tirto.id - Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membebaskan beberapa kadernya di daerah, untuk dukung Jokowi-Ma’ruf di persaingan Pilpres 2019. Sikap politik itu tentu berseberangan dengan keputusan Partai Demokrat yang mengusung Prabowo-Sandiaga untuk Pilpres 2019.
Keputusan tersebut diambil oleh SBY dan disepakati oleh Ketua Majelis Tinggi Demokrat Amir Syamsudin. Rapat itu digelar di sela perayaan hari lahir Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ke-69 sekaligus hari jadi Partai Demokrat ke-17 di Kediaman SBY.
Ketua DPP Bidang Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean mengistilahkan sikap politik tersebut sebagai bentuk “dispensasi khusus”. Salah satu yang diperbolehkan mendukung pasangan Jokowi-Ma’ruf ialah Lukas Enembe, ketua DPD Partai Demokrat Papua yang juga mantan Gubernur Papua. Menurut Ferdinand, alasannya adalah 92 persen kader partai berlambang mercy itu kekeuh ingin berkoalisi dengan kubu Jokowi-Ma’ruf.
Dispensasi khusus tersebut juga diberikan untuk Wakil Majlis Pertimbangan Daerah Demokrat Jabar Deddy Mizwar. Wakil Gubernur Jawa Barat itu telah menyatakan dukungannya pada Jokowi-Ma’ruf sejak 29 Agustus 2018.
Meskipun begitu, kata Ferdinand, kader-kader tersebut tidak diperkenankan masuk dalam struktural resmi tim pemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin. "Kalau dia enggak ada di tim pemenangan tapi bekerja diam untuk memenangkan yang didukung secara pribadi ya itu kan tidak terlalu mengganggu soliditas partai," kata Ferdinand di Kediaman SBY, Mega Kuningan, Jakarta Pusat, Minggu (9/9/2018).
Sedangkan Wasekjend Partai Demokrat Andi Arief menegaskan, keputusan SBY terkait “dispensasi khusus” tersebut telah mendapat restu dari bakal calon presiden yang mereka usung, Prabowo Subianto.
"Waktu sebelum ditetapkan pasangan itu sudah dibicarakan bahwa internalnya (Demokrat) ada 5 atau 6 daerah yang punya karakter yang sangat sulit tentunya kan," kata Andi di Kediaman Rumah SBY, Mega Kuningan, Jakarta Pusat, Minggu (9/9/2018).
Daerah-daerah yang mendapat “dispensasi khusus” tersebut, kata Andi, di antaranya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Papua, Sulawesi Utara (Sulut), Bali, dan Jawa Timur (Jatim).
"Jadi waktu bertemu dengan Pak Prabowo kami ada peta suara di mana yang harus dikuatkan dan daerah pertempuran kami sebenarnya 3 Jawa: Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur," tuturnya.
Menginjakkan Kaki di Dua Kubu yang Berbeda
Peneliti Saiful Mujani Research and Consultant (SMRC) Sirojuddin Abbas menilai langkah politik Partai Demokrat memang abu-abu. Mereka memainkan gestur politik “dua kaki”, tak sepenuhnya berada di kubu Prabowo-Sandiaga.
"Mereka [Partai Demokrat] menunjukkan memang ada kepentingan dari Demokrat menaruh kaki secara informal di kubu sana (Jokowi-Ma'ruf)," kata Sirojuddin kepada reporter Tirto, Minggu (7/9/2018).
Sirojuddin menilai sikap ini memang yang paling mungkin dilakukan Demokrat. Keputusan itu menjadi upaya berdamai dengan kadernya yang membelakangi instruksi pusat.
"Kalau mau all out pun mereka tidak akan mendapat coattail effect dari Prabowo-Sandiaga. Jadi lebih baik maksimalkan pileg. Dan itu dengan toleran kepada kadernya berbeda pilihan di basis pendukung Jokowi," kata Sirojuddin.
Keputusan ini, menurut Sirojuddin, akan membuat Partai Demokrat mendapat keuntungan dari kedua kubu yang bertarung di Pilpres 2019. Di satu sisi, kata dia, Demokrat bakal gampang masuk ke Jokowi-Ma'ruf kalau pasangan ini menang.
"Saya yakin Demokrat bakal minta jatah. Karena tidak ada yang gratis di politik. Mereka sudah pertimbangkan ini matang," kata Sirojuddin.
Pada sisi lain, kata Sirojuddin, Demokrat bakal tetap dipandang sebagai bagian pendukung Prabowo-Sandiaga dan akan bisa mendapatkan posisi di kabinet pasangan ini jika menang.
Dalam hal ini, Sirojuddin menilai posisi Prabowo-Sandiaga cukup dirugikan. Sebab, mereka tidak mungkin lagi meminta Demokrat untuk maksimal menggerakkan kadernya di daerah saat masa kampanye.
"Jalan yang paling realistis adalah memperkuat koalisi sisanya, PKS, Gerindra dan PAN. Memastikan tiga partai itu bekerja maksimal," kata Sirojuddin.
Hal serupa juga diungkapkan Direktur Populi Centre, Usep S. Ahyar. Menurut Ahyar, Partai Demokrat tidak bakal sepenuhnya mendapat keuntungan dengan bermain dua kaki.
"Selama ini yang membuat elektabilitas Demokrat terus menurun adalah karena tidak punya sikap pasti di Pilpres," kata Usep kepada Tirto, Minggu (9/9/2018).
Demokrat memang bukan kali ini saja tidak memiliki sikap pasti di Pilpres. Pada Pilpres 2014 lalu, partai ini mengambil jalan abstain, meskipun SBY pernah menyampaikan dukungan pribadi ke Prabowo-Hatta Rajasa.
"Menurut saya sebagai partai harusnya dibiasakan mengambil sikap. Bisa juga kan tanpa menyeberang tapi tetap menyelamatkan partainya," tuturnya.
Gerindra Tak Masalah
Ketua DPP Gerindra Habiburokhman membenarkan pernyataan Andi Arief bahwa perkara “dispensasi khusus” telah dibahas dengan partainya. Ia menganggap keputusan Partai Demokrat itu sebagai hal biasa.
"Yang jelas kami tidak pernah mengurusi rumah tangga partai orang. Siapa yang mau bergabung mendukung ya silakan masuk. Kalau mau masuk tim, kami terima dan ucapkan terima kasih," kata Habiburokhman kepada Tirto, Minggu (7/9/2018).
Habiburokhman juga menuturkan, sampai saat ini rapat-rapat koalisi juga masih berjalan normal. Ia mengaku koalisi pendukung Prabowo-Sandiaga rutin menggelar rapat teknis yang tak diketahui media.
Begitu juga Wakil Ketua Umum Gerindra Arief Poyuono, tak menyoal sikap Partai Demokrat. Menurutnya ada banyak strategi lain yang bisa dikuatkan untuk memenangkan Prabowo-Sandiaga.
"Enggak takut kalah lah. Rakyat sudah bisa memilih mana yang cuma pencitraan, mana yang punya visi untuk Indonesia ke depan dan itu Pak Prabowo," kata Arief kepada Tirto, Minggu (7/9/2018).
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana