tirto.id - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat defisit APBN per Oktober 2019 mencapai Rp289,06 triliun atau 1,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Defisit tersebut kini mendekati batas defisit pada APBN 2019 yang ditargetkan tak lebih dari 1,84 persen.
“Defisit kita pada angka Rp289 triliun sebesar 1,8 persen dari PDB. APBN kita desain defisitnya akan mencapai defisit Rp296 triliun sampai akhir tahun. Ini Oktober sudah mendekati total itu,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani di kantornya, Senin (18/11/2019).
Pembengkakan nilai defisit ini disebabkan seretnya realisasi penerimaan pemerintah, yakni baru mencapai Rp1.508,91 triliun setara 69,69 persen. Sebaliknya, belanja pemerintah tercatat cukup ekspansif yakni Rp1.797,97 triliun atau sekitar 73,06 persen dari target belanja APBN 2019.
Rendahnya penerimaan ini menurut Sri Mulyani disebabkan karena masalah penerimaan migas dan komoditas. Ia bilang hal ini tergambar jelas pada posisi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), pajak dan bea-cukai.
“Kenaikan (defisit) ini terjadi karena penerimaan migas PNBP baik pajak, PNBP, dan non migas mengalami tekanan,” ucap Sri Mulyani.
Nilai defisit ini pun diperkirakan masih akan terus memburuk hingga akhir tahun. Direktur Jenderal Pengelolaan, Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Affirman memperkirakan nilai ini akan melebar hingga 2-2,2 persen dari PDB. Nilai ini naik dari posisi defisit tahun sebelumnya yang hanya 1,87 persen sekaligus membuat target APBN 2019 meleset jauh.
“Ini perkiraan defisit 2-2,2 persen dari PDB sampai akhir tahun. Ini karena ketidakpastian tinggi,” ucap Luky dalam konferensi pers di Kemenkeu Jumat (25/10/2019).
Untuk menambal belanja, pemerintah telah merealisasikan pembiayaan utang senilai Rp384,52 triliun hingga Oktober 2019. Rinciannya adalah penerbitan surat berharga negara (SBN) senilai Rp401,71 triliun dan pinjaman sebesar negatif Rp17,19 triliun.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana