Menuju konten utama

Defisit Bahan Pokok di Depan Mata, Pemerintah Sudah Berbuat Apa?

Jokowi menyebut defisit bahan pokok telah terjadi di sejumlah daerah. Apa saja yang sudah dilakukan pemerintah?

Defisit Bahan Pokok di Depan Mata, Pemerintah Sudah Berbuat Apa?
Pekerja memanggul beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta, Senin (27/4/2020). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/wsj.

tirto.id -

Presiden Joko Widodo mewanti-wanti jajaran menterinya soal defisit bahan pokok di sejumlah provinsi selama masa pandemi COVID-19.

Beras, misalnya, tercatat mengalami defisit di tujuh provinsi meski di awal April ini Indonesia memasuki musim panen padi. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, defisit terjadi di Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Musababnya, pasokan beras nasional sebanyak 3,5 juta ton tak terdistribusikan merata. Jokowi menilai, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sejumlah wilayah turut mengganggu rantai distribusi tersebut.

"Saya mendengar ada 1-2 yang sudah mulai terganggu terutama yang berkaitan dengan transportasi pesawat," ujarnya saat membuka rapat terbatas via telekonferensi Selasa lalu (28/4/2020).

Selain beras, bahan pokok lain yang mulai defisit antara lain jagung di 11 provinsi, cabai besar di 23 provinsi, cabai rawit defisit di 19 provinsi, bawang merah di 1 provinsi, bawang putih di 31 provinsi, telur ayam di 22 provinsi, dan gula pasir di 30 provinsi.

Situasi ini jelas perlu diwaspadai, menurut Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) Sarman Simanjorang.

Tanda-tanda defisit pangan akan langsung tampak saat harga satu komoditas di tingkat pengecer mulai tinggi. Ini misalnya terjadi pada komoditas gula yang harganya melambung hingga Rp18 ribu per kilogram, atau jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp12.500 per kg.

“Saya selalu katakan bahwa pasar itu tidak pernah bohong. Di pasar itu yang terjadi adalah teori ekonomi demand dan supply,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (29/4/2020).

Namun, meski defisit bahan pokok sudah di depan mata, ia mengatakan pemerintah perlu mengantisipasi ancaman yang lebih besar setelah Idul Fitri. Menurutnya pada saat itulah ketahanan pangan sesungguhnya baru akan diuji--yakni ketika permintaan sedang tinggi-tingginya.

“Saya pikir stok sampai Lebaran ini aman lancar. Kalaupun ada gejolak pasti hanya 1 atau 3 komoditas. Mungkin setelah Lebaran yang perlu diwaspadai. Kalau COVID-19 ini berkepanjangan, itu (krisis pangan) yang ditakutkan,” katanya.

Agar krisis pangan tak terjadi, Sarman menganjurkan Kementerian Pertanian dan Perdagangan segera berkoordinasi. Ia meminta pemerintah belajar dari kesalahan sebelumnya, misalnya kenaikan gula karena lambannya importasi.

“Kementerian Perdagangan dan Pertanian itu agak telat merespons [persetujuan impor gula], terutama menyikapi COVID-19 seharusnya buru-buru impor. Kalau sudah datang ya pasti harga akan lebih stabil,” terang dia.

Selain belajar dari kesalahan terdahulu, pemerintah juga perlu mengoptimalkan BUMN seperti Bulog untuk membantu mengamankan stok bahan pangan di masa krisis ini. Terutama, dalam memastikan likuiditas perusahaan dalam pengadaan beras.

“Kalau gudang Bulog penuh, yaitu 52 persen diisi beras impor, pemerintah harus suntik modal ke Bulog dalam bentuk PMN agar kapasitas Bulog dalam stok pangan cukup hingga akhir tahun,” kata ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.

Hal lain yang perlu dipastikan adalah kelancaran arus distribusi dari sentra pertanian ke berbagai provinsi. Koordinasi yang baik antara pusat dan pemerintah daerah menjadi kunci kelancaran distribusi ini.

Di samping itu, pengawasan pada importir yang mendapatkan fasilitas kemudahan impor juga harus diperketat. Tindakan tegas terhadap oknum penimbun bahan pangan demi keuntungan berlipat harus dilakukan, kata Bhima.

Ia juga meminta para pejabat yang bertanggung jawab dalam hal penyediaan pangan tidak menutup-nutupi data ke masyarakat. Jika apa yang disampaikan pemerintah bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan, masyarakat bisa kehilangan kepercayaan pada pemerintah dan melakukan panic buying dalam skala luas.

Selain pemerintah, masyarakat juga dapat berperan untuk mengantisipasi kelangkaan. Masyarakat misalnya dapat didorong untuk terus membentuk dapur-dapur umum “dan menanam pangan sendiri”.

Keluhan Jokowi bahwa distribusi pangan terganggu direspons para bawahannya. Ketua Satgas Pangan Polri Brigadir Jenderal Pol Daniel Tahi Monang Silitonga mengatakan instansinya dan Kementerian Perhubungan terus berupaya memperlancar arus logistik di tengah penerapan PSBB.

“Di masa pandemi ini ada driver yang tidak maksimal. Koordinasi sudah lama dilakukan dan kita tetap melakukan itu. Direktorat Lalu lintas Kementerian Perhubungan itu sudah siapkan jalur dan angkutan,” ujarnya kepada reporter Tirto, Rabu (29/4/2020).

Ia juga mengatakan terus berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian dan Pedagangan untuk memastikan data stok pangan di berbagai daerah.

Terakhir, untuk mengantisipasi panen beras yang diakui tak maksimal, Daniel mengatakan Bulog dan Kementerian Pertanian tengah mengoptimalkan penyerapan hasil panen agar tak jatuh ke tangan tengkulak. Ini penting karena di tangan tengkulak, pasokan bisa disalahgunakan dan membuat ketersediaan barang makin seret, misalnya ditimbun.

Baca juga artikel terkait PANGAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Hendra Friana