tirto.id - Idul Fitri biasanya menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh Nissa (29), seorang pekerja kantoran yang tinggal di Jakarta Selatan. Sebagai anak pertama yang telah memiliki penghasilan tetap, ia biasanya mengalokasikan lebih dari setengah pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan lebaran orang tua dan adiknya.
Namun, tak seperti biasanya, pada momen lebaran tahun ini, ia mengaku berencana untuk mengurangi alokasi anggaran belanjanya.
“Segala macam dibeli, mulai dari pakaian, tas, sampai kadang aku beli gadget baru, tapi tahun ini agak ngurangin sih, paling jadi 30 persenan aja (anggaran untuk berbelanja). Bukan karena pendapatan berkurang tapi lebih ke menyadari situasi ekonomi sekarang,” kata Nissa, kepada Tirto, Senin (1/4/2024).
Ia bercerita, sejumlah permasalahan ekonomi saat ini, seperti kenaikan harga bahan pokok hingga isu kenaikan pajak, turut mempengaruhi penurunan daya belinya.
“Sebagai kelas menengah, aku merasa kehimpit sama kondisi (ekonomi) sekarang. Income kita gak naik, tapi harga bahan pokok naik semua. Belum lagi wacana kenaikan pajak. Ini ngaruh banget sih ke penurunan daya beli,” tambah Nissa.
Lebih lanjut, ia merasa posisinya sebagai kelas menengah menjadi yang paling rentan dengan situasi ekonomi ini.
Pasalnya, ia bukan kalangan atas yang telah mapan dan tak akan terpengaruh dengan adanya kenaikan harga bahan pokok. Di satu sisi, ia juga bukan termasuk kelompok miskin yang kerap mendapat subdisi dan bantuan sosial dari pemerintah untuk menghadapi situasi ekonomi saat ini.
Cerita Nissa diatas mungkin menjadi salah satu contoh dari sekian banyak kasus penurunan daya beli yang terjadi di kalangan masyarakat menjelang Idul Fitri, momen ketika umumnya, setiap tahun, konsumsi masyarakat naik. Kenaikan harga bahan pangan disinyalir turut berkontribusi atas melemahnya daya beli masyarakat saat ini.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, terjadi inflasi year-on-year (yoy) sebesar 3,05 persen pada Maret 2024. Lebih tinggi dari inflasi tahunan pada Februari 2024 sebesar 2,75 persen.
Diketahui, kelompok pengeluaran penyumbang inflasi bulanan terbesar pada Maret 2024 terbesar berasal dari makanan, minuman dan tembakau, dengan laju inflasi sebesar 1,42 persen dan memberikan andil inflasi sebesar 0,41 persen.
Perlu diingat pula bahwa harga beras sudah naik sebesar 8,9 persen lebih dari awal tahun, pada akhir Maret, menurut data Kementerian Keuangan.
Selain makanan, terlihat bahwa pada momen sebelum Idul Fitri 2024, ada penurunan penjualan mobil dan motor yang terkontraksi tajam pada awal tahun ini.
Data Kementerian Keuangan mencatat, penjualan mobil telah terkontraksi selama delapan bulan berturut-turut. Penjualannya mencapai minus 18,8 persen secara tahunan (yoy) pada Februari 2024. Data yang sama menunjukan, penjualan sepeda motor juga telah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut. Pada Februari, penjualannya turun 2,9 persen secara tahunan.
Tren penurunan penjualan mobil juga dikonfirmasi oleh Gabungan Industri Kendaraan Bermotor (Gaikindo).
Data Gaikindo merekam penjualan wholesale (pabrik ke dealer) mobil nasional turun 22,6 persen secara tahunan (yoy) menjadi 140.274 unit pada Januari-Februari 2024. Hal yang sama juga terjadi dalam penjualan retail (dealer ke konsumen) mobil nasional juga berkurang 15 persen secara tahunan (yoy) menjadi 148.649 unit pada periode yang sama.
Lalu, bagaimana respons dan data pemerintah terkait adanya indikasi penurunan daya beli masyarakat saat ini?
Data Indikasikan Keyakinan Konsumen Tetap Kuat
Di tengah adanya indikasi penurunan daya beli masyarakat, Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) pada Februari 2024 mengindikasikan keyakinan konsumen terhadap kondisi ekonomi akan tetap kuat. Hal ini misalnya tercermin dari Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Februari 2024 yang berada dalam zona optimis (>100) yaitu pada angka 123,1.
Sebagai konteks, IKK adalah indeks yang mencerminkan keyakinan konsumen Indonesia mengenai kondisi ekonomi saat ini dan ekspektasi konsumen dalam periode yang akan datang. Indeks yang masih di atas 100 menunjukkan konsumen optimistis memandang perekonomian saat ini hingga 6 bulan mendatang
Lebih lanjut, BI, dalam laporan yang sama, juga mencatat Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) dan Indeks Ekspektasi Konsumen (IEK) Februari 2024 tercatat masing-masing berada di angka 110,9 dan 135,3 atau masih dalam zona optimis.
Namun, di balik angka-angka optimisme yang nampak di permukaan tersebut kerapuhan mulai terlihat. Berdasarkan penelusuran Tirto, angka IKK dan IKE pada Februari 2024 tercatat merupakan yang terendah sejak Oktober 2023. Selain itu, angka IKK pada Februari 2024 juga mengalami tren penurunan secara bulanan pada kelompok pengeluaran Rp3,1-4 juta, Rp4,1-5 juta dan >Rp 5 juta.
Pada kelompok pengeluaran Rp3,1-4 juta angka IKK turun tipis, dari 125,6 menjadi 125,2. Pada kelompok pengeluaran Rp4,1-5 juta, angkanya turun dari 133 ke 126,9. Sementara itu, kelompok pengeluaran >Rp5 juta level IKK merosot dari 130,8 ke 128,9.
Keyakinan konsumen dalam melakukan pembelian durable goods atau barang tahan lama juga terlihat mengalami tren penurunan secara bulanan di Februari 2024, pada semua kelompok pengeluaran. Pada kelompok pengeluaran Rp3,1-Rp4 juta, misalnya, angkanya turun dari 118,2 ke 114,7. Adapun, di kelompok pengeluaran >Rp5 juta, angkanya turun dari 119,5 ke 116,7.
Pada Februari 2024, rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi (average propensity to consume ratio) mengalami penurunan dibandingkan bulan sebelumnya, yaitu menjadi sebesar 73 persen, dari 74,6 persen.
Angka penurunan proporsi konsumsi dari pendapatan ini terlihat di hampir seluruh tingkat pengeluaran. Tren ini juga terutama terlihat pada responden dengan pengeluaran Rp1 juta-Rp2 juta per bulan yang turun 3,9 persen dari 77,8 persen pada bulan sebelumnya, menjadi 73,9 persen pada Februari 2024.
Meski data rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk konsumsi mengalami penurunan, BI, melalui rilis Survei Penjualan Eceran Februari 2024 mengaku optimis kinerja penjualan eceran akan meningkat. Hal tersebut tercermin dari Indeks Penjualan Riil (IPR) Februari 2024 yang secara tahunan tumbuh 3,6 persen (yoy) dan mencapai 208,5.
BI optimis secara bulanan angka pertumbuhan juga mencatat perbaikan meskipun masih dalam zona kontraksi. Perbaikan ini diprediksi disebabkan oleh peningkatan kegiatan masyarakat pada periode Hari Besar Keagamaan Nasional (HBKN) Imlek, Pemilu 2024, dan persiapan kebutuhan menjelang bulan Ramadan.
Lantas, bagaimana kondisi di lapangan terkait daya beli di masyarakat menjelang Hari Raya Idul Fitri 2024?
Jelang Lebaran: Pedagang Offline Lesu, Toko Online Berjaya
Pasar Tanah Abang nampak lebih ramai dari biasanya pada Sabtu (30/3/2024) atau saat memasuki akhir minggu kedua ramadan. Putri (30), nampak masih sibuk untuk mengatur stok pakaian yang ia akan beli untuk keperluan toko pakaian grosir miliknya di kawasan Tangerang Selatan.
Putri sudah hampir tujuh tahun mengelola toko pakaian milik keluarganya yang menjual berbagai macam pakaian anak hingga dewasa. Selain itu, ia dan tokonya juga berperan sebagai distributor pemasok pakaian ke sejumlah pasar dan pedagang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di sekitar wilayah Tangerang Raya.
Kepada Tirto, ia mengungkap bahwa omzet penjualan tokonya terus mengalami penurunan bahkan pada saat momen menjelang lebaran tahun ini. Tren penurunan ini menurutnya bahkan telah terjadi sejak kurun waktu tujuh bulan terakhir atau sejak Agustus 2023 lalu.
“Tahun ini paling kerasa banget sih (penurunan angka penjualan), bahkan lebih parah dari tahun 2022. Dulu, Ramadan gini buat modal belanja ke satu supplier bisa sampe Rp1 miliar, sekarang buat belanja ke supplier cuma modal Rp400-500 juta karena takut gak kejual. Jadi penurunannya, ya, 50-60 persen lah,” kata Putri kepada Tirto, Sabtu (30/3/2024).
Ia bercerita, kondisi yang sama dikeluhkan oleh sejumlah pedagang pasar yang mengambil stok pakaian dari tokonya. Para pedagang pasar tersebut mengeluhkan kondisi pasar yang semakin sepi ditinggal pengunjung di momen Ramadan tahun ini.
Dari sisi pedagang, menurutnya ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat di momen Ramadan tahun ini. Pertama, ia menganggap kondisi ekonomi masyarakat saat ini memang sedang menurun imbas kenaikan sejumlah harga pokok. Kedua, ia menilai mulai populernya budaya berbelanja online di tengah masyarakat juga berpengaruh pada penurunan minat belanja offline.
Sebagai informasi, Survei Ramadan 2024 yang dirilis oleh Jakpat mengungkap, sebanyak 92 persen responden berencana akan membeli baju baru pada momen ramadan tahun ini. Meski begitu, temuan yang sama mengungkap lebih dari 70 persen responden mengaku lebih menyukai untuk berbelanja online.
Senada, YouGov dalam laporan “Indonesia’s 2024 Ramadan shopping outlook: Key purchase categories and retail channels” menyebut sebanyak 78 persen responden berencana akan membeli baju baru dengan menggunakan saluran online. Sementara, hanya sebanyak 17 persen responden yang mengaku akan membeli baju baru secara offline.
“Pada ngeluh juga kebutuhan pada naik, karena pembeli kebanyakan kelas menengah dan bawah, jadi kalo harga-harga pada naik itu langsung ngaruh ke daya beli mereka. Kalah populer juga sama online shop yang berani perang harga,” kata Putri.
Ia mengaku tak bisa menyalahkan teknologi atas makin populernya budaya berbelanja online di tengah masyarakat. Namun, ia meminta pemerintah untuk turut memikirkan kondisi penjual offline sepertinya dalam hal peraturan perdagangan diantaranya soal aturan penjualan barang impor dan perang harga.
Berbeda dengan Putri dengan usaha toko grosirnya, kemeriahan Ramadan nampak ada pada Gina (28), wanita asal Jakarta yang memiliki usaha toko online di bidang peralatan kosmetik dan produk perawatan kulit. Di bulan Ramadan ini, ia mengaku omzet penjualan tokonya meningkat hampir empat kali lipat dibanding bulan biasanya.
“Selalu naik kalo Ramadan, tren nya meningkat terus dari minggu pertama sampai puncaknya tuh minggu ke-3 sampe menjelang lebaran. Kalo dibanding bulan biasa sih, naiknya maksimal bisa sampai empat kali lipat,” kata Regina kepada Tirto, Minggu (31/3/2024).
Meski mengalami tren peningkatan selama Ramadan, dirinya mengakui omzet penjualan tokonya sempat mengalami tren penurunan selama kurang lebih enam bulan terakhir.
Namun, ia mengaku beruntung mendapatkan dukungan dari marketplace tempatnya berjualan, untuk meningkatkan daya beli masyarakat di momen khusus seperti Ramadan tahun ini. Dukungan ini utamanya dalam bentuk kampanye dan pemberian promo khusus atau diskon.
“Sebagai seller merasa kebantu banget sama dukungan dari marketplace. Karena memang kita juga sempet mengalami penurunan bulan-bulan sebelumnya. Tapi di momen khusus kaya Ramadan ini, mereka (marketplace) bikin semacam kampanye dan promo gitu dalam bentuk gratis ongkir, cashback dan voucher potongan harga dan itu ngaruh banget loh buat ningkatin daya beli konsumen,” kata Gina.
Namun, ia memberi catatan bahwa tak semua penjual di marketplace tempatnya berjualan mendapatkan dukungan promo dalam bentuk yang sama. Jenis dan bentuk dukungan promo yang diberikan menurutnya bergantung pada tingkatan level penjualnya.
Lalu, apa kata pengamat terkait adanya indikasi penurunan daya beli masyarakat kelas menengah saat ini?
Pemerintah Harus Perhatikan Masyarakat Kelas Menengah
Senada, Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menilai, ada beberapa faktor yang menyebabkan penurunan daya beli di kalangan masyarakat kelas menengah yang terjadi belakangan ini.
Pertama, kenaikan sejumlah harga bahan pokok seperti beras yang membuat pengeluaran kelas menengah terhadap belanja kebutuhan pokok meningkat. Kedua, meningkatnya suku bunga BI yang berimbas pada meningkatnya suku bunga kredit pada segmen konsumsi cepat seperti Kredit Perumahan Rakyat (KPR) hingga kredit kendaraan.
Hal ini, menurut Bhima, turut melemahkan penjualan perumahan maupun kendaraan, sehingga membuat daya beli masyarakat menurun.
Sebagai konteks, BI menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) pada Oktober 2023. Suku bunga acuan kini berada di level 6 persen. Sementara itu, suku bunga Deposit Facility juga naik di posisi 5,25 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,75 persen.
Ketiga, laju pertumbuhan biaya pendidikan yang dianggap lebih tinggi dibanding upah minimum. Bhima menilai, hal ini membuat kelas menengah mengeluarkan alokasi dana lebih banyak untuk menyekolahkan anaknya, sekaligus menekan pengeluaran untuk pos lain.
“Imbas laju pertumbuhan biaya pendidikan lebih tinggi dari upah banyak kelas menengah yang memberikan alokasi dana lebih banyak untuk menyekolahkan anaknya. Ini misalnya terjadi di perguruan tinggi, dan itu akhirnya juga menekan biaya lain. Jadi kalo pendidikan posnya lebih besar, maka dia akan mengurangi biaya lainnya,” kata Bhima kepada Tirto, Selasa (2/4/2024).
Bhima menyebut, ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengatasi situasi daya beli yang rendah di kalangan masyarakat kelas menengah. Pertama, harus ada perluasan bantuan sosial dan insentif yang menyasar kelompok menengah rentan.
“Jadi kelompok menengah rentan ini perlu dipastikan mendapatkan bantuan tunai atau bantuan pangan. Selain itu, juga harus banyak diberikan program kredit dengan bunga rendah, KPR-nya ditambah, insentif untuk pembelian kendaraan bermotornya juga ditambah,” kata Bhima.
Kedua, pemerintah harus memastikan dan menjamin bahwa inflasi pangan berada di bawah angka empat persen. Hal ini disebabkan daya beli masyarakat kelas menengah sangat bergantung pada stabilitas harga pokok.
Menurut data BPS, per Maret 2024 ini, Indonesia mengalami lonjakan inflasi komponen harga bergejolak atau volatile food hingga 10,3 persen secara tahunan (yoy), naik dari 8,47 persen pada Februari 2024. Komoditas yang dominan memberikan andil inflasi adalah beras, daging ayam ras, cabai merah, telur ayam ras, bawang putih, dan tomat.
Ketiga, pemerintah harus semakin memperluas industri yang berorientasi padat karya sehingga banyak kelas menengah bekerja di sektor formal dibandingkan sektor informal. Terakhir, Bhima menyarankan pemerintah untuk menunda wacana kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Mohammad Faisal juga menekankan pemerintah harus lebih memperhatikan ekonomi kelas menengah di tengah isu penurunan daya beli ini.
Pertama, dari sisi kebijakan pemerintah harus fokus pada kebijakan penciptaan lapangan kerja, penambahan profitabilitas dari usaha masyarakat, dan hal-hal yang mendorong kenaikan upah.
Di sisi lain, ia menyinggung agar pemerintah tidak mengeluarkan kebijakan fiskal kontra produktif yang berimbas pada penurunan daya beli.
Ia mencontohkan soal wacana kenaikan PPN yang menurutnya dapat langsung menurunkan daya beli khususnya di kalangan masyarakat menengah bawah dan dapat mengerek potensi inflasi element of suprise seperti harga listrik, gas serta bahan bakar minyak (BBM), yang dapat semakin menekan daya beli masyarakat.
“Masyarakat kelas menengah bawah tidak mendapat subsidi bansos, karena bukan tergolong miskin, tapi secara income mereka sangat rentan. Jadi kebijakan fiskalnya harus diwaspadai,” kata Mohammad Faisal kepada Tirto, Selasa (2/2/2024).
==
Bila pembaca memiliki saran, ide, tanggapan, maupun bantahan terhadap klaim Periksa Fakta dan Decode, pembaca dapat mengirimkannya ke email factcheck@tirto.id.
Editor: Farida Susanty