tirto.id - Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman melalui kuasa hukumnya menyatakan kedatangan dia ke Universitas Gadjah Mada (UGM), Rabu, 27 November 2019 untuk silaturahmi sebagai alumni.
Muhtar Hadi Wibowo, kuasa hukum Fathur menegaskan kehadiran kliennya tidak terkait dengan dugaan plagiat yang sempat mencuat beberapa waktu lalu.
“Kalau [kedatangan Fathur Rokhman] hari ini tidak [terkait pemeriksaan dugaan plagiat] ya. Pak Fathur sebagai alumni UGM bersilaturahmi dengan Pak Rektor [UGM Panut Mulyono],” kata Muhtar saat mendampingi Fathur, di UGM Yogyakarta, Rabu (27/11/2019).
Muhtar kemudian kembali menegaskan dalam pertemuan silaturahmi tersebut tidak membahas soal dugaan plagiat disertasi Fathur di UGM yang telah dilaporkan dan diproses di Dewan Kehormatan Universitas.
Ia mengatakan bahasan yang didiskusikan hanya soal peran alumni UGM dan kerja sama antar universitas negeri.
"[Diskusi] tentang bagaimana peran alumni. Kebetulan salah satu alumninya menjadi rektor, tentunya UGM juga bangga. Ini akan bersinergi sesama universitas negeri," kata Muhtar.
Sementara terkait dugaan plagiat yang dialamatkan ke kliennya, Muhatar menyebut, hal itu sebagai suatu “kebohongan.”
“Yang pasti [dugaan plagiat] itu adalah berita fiktif, kampanye kebohongan yang perlu kami luruskan bahwa itu tidak ada," ujar dia.
Muhtar mengatakan akan melakukan klarifikasi terkait dugaan plagiat tersebut. Namun, ia tak menjelaskan apa bentuk klarifikasi yang dimaksud.
"Kami akan gunakan hak jawab. Upaya hukum nanti akan kami tempuh kalau perlu, kalau enggak ya kekeluargaan, diskusi," kata Muhtar.
Senat Universitas Gadjah Mada (UGM) melalui Dewan Kehormatan Universitas (DKU) memanggil dan memeriksa Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman atas dugaan plagiat.
"Kami klarifikasi aduan yang diadukan ke kami [...] Aduan tentang diduga plagiat," kata Ketua Senat UGM Hardyanto Soebono saat ditemui wartawan usai pemeriksaan Rektor Unnes di UGM, Rabu (27/11/2019).
Fathur, kata Hardyanto, diminta keterangan selama kurang lebih satu tengah jam di ruang Rapat Senat. Setelah selesai, Fathur berpindah ke Ruangan Rektor untuk bertemu Rektor UGM Panut Mulyono.
Hardyanto mengatakan Fathur memberikan keterangan kepada DKU terkait proses penciptaan karya disertasinya berjudul "Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas" pada 2003 yang diduga memplagiat skripsi dua mahasiswa bimbingannya.
"Ada kesamaan antara skripsi dengan disertasi. Karena ya wajar, karena sebagai pembimbing itu ya mengajari muridnya. Jadi ya klarifikasi saja," kata Hardyanto.
Namun jika kesamaan disertasi itu dengan skripsi atau karya yang lain sampai 90 persen, maka kata Haryanto itu sudah dapat dikatakan sebagai bentuk tindakan plagiat dan melanggar etik.
Akan tetapi, hal itu perlu dilakukan pembuktian.
Selain melakukan pemeriksaan terhadap saksi-saksi DKU, kata Hardiyanto, juga telah melakukan pemeriksaan terhadap disertasi Fathur dan dua skripsi mahasiswa dia.
Dua skripsi mahasiswa bimbingan Fathur itu milik Ristin Setiyani berjudul “Pilihan Ragam Bahasa Dalam Wacana Laras Agama Islam di Pondok Pesantren Islam Salafi Al-Falah Mangunsari Banyumas" (2001). Dan skripsi Nefi Yustiani berjudul “Kode dan Alih Kode Dalam Pranatacara Pernikahan di Banyumas" (2001).
Hasil kajian penyandingan karya beserta keterangan dari saksi dan terlapor saat ini, kata Hardyanto, masih diproses di DKU.
"Ini masih melakukan sidang DKU. Sekarang masih diproses belum selesai [...] Belum diputuskan [apakah plagiat atau tidak]. Kan tadi baru menanyakan dengan yang bersangkutan," ujar dia.
Hardyanto mengatakan ini merupakan klarifikasi pertama yang dilakukan oleh Fathur Rokhman setelah pada panggilan pertama ia tidak hadir.
Setelah ini, kata Hardyanto, DKU akan menentukan, jika memang tidak lagi diperlukan keterangan saksi lain, maka akan langsung dilakukan sidang pleno.
Bila hasil sidang pleno memutuskan benar adanya tindakan plagiat yang dilakukan Rektor Unnes, maka nantinya ada konsekuensi saksi yang diberikan.
"Konsekuensinya macam-macam. Itu kan melanggar etik itu dianggap ringan, sedang, atau berat. Kalau berat ya bisa dicabut [gelarnya] . Kalau ringan, ya diperingatkan, tidak boleh naik pangkat. Kan itu nanti dilaporkan ke kementerian," kata Hardyanto.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz