tirto.id - Penetapan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) menuai banyak protes dan komentar negatif. Hal ini dikarenakan dana JHT baru bisa dicairkan saat usia 56 tahun, mengalami cacat total, atau meninggal.
Tirto melaporkan gelombang penolakan terjadi di kalanganKonfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Mereka melakukan demo di Kantor Kemnaker dan kantor pusat BPJS Ketenagakerjaan (BPJS-TK) (16/2/). Sementara buruh di luar Jabodetabek menggeruduk kantor Dinas Tenaga Kerja dan kantor wilayah BPJS-TK di daerah masing-masing.
Penolakan terhadap Permenaker Nomor 2/2022 juga mencuat melalui petisionline. Dalam keterangan petisi, Suhari Ete selaku inisiator petisi menuliskan, “Jadi kalau buruh/pekerja di-PHK saat berumur 30 tahun maka dia baru bisa ambil dana JHT-nya di usia 56 tahun atau 26 tahun setelah di-PHK. Padahal saat ini dana kelolaan BPJS Tenaga Kerja sudah lebih dari Rp 550 Triliyun. Padahal kita sebagai pekerja sangat membutuhkan dana tersebut untuk modal usaha setelah di PHK.” Sekira 425 ribu orang telah menandatangani petisi tersebut per 22 Februari 2022.
Memang, dalam aturan sebelumnya, JHT dapat dicairkan satu bulan setelah berhenti bekerja, termasuk mengundurkan diri, terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Aturan itu tertuang dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015—sebagai turunan dari Peraturan Pemerintahan (PP) Nomor 60 Tahun 2015 yang merevisi PP Nomor 46 Tahun 2015.
Kebijakan pencairan JHT saat usia pensiun juga sempat ditetapkan melalui PP Nomor 46/2015. Namun, kala itu penolakan ramai terjadi dari kalangan pekerja, sehingga pemerintah melakukan revisi dan membolehkan peserta JHT BPJS-TK untuk klaim dana JHT bilamana keluar dari pekerjaan atau terkena PHK, mengutip Tempo.
Menukil CNN Indonesia, Kemnaker juga akan meluncurkan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) pada 22 Februari 2022, menyusul perubahan aturan JHT. JKP sendiri menawarkan tiga manfaat meliputi uang tunai, akses informasi pasar kerja, dan pelatihan tenaga kerja.
Melihat ontran-ontran ini, kita perlu melihat bagaimana gelombang PHK terjadi sejak dua tahun silam --ketika pandemi mulai melanda. Lantas, bagaimana kondisi jaminan sosial terhadap kelompok pengangguran? Serta, bagaimana respons serikat buruh atas program baru JKP?
Pandemi dan Kasus PHK yang Membludak
Dilansir Detik, jumlah klaim JHT sepanjang Agustus 2021 mencapai Rp26,14 triliun seturut banyaknya pengangguran dan jumlah orang yang keluar dari pekerjaan. Jumlah itu melebihi perkiraan yang hanya mencapai Rp23,26 triliun.
Data Badan Perencanaan dan Pengembangan (Barenbang) Ketenagakerjaan Kemnaker pada Januari – Agustus 2021 menunjukkan angka PHK sebagai dampak pandemi COVID-19 mencapai 538.305 kejadian. Data tersebut juga diolah dari klaim JHT kepada BPJS-TK yang dibeberkan Indah Anggoro Putri, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemnaker dalam Integrity Constitutioal Discussion yang tayang melalui kanal YouTube Integrity Law Firm (26/11/2021).
Dari angka itu, korban pemutusan kerja banyak berasal dari sektor perdagangan, seperti retail, pasar, atau mall, disusul dengan sektor transportasi, hotel, restoran, dan kafe. Sementara dalam periode yang sama setahun sebelumnya, Kemnaker mencatat 2,1 juta pekerja menghadapi kasus PHK, dirumahkan, dan kehilangan usaha.
Banyaknya pekerja yang terdampak pandemi juga dijumpai dalam survei JobStreet—sebuah platform pencarian kerja. Survei yang dilakukan pada Mei 2020 dan menyasar 5.131 pencari kerja itu menyatakan sekitar 35 persen kandidat mengalami PHK secara permanen dan 19 persen diberhentikan untuk sementara.
Karyawan yang masih memliki pekerjaan bukan berarti terbebas dari ancaman. Masih dari survei JobStreet, sebanyak 56 persen karyawan mengaku alami perubahan pendapatan, seperti pengurangan atau penghapusan bonus, penundaan atau pembatalan gaji, dan pembekuan atau pengurangan gaji. Di antara pekerja yang disunat gajinya, 43 persen menanggung pemotongan hingga 30 persen.
Temuan itu selaras dengan studi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) berjudul “Dampak Pandemi COVID-19 terhadap PHK dan Pendapatan Pekerja di Indonesia” yang terbit di Jurnal Kependudukan Indonesia (2020). Mengutip studi tersebut, sekira 31 persen pekerja mengaku pendapatannya merosot sebanyak kurang dari 50 persen. Penelitian ini dilakukan dengan metode survei online kepada 1.112 karyawan yang dilangsungkan selama April – Mei 2020.
Masih dari studi yang sama, LIPI menaksir 15,6 persen pekerja mengalami PHK dan 13,8 persen di antaranya tidak mendapatkan pesangon. Mereka yang mengalami PHK, menurut studi LIPI, banyak berasal dari sektor pekerjaan konstruksi atau bangunan (29,3 persen), perdagangan, rumah makan, dan jasa akomodasi (28,9 persen), dan sektor listrik, gas, dan air minum (28,6 persen). Sementara kelompok terdampak PHK paling besar adalah pekerja usia muda usia 15-24 tahun (34,5 persen).
JKP Membutuhkan Aturan Pesangon?
Nabiyla Risfa Izzati, Dosen Hukum Ketenegakerjaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta dalam tulisan Tirtosebelumnya, menyampaikan bahwa JKP tidak bisa jalan sendirian dan membutuhkan aturan pesangon, sebab JKP hanya menggantikan penghasilan sementara.
Apalagi kepatuhan perusahaan di Indonesia terhadap pemberian pesangon terbukti rendah lantaran lemahnya penegakan hukum, seperti yang bisa dibaca pada laporan SMERU Research Insitute pada 2019, “Developing an Unemployment Insurance Scheme for Indonesia".
Padahal Indonesia termasuk dalam negara paling dermawan dalam memberikan pesangon ketimbang negara Asia lain, seperti Thailand, Singapura, Filipina, Malaysia, dan India. Kemurahan hati pemberian pesangon di negara berkembang juga disebut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) lebih tinggi dibanding negara maju.
Kembali pada implementasi aturan pesangon, menurut SMERU Research Insitute dalam laporan yang sama, rendahnya kepatuhan perusahaan dalam memberikan uang pesangon kepada pekerja menunjukkan belum efektifnya perlindungan terhadap pekerja.
Berangkat dari alasan itu, SMERU Research Insitute pernah merumuskan skema unemployment insurance (UI) dalam bentuk pembuatan rekening tabungan individuatau Unemployment Insurance Saving Account (UISA). Skema itu dinilai paling memungkinkan untuk memberikan perlindungan lantaran melompongnya infrastruktur untuk menerapkan sistem subsidi silangdalam asuransi pengangguran.
Skema UISA dijalankan dengan kontribusi dana dari pekerja dan pihak pemberi kerja atau perusahaan. Dana tersebut dapat dicairkan pekerja apabila mengalami pemecatan dengan alasan apapun. Meski begitu, skema UISA perlu dihubungkan dengan dana pensiun sehingga dana yang tidak terpakai akan ditambahkan ke dana pensiun.
SMERU Research Insitute memberi catatan senada dengan pernyataan Nabiyla, bahwa skema UI seperti misalnya UISA tidak sepatutnya menghilangkan atau menggantikan pesangon. Maka, lebih baik mengurangi pesangon alih-alih menggantinya. Mengutip SMERU Research Insitute, peraturan jaminan hari tua baru dikembalikan ke fungsi tabungan hari tua kalau skema UI telah matang .
Respons Serikat Buruh
Serikat buruh dan partai buruh melalui konferensi pers, Selasa (22/2) menyatakan penentangan terhadap JKP dan lebih menawarkan UI atau asuransi pengangguran. Mereka beranggapan skema tersebut lazim dan sesuai dengan konvensi ILO tentang jaminan sosial.
“Bedanya yang paling mendasar, kalau asuransi pengangguran sumber pendananaannya jelas dan berkelanjutan, seperti model jaminan pensiun. [Sumber pendanaannya] bisa dari pajak berarti APBN, bisa juga melalui iuran. Saat bekerja, buruh mengiur, perusahaan mengiur, dan pemerintah mengiur” tukas Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) dalam konferensi pers yang sama.
Rekomposisi Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM) dalam JKP juga disoroti Said sebagai masalah. Sebab, menurut Said, Konvensi ILO bahkan tidak mengenal susbsidi silang dalam sistem jaminan sosial.
Selain itu, serikat buruh juga menolak JKP seiring dengan penolakan terhadap dasar hukum JKP, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Menurut Said, Mahkamah Konstitusi (MK) melalui amar putusan tentang UU Ciptaker (25/11/2021) telah menunda dan menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas. Lebih lanjut, MK tidak membenarkan pula adanya penerbitan peraturan pelaksana baru berkaitan dengan UU Ciptaker.
Dalam amar putusan tersebut, MK juga menyatakan UU Ciptaker bersifat cacat secara formil, sehingga UU Ciptaker dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Merujuk pada amar putusan itu, Said mempertanyakan keberlangsungan JKP dengan payung hukum UU Ciptaker.
“Bagaimana ternyata kalo syarat kita tidak terpenuhi? Apakah bisa dikategorikan pemerintah melanggar hukum?” imbuhnya
Pemerintah dan DPR bahkan baru memasukkan UU Ciptaker dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Dengan begitu, Said menegaskan, ada ketidaktaatan pada asas hukum dalam peluncuran JKP.
Editor: Nuran Wibisono