tirto.id - Dalam kunjungannya ke Takalar, Sulawesi Selatan pada Rabu (20/2/2019), calon wakil presiden nomor urut 1 Ma’ruf Amin mendapat gelar adat Karaeng Manaba dari Kerajaan Galesong. Gelar tersebut diberikan langsung oleh pihak kerajaan, Mallarangeng Abdullah Karaeng Gassing.
Pujian diucapkan oleh Ketua Lembaga Adat Karaeng Galesong, Muh. Roem Karaeng Mattawang. Menurutnya, Ma’ruf Amin sosok yang pas menyandang gelar tersebut karena bijak dan menguasai pelbagai bidang keilmuan. Sementara bagi Ma’ruf Amin, gelar yang disandangnya itu merupakan tanggungjawab yang akan dipikulnya.
“Karaeng Manaba artinya pemimpin yang bijaksana. Gelar ini memberikan motivasi, dorongan dan juga semangat untuk saya mudah-mudahan jadi pemimpin yang bijaksana. Pemimpin yang membawa kemajuan, kesejahteraan dan keamanan kepada seluruh rakyat Indonesia,” ucap Ma'ruf.
Salah satu alasan pemberian gelar Karaeng Manaba karena Ma’ruf Amin dianggap merupakan keturunan Banten, dan zaman dulu Kerajaan Galesong mempunyai hubungan yang erat dengan Kesultanan Banten.
“Syekh Yusuf adalah menantu Sultan Banten yang masih punya hubungan darah dengan Ma’ruf Amin,” ungkap Karaeng Gassing.
Pemberian gelar ini tentu tak dapat dilepaskan dari aktivitas politik yang hari-hari ini kian meningkat eskalasinya jelang Pilpres 2019. Wakil Bupati Takalar, Ahmad Daeng Se’re, merupakan Dewan Pembina Tim Kampanye Daerah (TKD) Jokowi-Amin di Takalar.
Beberapa waktu sebelumnya, Jokowi juga sering mendapatkan gelar adat. Di antaranya gelar adat “Datuk Sri Setia Amanah Negara” dari Lembaga Adat Melayu Riau (15 Desember 2018), gelar “Tuanku Sri Indera Utama Junjungan Negeri” dari Kesultana Deli (7 Oktober 2018), nama adat “Kambepit” dari masyarakat suku Asmat (12 April 2018), dan lain-lain.
Heddy Shri Ahimsa-Putra, guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, sempat menerangkan kepada Tirto, pemberian gelar kepada orang di luar suku tertentu sudah terjadi sejak lama. Pemberian itu bisa jadi adalah bentuk pengharapan dan penghormatan, juga pengakuan atas jasa-jasa yang telah orang tertentu berikan.
Peran Syekh Yusuf sebagai Ulama di Banten
Seperti disebutkan sebelumnya, salah satu alasan pemberian gelar ini adalah karena hubungan Kerajaan Galesong dan Kesultanan Banten dengan menyebutkan sosok Syekh Yusuf Al-Makassari.
Dalam pelbagai catatan sejarah, Syekh Yusuf ulama besar yang kelahiran Gowa, dinikahkan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan salah seorang putrinya. Abu Hamid dalam Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (2005) menyebutkan, setelah dinikahkan selanjutnya Syekh Yusuf diangkat menjadi mufti dan penasihat kerajaan.
“Kedudukannya itu turut menentukan jatuh bangunnya kerajaan di kemudian hari,” imbuhnya.
Kedatangan Syekh Yusuf ke Banten mula-mula saat usianya 23 tahun. Lalu kedatangan berikutnya pada 1664 ketika usianya sudah menginjak 38 tahun, sepulang dari Mekah. Kedatangannya yang kedua itu saat sahabat karibnya, Pangeran Surya telah menjadi orang nomor satu di Kesultanan Banten dengan nama Sultan Abdul Fattah, atau lebih dikenal dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Sebagai seorang yang mendalami ilmu agama, di Banten Syekh Yusuf membuka pengajian untuk para penduduk, menyebarkan ajaran-ajarannya. Namanya cepat populer hingga seluruh Banten dan sekitarnya. Kemasyhurannnya bahkan telah terdengar sampai ke Makassar.
“Banyaklah orang Makassar dan Bugis datang ke Banten menjadi murid. Orang Makassar yang dibuang ke Betawi bersama Raja Gowa, Sultan Ali Karaeng Bisei sebanyak 400 orang, karena kalah melawan Kompeni dalam perang tanggal 17 April 1667, setelah mereka dibebaskan, sebagian mereka ke Banten menjadi murid Syekh Yusuf,” terang Abu Hamid.
A. Suryana Sudrajat dalam Ulama Pejuang dan Ulama Petualang: Belajar Kearifan dari Negeri Atas Angin (2006) menyebutkan, selain terkenal sebagai pendakwah, Syekh Yusuf juga dikenal sebagai seorang sufi yang memiliki kepribadian menarik.
Ia merupakan pengamal dan sekaligus pemuka tarekat Khalwatiyah. Salah satu ajaran tarekat ini adalah Ilmu an-Nafs. Menurut Sudrajat, ilmu ini oleh masyarakat umum digunakan sebagai atribut kekebalan diri dari senjata tajam dan senjata api.
“Selama dua tahun melakukan perang gerilya melawan kompeni di Banten, Syekh Yusuf mengajarkan ilmu ini kepada laskar-laskarnya,” tulisnya.
Syekh Yusuf Bergerilya
Dalam linikala perjalanan Syekh Yusuf yang disusun Kasma F. Amin dalam Para Tawanan Perang: Kisah Syekh Yusuf Al-Makassari dan Arung Palakka (2017), ulama ini bergerilya melawan VOC di hutan-hutan di Jawa Barat setelah tertangkapnya Sultan Ageng Tirtayasa pada 14 Maret 1683.
Salah satu perjalanan gerilya Syekh Yusuf dicatat Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten (1993). Rencana awal, ia dan pasukannya hendak menuju Cirebon dengan harapan mendapat bantuan dari Sultan Cirebon. Namun, rencana ini keburu diketahui kompeni yang segera mengirimkan pasukan yang dipimpin oleh Van Happel untuk mencegatnya.
“Kompeni khawatir kalau-kalau Syekh Yusuf, Pangeran Purbaya, dan Pangeran Kidul serta tentaranya ini akan terus ke Jawa Tengah dan bergabung dengan pasukan Kartasura,” tulisnya.
Abu Hamid dalam Syekh Yusuf: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang (2005) menyebutkan, dalam perang gerilya itu Syekh Yusuf memimpin sekitar 5.000 pasukan yang terdiri dari orang-orang Banten, Makassar, Bugis, dan Melayu yang siap mati bersama gurunya.
Syekh Yusuf dan pasukannya yang bertemu dengan pasukan Pangeran Purbaya kemudian mengalihkan arah. Mereka bergerak ke arah pergunungan di selatan Jawa Barat. Van Happel dan pasukannya berusaha memengaruhi penduduk agar mengadang dan menangkap Syekh Yusuf. Namun, karena penduduk di kampung-kampung pergunungan telah mengetahui kesalehan dan ketenaran Syekh Yusuf, mereka justru menjadi ikut bergerilya.
Pengejaran terus dilakukan. Pasukan VOC yang pimpinan utamanya dipegang oleh De Ruys, memecah pasukannya menjadi tiga bagian. Mereka masing-masing dipimpin oleh Eygel, Van Happel, dan De Ruys. Sementara Syekh Yusuf dan pasukannya terus bergerak ke timur menyusuri hutan-hutan dan pegunungan di selatan Jawa Barat.
Satu persatu pimpinan pasukan Syekh Yusuf terbunuh atau tertangkap, begitu pula dengan anak dan istrinya. Pertempuran hebat sempat terjadi di Padaherang, daerah yang sekarang menjadi bagian dari Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Pengejaran terus berlangsung, pertempuran terus terjadi.
Karena kewalahan dan hampir putus asa, VOC akhirnya menjalankan taktik muslihat. Mereka menjebak ulama kelahiran Gowa tersebut. Asma, anak perempuan Syekh Yusuf yang telah tertangkap, dibawa oleh Van Happel untuk menemui ayahnya. Ia hendak “berunding”.
Setelah beristirahat beberapa hari, Van Happel pergi hendak menemui Syekh Yusuf dengan berpakaian ala penganut Islam. Asma yang tertangkap di Padaherang dibawa serta seolah tahanan kompeni yang diperlakukan secara baik. Dengan cara seperti itu ia lolos dari pos-pos penjagaan pasukan gerilya.
Dalam catatan Abu Hamid, Van Happel dan Asma akhirnya sampai di tempat Syekh Yusuf, yakni di sebuah kampung yang bernama Karang atau Aji Karang, terletak di sebelah timur Cimandala dan Cigugur sekitar Parigi, Pangandaran.
“Karena bujukan dan janji-janji Van Happel, akhirnya Syekh Yusuf menerima untuk berunding. Tapi dengan siasat licik ini Syekh Yusuf ditangkap Kompeni pada tanggal 14 Desember 1684,” tulis Halwany Michrob dan A. Mudjahid Chudari dalam Catatan Masa Lalu Banten (1993).
Syekh Yusuf kemudian dibawa ke Cirebon dan dipindahkan ke Batavia. Pada 12 Desember 1684, ia dibuang ke Ceylon atau Sri Langka. Sembilan tahun kemudian, tepatnya 7 Juli 1693, ia dipindahkan ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan, dan wafat di sana pada 23 Mei 1699 atau 15 tahun setelah penangkapannya.
Syekh Yusuf bertungkus lumus melawan VOC bersama pasukan Banten dan yang berasal dari daerah lainnya. Ma'ruf Amin diklaim mempunyai hubungan darah dengannya. Inilah yang kemudian menjadi salah satu pertimbangan Kerajaan Galesong memberikan gelar Karaeng Manaba kepada Ma’ruf Amin.
Editor: Suhendra