tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 31 K/Pdt/2017 perkara perdata yang memenangkan gugatan Koalisi Masyarakat Menolak Swastanisasi Air Jakarta (KMMSAJ). MA juga memerintahkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyetop swastanisasi air sejak 1998.
PK yang dilayangkan Kemenkeu dinilai menyesatkan sebab air merupakan res communis atau barang publik yang tidak bisa dikomersialisasi. Penilaian itu disampaikan tim hukum KMMSAJ Arif Maulana. Arif mengatakan PK yang diajukan Kemenkeu menunjukkan sikap pemerintah yang membangkang terhadap konstitusi.
“Kementerian Keuangan sebetulnya sedang melawan hukum sekaligus melupakan mandatnya sendiri sebagai pemegang kuasa anggaran dan bendahara negara. Harusnya Kemenkeu melakukan prinsip efisiensi dalam menjalankan kuasa anggaran. Ini mandatnya dalam Undang-undang keuangan negara,” kata Arif di Kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Senin (7/5/2018).
Arif juga mengatakan poin-poin dalam memori gugatan PK menunjukkan sikap pemerintah yang masih ingin melanggengkan swastanisasi yang telah banyak menimbulkan kerugian bagi pemerintah maupun warga Jakarta.
Tirto menerima berkas gugatan PK Kemenkeu, Selasa 30 April 2018. Berkas setebal 10 halaman itu menjabarkan poin-poin keberatan Kemenkeu terhadap putusan kasasi MA.
Di dalam berkas itu disebutkan memori PK diterima panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tertanggal 22 Maret 2018. Kemenkeu juga menjelaskan berkas itu diajukan 30 hari setelah menerima putusan MA Nomor 31 K/Pdt/2017. Artinya, Kemenkeu masih memenuhi tenggat waktu untuk melakukan PK, yakni 180 hari sejak putusan diterima.
Keberatan Kemenkeu dalam Memori PK
Kemenkeu menjabarkan empat poin keberatan dalam memori PK. Kesemua poin keberatan itu intinya menilai hakim khilaf atau keliru dalam memutuskan perkara di tingkat kasasi.
Pertama, Kementerian Keuangan menganggap pertimbangan hukum yang dipakai MA atau Judex Juri bertentangan dengan karakteristik gugatan warga negara/Citizen Law Suite (CLS) di Indonesia.
Kedua, pertimbangan hukum MA dianggap melampaui hakikat gugatan CLS di Indonesia. Kemenkeu menilai amar putusan MA keliru lantaran CLS tidak bisa membatalkan kerja sama melainkan pemenuhan hak-hak warga terhadap air. Swastanisasi, menurut Kemenkeu, dimungkinkan “Selama dilakukan dengan baik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Ketiga, hakim MA dianggap khilaf dan keliru lantaran surat kuasa yang diajukan penggugat atau koalisi masyarakat sipil cacat hukum. Kesimpulan soal cacat hukum itu didasarkan pada Surat Edaran MA Nomor 6 Tahun 1994 tentang Surat Kuasa Khusus (PDF). Kuasa hukum KMMSAJ dalam CLS, kata Kemenkeu, tidak sah karena tidak menjelaskan diri sebagai apa dan apa kapasitasnya.
Terakhir, amar putusan MA dinilai mencampuradukan antara tuntutan perdata dan tuntutan pembatalan keputusan tata usaha negara. Kemenkeu menilai, kontrak kerja sama pengelolaan air antara Pemprov DKI dan dua konsorsium swasta pada 1997 merupakan perkara Tata Usaha Negara (TUN). Sehingga, gugatan kasasi KMSSAJ melanggar tata tertib beracara di pengadilan.
Keberatan Kemenkeu Tidak Substansial
Bagi KMMSAJ, PK itu mustahil dimenangkan jika hakim melihat masalah swastanisasi air pada pokok persoalan yang sifatnya substansial. Arif Maulana menilai, empat keberatan yang dilayangkan Kemenkeu menafikan proses hukum yang telah berjalan sejak 2012.
Di pengadilan tingkat pertama, CLS yang dilakukan koalisi dianggap Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dinyataan sah dan tak pernah dipermasalahkan majelis hakim. Bahkan pada 2015, kata Arif, PN Jakpus memenangkan gugatan KMMSAJ dan membatalkan kontrak kerja sama yang didukung support letter dari Gubernur DKI Jakarta.
“Surat kuasa sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Prosedur CLS sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi, bahkan sudah dikuatkan dengan kajian Mahkamah Agung sendiri,” ujar Arif.
Arif balik menuding PK yang diajukan Kemenkeu justru bertujuan untuk memperpanjang pengelolaan air Jakarta oleh swasta. Padahal, catatan panjang soal kerugian swastanisasi air telah dipaparkan Koalisi, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bahkan oleh PAM.
Pada 2011, mantan Direktur PAM Jaya Maurits Napitupulu sempat mengatakan skema tersebut akan merugikan PAM Jaya sebesar Rp18,2 triliun di akhir masa konsesi pada 2022. Hitung-hitungan itu bisa meleset, tapi beban kerugian yang harus ditanggung PAM tetap besar.
Pada 2017, misalnya, auditor BPK Perwakilan DKI menemukan akumulasi kerugian Rp1,2 triliun yang ditanggung PAM Jaya sejak kontrak kerja sama berlaku mencapai pada 31 Desember 2016. Hasil audit itu juga menyebutkan PAM Jaya harus membayar kewajiban shortfall—selisih antara biaya yang dibayarkan PAM ke swasta dengan yang diterima dari pelanggan—kepada Palyja dan Aetra, masing-masing sebesar Rp266,5 miliar dan Rp273,8 miliar.
Serupa dengan Arif, Martin Hadiwinata yang juga merupakan anggota KMMSAJ, menegaskan keberatan yang diajukan Kemenkeu tak sudah tidak relevan. Sebab, kata dia, “Kami tidak mengajukan gugatan kepada pihak swasta, swasta itu bukan menjadi tergugat pertama. Sehingga kami tidak menempatkan tergugat dalam putusan tersebut. Tetapi sayangnya hal itu diungkapkan lagi oleh Kementerian Keuangan.”
Ia juga menilai gugatan koalisi pada prinsipnya hanya menunjukkan kerja sama swastanisasi yang ditandatangani pada 1997 cacat hukum dan penuh dengan unsur korupsi, kolusi, dan nepotisme.
“Kami tidak meminta pembatalan dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut melanggar hukum. Mengapa? Karena support letter yang dikeluarkan saat itu sangat merugikan dan ini dibuat-buat oleh pihak swasta,” imbuhnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani membenarkan pihaknya melayangkan gugatan PK terhadap putusan MA soal Swastanisasi Air Jakarta. Namun, Sri Mulyani belum mengetahui soal perkembangan terbaru soal memori kasasi yang diterima oleh PN Jakpus.
“Nanti saya lihat ya, saya tidak update sekarang. Nanti koordinasi dengan Pemda DKI. Kami akan rapat dengan Kemenko seluruh program air bersih di republik itu adalah prioritas,” kata Sri Mulyani saat ditemui di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Pagi.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu, Nufransyah Wira Sakti, menyebut bahwa PK diajukan lantaran Kemenkeu ikut terlibat dalam perjanjian kerja sama swastanisasi air di Jakarta melalui Support Letter atau penjaminan kepada dua perusahaan swasta pada 1997.
"Karena Kemenkeu membuat penjaminan yang sejalan dengan kebijakan Pemerintah maka dilakukan upaya hukum maksimal. Tapi kemenkeu menghormati setiap putusan inkracht," ujarnya kepada Tirto, Senin (7/5/2018).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Mufti Sholih