Menuju konten utama

Dari Prada Hingga Toyota, Melawan Para Pendompleng Nama

Setiap tahun, ada saja pemilik merek terkenal yang menyeret para pendompleng merek ke pengadilan di Indonesia. Tahun ini, setidaknya ada sembilan pemilik merek yang merasa didompleng dan menuntut hak akan kekayaan intelektualnya ke pengadilan.

Dari Prada Hingga Toyota, Melawan Para Pendompleng Nama
Prada S.A, produsen produk fashion asal Italia melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggugat pembatalan merek Prada yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) atas nama PT Manggala Putra Perkasa (MPP), produsen produk fashion di Indonesia. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Januari lalu, Prada S.A, produsen produk fashion asal Italia melayangkan gugatan ke Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Ia menggugat pembatalan merek Prada yang terdaftar di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) atas nama PT Manggala Putra Perkasa (MPP), produsen produk fashion di Indonesia.

Merek Prada milik MPP itu terdaftar di kelas 18 dan 25. Kelas 18 melindungi segala macam aksesoris, sedangkan kelas 25 melindungi produk pakaian jadi. Dalam menjalankan bisnisnya, MPP menggunakan merek Prada untuk produk-produk seperti dompet dan tas.

Merek Prada sendiri telah digunakan sejak 1913 oleh Mario Prada ketika ia dan adiknya, Martino Prada mendirikan toko barang-barang berbahan kulit. Fratelli Prada, begitu nama tokonya. Nama itu berasal dari Bahasa Italia yang jika diterjemahkan menjadi Prada Bersaudara. Kini Prada sudah memiliki 618 gerai di seluruh dunia.

MPP memanfaatkan keterkenalan merek Prada untuk membuat produknya laris di pasaran. Konsumen yang tak paham akan mengira produk MPP adalah produk asli milik Prada.

Beruntung, gugatan Prada dikabulkan oleh Pengadilan Niaga. Meskipun belum incracht, majelis hakim telah menyatakan kalau MPP mendaftarkan merek Prada dengan itikad tidak baik. MPP dinilai sengaja mendaftarkan merek itu untuk menghemat biaya promosi dan mengelabui konsumen.

Tahun ini juga, Toyota Jidosha Kabushiki kembali melayangkan gugatan pembatalan merek Lexus yang dicatut oleh pengusaha lokal, Agusman Tanudi untuk memasarkan produk antena TV, kabel antena, antena parabola dan perangkan penerima digital lainnya. Padahal merek Lexus milik Toyota itu sudah terdaftar di Ditjen KI sejak 25 Mei 1992. Ia terdaftar pada kelas yang melindungi mobil, suku cadang, dan perlengkapannya.

Ini bukan kali pertama Toyota melayangkan gugatan terkait dengan merek Lexus. Menurut catatan di Mahkamah Agung, sebelumnya Toyota telah membatalkan merek Lexus yang terfadtar atas nama PT Lexus Daya Utama, Stan Ley Ang, dan Lie Sugiarto.

Sama seperti gugatan-gugatan sebelumnya, kali ini gugatan Toyota kembali dikabulkan. Majelis hakim menilai pendaftaran merek Lexus yang dilakukan Agusman Tanudi didasari dengan iktikad tidak baik karena ingin mendompleng popularitas merek Lexus.

Tak lama setelah Toyota melayangkan gugatan, Hugo Boss Trade Mark Management GmbH and Co. KG mengajukan dua gugatan pembatalan merek sekaligus. Yang pertama menggugat Teddy Tan, pemilik merek Hugo Sport, yang kedua menggugat Alexander Wong, pemilik merek Zego Boss.

Dua perkara ini masih bergulir di pengadilan. Hugo Boss merasa nama populernya dicatut dan dimanfaatkan oleh pengusaha Indonesia.

Selain tiga merek tadi, ada Aeon, Tupperware, Adidas, hingga Cybeq—merek kereta dorong asal Jerman—yang sedang bertarung berebut hak kepemilikan merek di pengadilan tahun ini.

Menurut penelusuran tirto.id, tahun ini saja ada 14 perkara merek yang melibatkan merek terkenal. Beberapa merek malah mengajukan lebih dari satu gugatan, seperti Hugo Boss, HTC, dan Tupperware.

Kong Kalikong Oknum Pegawai Ditjen KI

Felix Tambunan, salah satu pengacara dari kantor hukum Suryomurcito & Co mengatakan, tahun ini, setidaknya sudah ada empat perkara merek terkenal yang ditangani pihaknya tahun ini. “Pada umumnya gugatan pembatalan merek,” katanya.

Menurut Felix, penyebab merek-merek itu bisa terdaftar di Ditjen KI meskipun serupa dengan merek terkenal, adalah karena adanya kong kalikong antara pendaftar dan pemeriksa merek. Sebab jika tidak ada kong kalikong, mudah sekali melacak satu merek terkenal atau tidak.

Tuduhan ini tidak ditepis oleh Kasubag Humas Ditjen Ardiansah Hariwardana. “Tidak menutup kemungkinan terjadi, tetapi tentu di periode di bawah tahun 2010,” katanya.

Sebab sejak tahun 2010, jelas Ardiansah, Ditjen KI sudah memiliki sistem yang saling terintegrasi, jadi semua pihak di dalam lembaga itu bisa melihat dan memantau. “Ketika ada permainan, ini akan terbaca,” ungkapnya. Jadi, ketika ada dokumen yang ditolak tetapi prosesnya tetap berjalan, para pimpinan bisa memantau dan etika kepegawaian oknum itu akan langsung diproses.

“Untuk saat ini, saya belum pernah menemukan itu lagi,” ungkapnya. Frasa “menemukan itu lagi” tentu bermakna sebelumnya kecurangan-kecurangan itu pernah ditemukan.

Baca juga artikel terkait SENGKETA MEREK atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Indepth
Reporter: Reja Hidayat & Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti