tirto.id - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan bermimpi Indonesia “punya nuclear power.” Hal ini ia katakan dalam sebuah acara di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (4/2/2020) lalu.
Ia bilang ide tenaga nuklir ini tebersit saat mengikuti World Economic Forum (WEF) di Davos, Swiss, awal Januari lalu. Saat itu seorang jenderal yang ia kenal asyik berbicara dengan perwakilan Amerika, India, Cina, dan Korea Utara. Luhut, sebagai perwakilan Indonesia, mengaku tak diajak bicara.
Luhut pun jengkel. “Kita enggak dianggap,” katanya.
“Dalam hati saya, 'sialan ini orang.' Kalau saya bilang sama dia, 'eh jenderal, saya juga lulusan sekolah di Amerika. You know what? Kami negara itu punya semua,'” katanya.
Luhut lantas menegaskan kekacauan dunia ini kerap disebabkan “negara yang punya nuclear power.” Barangkali maksudnya adalah negara-negara yang punya senjata nuklir.
Saat itu Luhut mengatakan ke beberapa perwakilan negara yang ia temui bahwa ingin Indonesia punya tenaga nuklir. Tapi mereka tak setuju. Meski demikian, keinginan Luhut tak berubah.
“Tapi saya bilang, timbang-timbang boleh juga punya nuclear power biar enggak kalian aja yang ribut-ribut,” kata Luhut.
Luhut Dikritik
Luhut tak menjelaskan detail apakah yang ia maksud nuclear power itu berbentuk senjata nuklir.
Peneliti pertahanan dari Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (Lesperssi), Beni Sukadis, mengaku heran jika maksud Luhut adalah senjata nuklir. Sebab biasanya, kata Beni kepada reporter Tirto, Rabu (5/2/2020) pagi, “pembahasan senjata nuklir selalu dibahas negara-negara besar.”
“Makanya sangat mengejutkan buat saya, untuk apa Menteri Luhut ngomong gitu?”
Senjata nuklir juga tak mungkin dibikin di ASEAN. Beni menegaskan Indonesia adalah salah satu negara yang ikut Traktat Kawasan Bebas Senjata Nuklir Asia Tenggara (SEANWFZ) yang dideklarasikan pada 1995 di Bangkok, Thailand.
“Kalau mau punya nuklir, kita ubah juga dong deklarasi itu? Itu, kan, perjanjian internasional, ASEAN. Enggak gampang mencabut itu,” Beni menambahkan.
Tahun 2017 lalu, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan perjanjian ini harus dipertahankan dan bahkan diperkuat. Retno menegaskan pemerintah Indonesia mendorong aksesi terhadap perjanjian internasional tersebut.
Aksesi adalah perbuatan hukum dimana satu negara yang bukan merupakan peserta perjanjian multirateral tapi sepakat dan secara sadar terikat dengan perjanjian.
“Saya mengusulkan agar ASEAN dapat kembali meningkatkan intensitas komunikasi dengan negara-negara pemilik senjata nuklir,” kata Retno di Manila, 5 Agustus 2017 silam.
“Makanya saya heran Menteri Luhut ngomong itu. Dia enggak baca dokumen itu? Saya enggak ngerti deh,” kata Beni.
Jika maksudnya adalah sumber energi, tetap saja itu sulit direalisasikan, kata Beni. Masalahnya klasik: “kemampuan SDM dan teknologi masih jauh.”
“Kita punya reaktor di ITB dan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan). [Reaktor di] Batan pun sudah dicopot kalau tidak salah karena Amerika keberatan, dari sisi itu pun agak sulit.”
Dengan kondisi seperti itu, Beni sangat yakin kalau keinginan Luhut tak akan terealisasi. Mimpi tetaplah mimpi. “Kalau punya keinginan, keinginan sekadar keinginan, hanya mimpi Pak Luhut” katanya.
Untuk Apa?
Wakil Ketua Komisi I Fraksi PKS DPR RI, Abdul Kharis Almasyhari, mempertanyakan terlebih dulu apa maksud Luhut.
“Kalau nuklir untuk tenaga listrik, itu bisa, boleh. Catat baik-baik, untuk listrik, untuk kemanfaatan masyarakat. Biar listrik enggak mahal. Saya setuju kalau untuk energi. Senjata saya enggak setuju,” kata Abdul saat dihubungi Rabu pagi.
Indonesia belum punya pembangkit dari nuklir, tapi sudah punya tiga reaktor untuk keperluan penelitian dan pengembangan yang “masih aktif dan tidak pernah terjadi kecelakaan karena prosedur keamanannya sangat ketat.”
Tapi tahun lalu, Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro menegaskan cepat atau lambat Indonesia pasti akan membangun tenaga nuklir karena kebutuhan listrik yang semakin tinggi.
Menurutnya para penolak nuklir itu terpapar informasi yang kurang lengkap “dan membentuk opini yang keliru.”
Dalam dokumen Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 (PDF), pemerintah menargetkan nuklir berkontribusi terhadap 27,9 juta Setara Barel Minyak (SBM) tahun ini.
Pengembangan nuklir sebagai sumber energi memang tidak diharamkan, tapi harus jadi “pilihan terakhir,” tulis penjelasan Pasal 11 Ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2019 tentang Kebijakan Energi Nasional (PDF).
Guru Besar Fakultas Teknik UI, Rinaldy Dalimy, mengatakan frasa pilihan terakhir dipakai bukan tanpa alasan. “Pertama, karena pembangunan PLTN (Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir) di Indonesia berisiko tinggi, sebab negara ini berada di area ring of fire atau cincin api yang dikelilingi gunung api aktif,” ujar Rinaldy tahun lalu, dikutip dari Liputan6.com.
Rinaldy juga menegaskan bahwa “dalam proses pembuatan bahan bakar nuklir, uranium yang diperkaya bisa setara bom nuklir.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino