tirto.id - Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar khawatir kondisi keuangan BPJS Kesehatan akan terus memburuk pada 2019 setelah mengalami defisit di tahun-tahun sebelumnya.
"Per 31 Oktober 2018 utang jaminan kesehatan sebesar Rp8,73 triliun, sehingga bantuan kedua dari pemerintah sebesar Rp5,2 triliun tetap tidak bisa menyelesaikan utang [BPJS Kesehatan] ke rumah sakit. Artinya, tersisa utang Rp3,5 triliun ke rumah sakit," kata Timboel pada Jumat (4/1/2019).
Timboel mengatakan defisit BPJS Kesehatan tahun lalu kemungkinan terakumulasi pada 2019. Jika hal itu terjadi, kata Timboel, aliran kas banyak rumah sakit bisa kembali terganggu pada tahun ini.
Dia berpendapat BPJS Kesehatan terus mengalami defisit karena sejumlah faktor seperti iuran yang tak naik hingga lemahnya kendali biaya di rumah sakit.
"Sebenarnya [ketentuan] Perpres 82 tahun 2018 membuka peluang pemasukan [BPJS] bertambah, seperti tunggakan iuran jadi maksimal 24 bulan dan pajak pokok serta kewajiban seluruh rakyat ikut JKN per 1 Januari 2019 dengan sanksi tidak dapat layanan publik," kata Timboel.
Sejumlah aturan itu tidak berjalan, kata Timboel, sebab sejumlah lembaga dan kementerian tidak memberi dukungan maksimal terhadap BPJS Kesehatan.
"Kecuali pemerintah mau menaikkan iuran pascapilpres seperti janji Jusuf Kalla dan Presiden mau mengeluarkan Inpres untuk memerintahkan lembaga dan kementerian yang melaksanakan pelayanan publik untuk dukung JKN,” kata dia.
Selain itu, Timboel mengatakan pengawasan ke rumah sakit juga harus ditingkatkan. Ia juga mendesak Kemendagri bersikap tegas ke seluruh pemda yang belum mengalokasikan anggaran bagi kepesertaan warganya.
Sementara itu Kepala Hubungan Masyarakat BPJS Kesehatan Iqbal Anas Ma'ruf menjelaskan, defisit yang terus terjadi dikarenakan pendapatan iuaran yang tidak sebanding dengan pembiayaan manfaat.
"Karena setting hitungan iuran belum sesuai akuaria. Pada 2017, BPJS Kesehatan mendapatkan Rp74 triliun tapi biaya manfaatnya Rp84 triliun. Tahun 2016 juga tidak berimbang," ujar dia.
Iqbal mencontohkan setoran iuran dari peserta kelas 3 secara aktuaria seharusnya Rp53 ribu namun saat ini hanya dikenakan Rp25,5 ribu. Demikian pula iuran Kelas 2 secara aktuaria seharusnya Rp63 ribu, tapi sekarang cuma Rp51 ribu. Nilai iuran ideal, kata dia, baru di kelas 1.
Sayangnya BPJS Kesehatan menurut Iqbal tidak punya wewenang dalam penyesuaian iuaran yang diharapkan sesuai aktuaria tersebut. "Usulan kenaikan iuran bukan kewenangan BPJS Kesehatan. Itu domain DJSN [Dewan Jaminan Sosial Nasional," ujar dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Addi M Idhom