tirto.id - Debat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Banten 2024 rampung digelar Rabu (20/11/2024) malam. Debat itu diikuti dua paslon Pilkada Banten 2024, yakni Calon Gubernur-Wakil Gubernur Nomor Urut 1, Airin Rachmi Diany-Ade Sumardi dan Calon Gubernur-Wakil Gubernur Nomor Urut 2, Andra Soni-Dimyati Natakusumah.
Tema debat ketiga atau terakhir itu adalah "Sinergi Pembangunan Daerah dan Pusat Dalam Rangka Memperkokoh Negara Kesatuan Indonesia".
Awal debat, Airin menyebutkan visinya adalah menyinergikan pembangunan di daerah dengan program pemerintah pusat untuk menguatkan provinsi tersebut. Di satu sisi, Airin mengaku telah mengampanyekan delapan misi Presiden Prabowo Subianto, Asta Cita, sejak kampanye Pileg DPR RI 2024.
Kata Airin, Asta Cita dinilai sejalan dengan persoalan yang ada di Banten. Karena itu, ia menilai penting untuk menjalin kerja sama antara Pemerintah Provinsi (Pemprov) Banten dengan pemerintah pusat.
"RPJMN hasil dari presiden-wakil presiden terpilih 2025-2029, visinya adalah bersama Indonesia maju bersama Indonesia emas 2045. Visi saya dan Mas Ade adalah Banten maju bersama. Ada kebersamaan, kolaborasi, kerja sama, seluruh pemangku kepentingan di antaranya pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, kota, kecamatan, kelurahan, desa, RT, RW," urainya saat debat.
Sementara itu, Ade menyebutkan visi-misinya tidak hanya sekedar omong kosong. Visi misi mereka disebut sebagai solusi atas persoalan di Banten. Berdasar keluhan warga, Ade menyebutkan pihaknya menjanjikan BLK mobile serta pembangunan desa.
"Ketika rakyat mengeluh ke kami, kami banyak pengangguran. Kami jawab dengan BLK mobile. teriak jalan kami rusak, kami susah untuk berobat, bagaimana petani tidak maju, dijawab dengan kami, jalan poros desa dibangun. Visi-misi Airin-Ade jawaban keluh kesah warga Banten," sebutnya.
Sementara itu, Soni turut menyatakan visi-misinya telah disesuaikan dengan Asta Cita. Soni menawarkan delapan program prioritas yang dituangkan dalam 24 program turunan.
Ia menilai ada tiga persoalan utama yang kerap muncul di Banten. Berdasarkan tiga persoalan itu, Soni menitikberatkan kepada pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta peningkatan layanan kesehatan.
"Ini sesuai dengan apa yang menjadi Asta Cita Pak Prabowo-Mas gibran. Kami menyusun delapan program prioritas, 24 program turunan. Kami melihat ada tiga hal penting di Provinsi Banten, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan," ucapnya.
"Tingkat pendidikan rendah menjadi tantangan, optimis menyelesaikan bersama-sama sehingga program sekolah gratis yang kami canangkan. Kami juga memperjuangkan bagaimana pelayanan kesehatan di Banten yang luas ini," lanjut Soni.
Di satu sisi, Dimyati menyebutkan bahwa delapan program prioritas itu akan mengurangi kesenjangan antara utara dan selatan Banten serta timur dan barat Banten.
"Oleh sebab itu, delapan program kami, akan kami bangun di antaranya adalah pembangunan melalui infrastruktur offline dan online sehingga tidak ada gap antara utara dan selatan, timur dan barat," tuturnya.
Beda Sikap Atasi Ketimpangan
Meski sama-sama berjuang di Banten, Airin-Ade dan Soni-Dimyati memiliki sudut pandang yang berbeda untuk mengatasi ketimpangan sosial, ekonomi, dan pendidikan di Banten. Saat debat, Soni bertanya bagaimana Airin-Ade mengentaskan ketimpangan tersebut.
Menjawab persoalan itu, Airin menyebutkan pengangguran di Banten disebabkan lulusan SMK yang tidak sesuai kebutuhan kerja. Karena itu, ia berjanji menyesuaikan lulusan SMA/SMK dengan kebutuhan kerja di Banten.
Selain itu, Airin juga berjanji menambahkan jumlah sekolah negeri di Banten. Namun, ia berjanji penambahan SMA negeri itu tidak berdampak besar terhadap keberadaan sekolah swasta maupun pesantren.
"Menambah SMA baru, menambah ruang kelas, tetapi tak mematikan swasta, pesantren. Kami berikan beasiswa, sedang hitung [alokasi anggaran beasiswa], swasta juga dapat," ucap Airin.
Menyoal beasiswa, ia berjanji pemberian beasiswa tidak berhenti hingga jenjang SMA/sederajat. Pemberian beasiswa disebut bakal berlangsung hingga perguran tinggi.
Beda dengan Airin, Soni menilai banyak industri di Banten yang justru tidak mempekerjakan warga provinsi tersebut. Penyebabnya, yakni banyak warga yang hanya tamatan SMP.
Karena itu, ia berjanji akan menggratiskan biaya sekolah mulai SD-SMA. Dengan demikian, warga dapat menempuh pendidikan wajib selama 12 tahun.
"[Sekolah] vokasi sesuai kebutuhan industri dan ciptakan zona serapan tenaga kerja lokal. Di situ pabrik, lulus sekolah, kami sertifikasi agar bisa kerja di situ [pabrik]. Keadilan, pengangguran, ditekan untuk kesejahteraan rakyat," urai Soni.
Ade Serang soal Sekolah Gratis
Saat debat, Ade menyentil program sekolah gratis yang dijanjikan Soni-Dimyati. Menurut Ade, tarif sekolah di Banten sudah digratiskan sejak 2012. Dengan demikian, apa perbedaan janji Soni-Dimyati dengan program sekolah gratis tersebut.
Ia lantas mencurigai jika janji sekolah gratis hanya sekedar gimik untuk mencari dukungan.
"Yang ingin saya tanyakan, apa bedanya sekolah gratis Pak Dim [Dimyati] sekarang, wong sekolah sudah gratis. Jangan-jangan, sekolah gratis yang digaungkan Pak Dim selogan belaka untuk menarik masyarakat saja?" ucap Ade.
Merespons pertanyaan itu, Dimyati menyebutkan program sekolah gratis di Banten baru menyasar sekolah negeri. Sedangkan, swasta dan sekolah lain belum digratiskan.
Karena itu, Dimyati berjanji menggratiskan biaya sekolah swasta. Jika menempuh pendidikan hingga SMA, kualitas sumber daya manusia Banten bisa meningkat hingga mendapatkan pekerjaan.
"Namanya gratis, itu berlaku buat negeri dan swasta. Coba Kang Ade cek, apakah swasta, madrasah, aliyah, diniyah, apa gratis?" kata Dimyati.
"Kalau dia cerdas, pintar, dia bisa bekerja. Bekerja mendapatkan kesejahteraan. Kalau tidak sekolah, yang bersangkutan bisa dibodohi," lanjutnya.
Tak berhenti di situ, Ade kembali mempertanyakan apakah anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Banten sanggup membiayai sekolah swasta. Mengingat, APBD Banten berkisar Rp12 triliun.
Sementara itu, kata Ade, biaya pembangunan sekolah swasta untuk satu siswa bisa mencapai Rp12 juta.
"Ketika misalkan masukkan anak ke swasta, biaya pembangunannya Rp12 juta, apa Rp12 juta itu digratiskan? Apalah cukup Rp12 triliun ini? Tidak mungkin," sebutnya.
Dimyati kemudian menyatakan pendidikan merupakan hak warga negara Indonesia. Ia heran mengapa ada pihak yang menanyakan program sekolah gratis.
"Pendidikan itu pelayanan dasar, ini hak dari anak-anak kita. Apa mau gratis apa mau dibantu begitu saja? Maka, kami di sini adalah solusinya, kami akan gratiskan," tuturnya.
Penulis: Muhammad Naufal
Editor: Anggun P Situmorang