Renate Muller dan Hans Albers, serta Charlie Chaplin.
Kunjungan pesohor yang disebut terakhir boleh dibilang sebagai yang paling berkesan di ingatan publik. Komedian terkenal asal Inggris itu bahkan berkunjung sampai dua kali. Kunjungan pertamanya terjadi pada 1927 dan yang kedua pada 1932.
Dalan kunjungan keduanya, Charlie ditemani oleh saudaranya Sydney Chaplin. Kunjungannya ke Garut terjadi pada 30 Maret hingga 1 April 1932. Kala itu, Chaplin bersaudara menuju Garut dari Bandung dengan berkereta api. Mereka menjejak pertama kali di Stasiun Cibatu dan kemudian menginap di Hotel Grand Ngamplang.
Di Stasiun Cibatu, Charlie Chaplin disambut dengan antusias oleh warga Garut. Selama di kota dataran tinggi yang katanya mirip Swiss itu, dia berwisata ke beberapa tempat. Di antaranya Situ Bagendit, Situ Cangkuang, dan Gunung Papandayan.
Bukan hanya Charlie Chaplin, tapi hampir semua pelancong yang bepergian ke Garut pastilah berhenti di Stasiun Cibatu. Pada masanya, seturut laman Heritage KAI, ia merupakan stasiun primadona yang menjadi titik transit sebelum para wisatawan dijemput taksi atau limousine dari hotel-hotel di sekitar Garut.
Peristiwa kecil singgahnya orang-orang penting di Stasiun Cibatu merupakan salah satu fondasi nilainya sebagai situs bersejarah. Lain itu, nilai Stasiun Cibatu tak bisa dilepaskan pula dari sejarah perkeretaapian di Bumi Priangan. Agus Mulyana dalamSejarah Kereta Api Priangan (2017) menyebut bahwa seluruh jalur kereta api dan stasiun di Priangan dibangun olehStaatsspoorwegen (SS). Stasiun Cibatu pun tak terkecuali menjadi bagian dari jaringan itu.
Stasiun Cibatu kini dikelola oleh KAI dan termasuk dalam Daerah Operasi II Bandung. Secara administratif, ia berlokasi di Kelurahan Kresek, Kecamatan Cibatu, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Stasiun ini terletak pada ketinggian 612 meter di atas permukaan laut.
Sejak era Kolonial, stasiun ini merupakan salah stasiun utama bagi warga dan pelancong yang bepergian ke kota-kota di selatan Jawa. Selain itu, Stasiun Cibatu juga berfungsi sebagaistasiun pengangkutan komoditas. Pada paruh akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, Garut memang merupakan penghasil kopi, teh, dan kina yang penting.
Stasiun yang berjarak 21 km di sebelah utara ibu kota Kabupaten Garut inipernah memiliki percabangan menuju pusat kota Garut hingga Cikajang. Namun, jalur cabang ini dinonaktifkan pada 1983.
Pembangunan
Stasiun Cibatu merupakan bagian dari jalur rel yang menghubungkan Bandung dan Cilacap. Tepatnya, ia termasuk dalam ruas Cicalengka-Garut.
SS membangun jalur Cicalengka-Garut dalam kurun 1887-1889. Seperti halnya jalur rel kereta api lain di Jawa, motif awal pembangunan jalur ini—juga jaringan rel di Priangan—adalah soal ekonomi. Seperti di sebut sebelumnya, Garut merupakan penghasil komoditas penting yang saat itu nisbi masih terisolasi.
Maka kota ini butuh jalur transportasi yang efisien serta dapat menghubungkannya dengan kota-kota lain di Priangan dan pelabuhan.
Seturut Mulyana, membangun jalur kereta api berikut infrastrukturnya di wilayah Priangan bukanlah perkara gampang. Pasalnya, secara geografis, Priangan merupakan daerah dataran tinggi yang noscaya kontur tanahnya tidak rata. Karenanya, SS mesti lebih dulu meratakan wilayah berbukit yang akan dilalui jalur rel. Jika pun tak bisa menghindari tanjakan, ia mesti diakali agar tidak menjadi terlalu tajam.
Selain itu, SS pun mesti membangun beberapa jembatan untuk menghubungkan jalur di antara dua bukit atau jurang. Itu belum menghitung kesulitan membangun terowongan menembus bukit.
Stasiun Cibatu mulai beroperasi beberapa saat setelah jalur Cicalengka-Garut dirampungkan. Stasiun ini pun berkembang seiring dengan ramainya pariwisata Garut. Sebuah depo lokomotif pun turut dibangun dekat stasiun untuk menunjang perkeretaapian.
Tentang hal itu, laman Indonesian Railway Preservation Society menulis, “Pada masa awal pembukaan jalur kereta api oleh Belanda di Jawa, kota kecil di Cibatu ini ditetapkan sebagai pusat bengkel lokomotif uap masa kolonial. Salah satu dokumen yang menyebut bengkel lokomotif yang disebut ”depo” ini pernah mempekerjakan 700 orang.”
Tinggalan
Pada 1946, sekali lagi Stasiun Cibatu menjadi saksi bisu peristiwa sejarah. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta berkunjung ke Garut dengan menggunakan Kereta Luar Biasa. Di stasiun inilah duet proklamator itu singgah.
Ketika itu, jalur rel cabang dari Stasiun Cibatu ke Garut hingga Cikajang masih aktif. Selain wisata, jalur Garut-Cikajang dibangun Belanda untuk membuka isolasi wilayah ini dan mendukung distribusi hasil perkebunan di sekitarnya.
Namun, tujuan ekonomi itu rupanya tak tercapai. Jalur cabang Cibatu-Cikajang tetap beroperasi hingga benar-benar ditutup pada 1983.
Pesona Cibatu kini mungkin tak lagi sebesar dulu, tapi Stasiun Cibatu tak bisa dipungkiri telah menjadi salah satu stasiun bersejarah yang ikonik.
Berdasarkan obeservasi yang penulis lakukan pada 2020, terdapat lima bangunan dalam kompleks Stasiun Cibatu yang memiliki karakter kekunoan.Di antaranya Bangunan Utama Stasiun, Menara Air, Bangunan Resort Jalan 2.11, Eks Kantor KA dan Dipo (bengkel), dan kompleks perumahan karyawan yang terletak di belakang Bangunan Resort Jalan 2.11.
Karakteristik kekunoan yang melekat pada Stasiun Cibatu masih terlihat pada bentuk dan tata letaknya. Stasiun Cibatu memiliki karakteristik bangunan khas kolonial akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Cirinya adalah titik berat pada fungsi teknis ketimbang mangna simbolis belaka.
Sedangkan tentang kondisi bahan dan teknik pengerjaan bangunan, beberapa bagian bangunan telah mengalami banyak perubahan. Selain bangunan utama, terdapat overcapping atau atap peron yang memiliki beberapa fitur kekunoan, seperti terlihat pada pilar-pilar yang berjumlah 18 (delapan belas) dan konstruksi kuda-kuda.
Daun pintu atau jendela krepyak lebar, ornamen-ornamen pilar, dan tralis jendela juga masih menunjukkan kekunoan.
Selama kurun 2018 hingga 2020, Stasiun Cibatu mengalami revitalisasi berikut persiapan reaktivasi jalur cabangnya ke Garut. Proyek penting ini dilakukan dengan kerja sama antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan PT KAI. Seperti halnya di masa lalunya, jalur cabang ini bakal dimanfaatkan untuk mendukung pariwisata dan ekonomi lokal.
Penulis: Ary Sulistyo
Editor: Fadrik Aziz Firdausi