Menuju konten utama

Bisakah Gelar Adat Dongkrak Elektabilitas Jokowi?

Pemberian gelar adat kepada pejabat tinggi yang beda suku adalah praktik yang telah lama berlangsung.

Bisakah Gelar Adat Dongkrak Elektabilitas Jokowi?
Joko Widodo dan Iriana menjadi Raja-Ratu Jolma Kumoring. Gelar adat istimewa ini diberikan Pemangku Adat Majelis Tinggi Komering Sumsel di Griya Agung, Minggu (25/11/2018) pagi. ANTARA/Nova Wahyudi

tirto.id - Presiden Joko Widodo mendapat gelar adat “Datuk Seri Setia Amanah Negara” dari Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau pada Sabtu (15/12/2018). Sepanjang 2015-2018, itulah gelar kesembilan yang diterimanya.

Pemberian gelar adat ini, seperti ditulis di akun instagram Jokowi, merupakan penghargaan warga Riau atas sejumlah persoalan yang berhasil ditanggulangi dan akan diselesaikan.

Persoalan tersebut di antaranya kebakaran hutan yang menyebabkan bencana asap yang biasanya terjadi tiap tahun, tapi dalam tiga tahun terakhir tidak lagi terjadi; dan pengembalian ladang minyak Blok Rokan dari perusahaan asing ke Indonesia.

“Selain itu, reforma agraria menyangkut tanah adat, dukungan kepada para petani sawit, pembangunan infrastruktur jalan tol, serta rencana mewujudkan embarkasi untuk calon jemaah haji di Kota Pekanbaru, menjadi catatan yang tersimpan di lembaga adat Melayu Riau,” tulis akun instagram Jokowi.

Setelah dilantik sebagai presiden, Jokowi memang kerap mendapatkan gelar adat dari pelbagai daerah di Indonesia. Pada 8 Mei 2015, ia menerima gelar adat “Biji Nagara Madafalo” atau Yang Dipertuan Agung Anak Negara dari Kesultanan Tidore, Maluku Utara.

“Untuk terpeliharanya adat daerah sebagai bagian meningkatkan ketahanan bangsa di bidang kebudayaan perlu dikembangkan kerjasama yang sinergis antara pemerintah daerah dan pusat,” kata Sultan Tidore dalam acara pemberian gelar adat tersebut.

Kemudian pada 24 Februari 2017, Jokowi menerima gelar adat kehormatan “Upu Kalatia Kenalean Da Ntul Po Deyo Routnya Hnulho Maluku” dari Majelis Adat Maluku yang terdiri dari para tetua adat atau Latupati.

Penghargaan tersebut diberikan kepada Jokowi karena ia dianggap sebagai pemimpin yang peduli terhadap kesejahteraan hidup masyarakat Maluku. Dalam kesempatan tersebut Jokowi menyampaikan harapannya agar masyarakat Maluku tetap menjaga keharmonisan dan perdamaian yang telah berlangsung dengan baik sejak lama.

“Panah gurita di ujung tanjong, cari bia di ujung meti. Biar tapisah gunung deng tanjong, orang Maluku selalu di hati,” pungkas Jokowi lewat sebuah pantun.

Lalu berturut-turut ia mendapat gelar adat “Kapiteng Lau Pulo” dari lembaga adat Tanah Bambu di Kalimantan Selatan (7/5/2017); nama adat “Kambepit” dari masyarakat suku Asmat saat berkunjung ke Agats, Papua (12/4/2018); dan gelar “Tuanku Sri Indera Utama Junjungan Negeri” dari Kesultanan Deli (7/10/2018).

Gelar Adat dan Elektabilitas

Gelar adat yang diterima Jokowi sebagai presiden bukanlah hal baru. Beberapa presiden sebelumnya pun sering mendapatkan gelar serupa. Pemberian gelar adat kepada pejabat tinggi negara memang biasanya mengandung unsur politis. Dalam kasus Jokowi, hal ini bisa dikaitkan dengan aspek kedipilihan bekas Wali Kota Surakarta itu jelang Pilpres 2019.

Meski pengaruhnya kecil terhadap peningkatan elektabilitas atau kedipilihan, dalam catatan Populi Center, seperti disampaikan Usep S. Ahyar selaku direktur program lembaga tersebut, pemberian gelar adat ini setidaknya memperlihatkan posisi tawar kepentingan antarkedua pihak yang memberi dan diberi gelar. Satu pihak memberikan penghargaan, dan satu lagi diharapkan memberikan perhatian kepada pihak yang memberikan gelar.

Sementara dalam survei Populi Center terhadap masyarakat tentang “siapa yang paling bisa mempengaruhi keputusan politik”, hasilnya menunjukkan bahwa tokoh agama menduduki posisi teratas, disusul jabatan-jabatan formal seperti kepala desa, ketua RT, dan lain-lain; lalu organisasi masyarakat seperti tokoh kepemudaan; setelah itu baru para tokoh adat.

“Jadi sebenarnya kalau dari sisi elektabilitas kecil, karena kita tahu juga tokoh adat itu sudah tidak terlalu berfungsi di masyarakat. Jadi zamannya sudah bergeser, kecuali tokoh-tokoh adat yang mampu mentransformasi, misalnya tokoh adat ini menjadi kepala desa,” imbuh Ahyar.

Ia menambahkan, isu-isu yang biasanya mengubah angka kedipilihan, artinya ada potensi untuk mengubah pilihan seseorang terhadap kontestan pemilu, dalam hal ini Pilpres 2019, adalah soal-soal yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat sehari-hari seperti kenaikan harga dan ketersediaan lapangan kerja. Selain itu, program kerja yang ditawarkan calon presiden dan masyarakat menganggapnya bermanfaat, juga kerap mengubah pilihan.

Isu-isu inilah yang secara luas sering mengubah aspek kedipilihan. Sementara isu-isu identitas agama dan kesukuan yang kerap muncul, imbuh Ahyar, tak membuat masyarakat mengubah pilihannya, tapi hanya menambah keyakinan mereka terhadap pilihannya masing-masing.

“Jadi isu-isu identitas seperti agama dan kesukuan tidak berpengaruh besar terhadap pindahnya pilihan capres dan cawapres, tapi memperkuat sentimen dia terhadap pilihannya. Orang jadi semakin fanatik, semakin yakin dengan pilhannya. Peneguhan saja,” ungkapnya.

Gelar Adat adalah Lumrah

Kurang berpengaruhnya pemberian gelar adat terhadap angka kedipilihan, selain karena telah berkurangnya pengaruh tokoh adat, juga karena pemberian gelar adat adalah sesuatu yang lumrah dan telah terjadi sejak lama.

“Orang Jawa memberikan gelar kepada orang Cina itu ada. Jadi beda suku itu gak ada masalah. Itu bukan masalah yang pokok. Orang Papua memberi gelar misalnya kepada orang non-Papua juga ada. Dulu Umar Kayam misalnya diangkat sebagai kepala suku di Papua sana. Jadi itu hal yang biasa. Pemberian gelar itu tidak harus kepada orang yang sama sukunya,” terang Heddy Shri Ahimsa-Putra, guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada.

Ia juga menerangkan bahwa pemberian gelar adat ini minimal bisa dibedakan dalam dua hal. Pertama, gelar adat yang diberikan kepada orang sesuku. Kedua, diberikan kepada orang beda suku.

Jika orang sesuku yang menerimanya, ada aturan-aturan yang melekat pada orang itu karena dia menempati sebuah status sosial yang baru dengan segala hak dan kewajibannya. Sementara jika yang menerimanya beda suku, meski tetap ada aturannya, tapi relatif tidak terlalu ketat.

Misalnya seseorang mendapat gelar Tumenggung dari sukunya, tambah Heddy, di situ ada hak dan kewajiban sebagai Tumenggung yang harus ia penuhi. Sementara jika seseorang di luar suku yang diberi gelar, pemberian tersebut adalah bentuk penghormatan atau pengharapan.

Penghormatan bisa jadi adalah bentuk pengakuan atas jasa-jasa orang tersebut, baik yang dirasakan langsung maupun tidak langsung. Artinya, orang yang diberi gelar telah memberikan sesuatu kepada orang atau masyarakat yang memberi gelar.

“Bisa juga sebetulnya pemberian gelar itu adalah sebuah pengharapan, supaya dia memberikan sesuatu. Tentu saja semuanya transaksional. Jangan diasumsikan gelar hanya gelar saja, gak ada itu. Makan siang gratis itu gak ada,” ucapnya.

Motivasi-motivasi atau argumen-argumen tertentu, imbuh Heddy, selalu menyertai setiap pemberian gelar termasuk kepada orang yang beda suku. Ada timbal balik yang dilakukan atau diharapkan. Penghormatan hanyalah salah satunya.

Soal gelar adat yang diterima oleh orang beda suku ini, ia membandingkannya dengan gelar Doktor Honoris Causa yang diterima sejumlah pejabat dari beberapa universitas.

“Kadang-kadang universitas yang memberi itu punya maksud tertentu. Mungkin dapat sumbangan. Atau setelah dapat sumbangan dia dikasih gelar. Pasti ada sifat timbal balik. Itu pasti,” ujarnya.

Meski demikian, tambahnya, selama gelar adat yang diberikan itu merupakan representasi aspirasi masyarakat yang masih berakar dan kokoh, pemberian gelar adat dipandang sebagai sesuatu yang bisa diterima. Lain halnya jika gelar adat tersebut diberikan oleh hanya sebagian elite atau kelompok yang sudah kehilangan dukungan masyarakat.

Infografik Gelar adat jokowi

Infografik Gelar adat jokowi

Mainan Elite

Persoalan gelar adat yang minim dukungan masyarakat tapi diharapkan segelintir orang untuk seolah-olah diterima secara sosial dan dijadikan modal dalam kontestasi politik sempat disinggung Longgina Novadona Bayo dan kawan-kawan dalam Rezim Lokal di Indonesia: Memaknai Ulang Demokrasi Kita (2018).

Mengambil contoh di Gorontalo, Longgina Novadona Bayo dan kawan-kawan menuturkan bahwa menjelang pilkada langsung banyak para calon kepala daerah, terutama yang berasal dari luar Gorontalo, bergerilya ke sejumlah pemangku adat untuk memperoleh restu.

Menurutnya, kehadiran dewan adat yang dilembagakan secara formal melalui pelbagai aturan legal dan memberikan kesempatan kepada para pemangku adat untuk mengambil keputusan siapa saja yang diusulkan menerima gelar membuatnya rawan disalahgunakan.

“Akibatnya, gelar adat ini rawan untuk ‘diperjualbelikan’ oleh dewan adat kepada calon kepala daerah yang berasal dari luar Gorontalo […] Hal ini membuat para pemangku adat juga rawan dengan penyalahgunaan kewenangannya untuk kepentingan ekonomi semata,” imbuh Longgina dan kawan-kawan.

Sebagaimana dikatakan Heddy Shri Ahimsa-Putra, pemberian gelar adat, terutama kepada orang beda suku, akhirnya mesti dilihat apakah merupakan representasi kehendak masyarakat atau hanya segelintir elite. Di titik inilah keduanya mesti ditakar.

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Irfan Teguh Pribadi

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Irfan Teguh Pribadi
Editor: Ivan Aulia Ahsan