tirto.id - Sekitar sewindu lalu, muncul tren yang cukup bikin kancah perkulineran gegar: makanan, minuman, dan kudapan berwarna hitam. Beberapa contoh seperti martabak hitam, kebab hitam, burger hitam, charcoal latte, hingga kukis black sable. Tren ini cukup mengguncang karena tak banyak kuliner, terutama minuman dan kudapan, berwarna hitam di Indonesia.
Namun, sebagai anak yang lahir dan bertumbuh dewasa di Purworejo, sebuah kota kecil di barat Yogyakarta, saya tak kaget atau nggumun. Makanan, terutama minuman dan kudapan berwarna hitam (irȇng) adalah hal lumrah yang sudah saya jumpai sedari kecil. Di Purworejo kudapan hitam ini merupakan kudapan tradisional yang sudah mengakar di masyarakat.
Salah satu yang paling umum ditemui adalah dawet ireng. Sejauh ingatan saya, dawet ireng ini dulu saya kenal awalnya melalui dawet sawah – hanya saja, warna dawetnya belum terlalu hitam. Saat musim panen tiba di Sindurjan, penjual “dawet sawah” selalu datang menjajakan dagangannya di sekitar sawah dekat rumah. Sang penjual dawet memikul dua buah kendhil (bejana tanah liat) berisi dawet di kedua sisi pikulan. Sekitar tahun 1992, saya yang kala itu masih anak-anak sering membeli “dawet sawah” yang cendolnya berwarna kelabu kehitaman – dawet ireng.
Sayangnya, seiring bergulirnya waktu, lahan sawah dekat rumah mulai menyempit karena mulai difungsikan sebagai area permukiman. Dawet sawah pun menghilang. Waktu melaju cepat, tibalah saatnya saya menjadi anak SMA pada 2002. Kala itu, saya mulai mengenal dawet irȇng Jembatan Butuh karena banyak teman sekolah saya yang berasal dari daerah Kutoarjo – Butuh.
Dawet ireng ini sering viral di media karena jika Jembatan Butuh disingkat, maka itu satu singkatan yang saru, dan mungkin terkesan lucu bagi banyak orang.
Dawet irȇng tersebut telah mengobati kerinduan saya pada dawet sawah. Setelah dawet sawah menghilang seiring sawah di kampung kami yang juga sirna, saya hanya menemukan dawet Banjarnegara dengan cendol berwarna hijau dengan aroma khas daun suji.
Dawet ireng Jembatan Butuh ini punya cendol yang hitamnya lebih pekat dibandingkan dawet sawah yang saya nikmati saat kecil. Warna hitam pekat tersebut berasal dari oman (abu merang).
Sejarah dawet ireng Jembatan Butuh ini bermula dari Mbah Amad yang berkeliling ke sawah-sawah untuk menjajakan dawetnya. Suatu hari beliau memutuskan untuk berjualan menetap di sisi timur Jembatan Butuh. Beruntungnya, usaha Mbah Amad diteruskan oleh anak, dan kini cucunya: Wagiman. Kini, Wagiman yang merupakan generasi ketiga ini juga menjual tape ketan yang dibungkus daun pisang dan kacang goreng.
Selain di sisi timur Jembatan Butuh, dawet irȇng yang dijajakan penjual lainnya dapat dijumpai di pujasera Kantor Pos Purworejo, pertigaan seberang Puskesmas Purworejo, dan di beberapa area tepi jalan kabupaten. Semuanya juga menyajikan tape ketan dengan harga rata-rata Rp1.500 per bungkusnya. Sedangkan harga seporsi dawet irȇng umumnya sama, yakni sekitar Rp7 ribu.
Selain dawet irȇng, ada pula kudapan hitam lain dari Purworejo, yaitu gethuk irȇng yang mudah dijumpai di pasar tradisional. Gethuk tersebut terbuat dari parutan singkong, gula pasir, oman, dan minyak sayur. Tekstur gethuk hitam tersebut agak nggares (terasa semacam butiran kecil seperti pada krasikan).
Akan tetapi, tekstur nggares tersebut justru menjadi cita rasa bagi para penikmatnya. Gethuk irȇng hampir setiap hari dijajakan di Pasar Sucen oleh Mbah Marfungah. Selain menjual gethuk irȇng, Mbah Marfungah juga menjual lupis, cenil, dan gathot yang beliau buat sendiri. Aroma sangit bercampur aroma khas singkong yang melekat pada kudapannya justru menjadi daya tarik. Beliau mengolah semuanya menggunakan tungku kayu bakar.
Satu lonjor gethuk irȇng (sekitar 25 cm x 5 cm x 2 cm) dihargai Rp10 ribu. Namun Mbah Marfungah dapat menjual sesuai pesanan kita. Mau beli Rp3 ribu, boleh. Beli Rp7 ribu, juga bisa. Mbah Marfungah akan dengan senang hati melayanimu. Beliau menaburi semua kudapan yang dijajakan dengan parutan kelapa sebelum membungkusnya dengan daun pisang.
Selain di Pasar Sucen, gethuk irȇng juga dapat dibeli di beberapa penjual kudapan yang menggelar lapaknya pada pagi hari. Akan tetapi, gethuk irȇng yang dijajakan di lapak kudapan telah dikemas mika dengan ukuran sekitar 10 cm x 10 cm. Satu bungkusnya seharga Rp4 ribu, dan rasanya cukup berbeda dari yang dibuat Mbah Marfungah. Gethuk irȇng tersebut memiliki tekstur lebih lembut, tetapi tidak meninggalkan tekstur nggares. Aroma mentega terasa cukup kuat karena memang pembuatannya menggunakan mentega dan campuran tepung oman.
Satu lagi kudapan hitam yang banyak ditemui di Purworejo, yakni kue lompong. Kue basah yang dibungkus klaras (daun pisang kering) itu kini juga mulai menggunakan tepung oman dalam pembuatannya. Kue lompong mulanya memang terbuat dari daging batang tanaman lompong (keladi) yang dicampuri abu merang dan sedikit tepung ketan. Seiring berjalan waktu, proses pembuatan kue lompong semakin praktis. Cita rasa kue lompong tetap terjaga dalam kekenyalan kue dan rasa isian gula kacangnya yang pas.
Kue lompong memiliki tekstur kenyal mirip mochi dan rasanya tawar. Isian gula kacangnya dihaluskan dengan sedikit campuran jahe atau bawang merah sebagai penambah aroma. Umumnya kue lompong tahan selama sepuluh hari pada suhu ruang. Apabila kue mengeras sebelum sepuluh hari, kita dapat mengukusnya agar kue kenyal kembali.
Yang menarik dari kudapan-kudapan ini adalah kenyataan bahwa semua sengaja diberi warna hitam. Tidak seperti gatot yang berwarna hitam karena prosesnya, dawet ireng, gethuk ireng dan lompong merupakan kudapan yang memang diberi abu merang agar berwarna hitam. Kenapa begitu? Hingga kini pun saya belum menemukan jawabannya.
“Ya dari dulu warnanya memang hitam,” jawab orang-orang tua ketika saya bertanya tentang hal ini.
Pewarna hitam alami hingga kini masih digunakan untuk mewarnai kudapan-kudapan tersebut. Namun tak lagi abu merang sebagaimana dulu, melainkan abu merang yang sudah diproses menjadi tepung oman. Saat ini, tepung oman telah banyak diminati pembeli dan banyak dijual di toko bahan kue area Purworejo.
Tepung yang terbuat dari abu merang tersebut menjadi bahan pewarna makanan alami pada kudapan hitam khas Purworejo. Satu bungkus tepung oman itu telah menjadi solusi praktis bagi para produsen kudapan hitam karena tidak perlu repot lagi memproses abu merang.
Begitu cerita tentang minuman dan kudapan hitam dari Purworejo. Kalau dari tempatmu, apa makanan, minuman, dan kudapan yang berwarna hitam?
Editor: Nuran Wibisono