tirto.id - Siang itu, toko grosir sekaligus swalayan sembako Tri Wijaya yang berlokasi di Jalan Aria Putra Ciputat, Tangerang Selatan, tampak dipenuhi pengunjung. Salah satu konsumen yang berdesak-desakan di toko grosir jelang Lebaran ini adalah Ci Rita, perempuan asal Medan yang tampak antusias menyomot berbagai bahan makanan termasuk dua karton (kardus) wafer Superman.
Pemilik toko kelontong bernama Harapan Baru di salah satu perumahan kelas menengah Ciputat itu mengaku dua karton Wafer Superman merupakan persediaan barang dagangan untuk satu bulan, bahkan bisa habis lebih cepat. “Satu karton wafer coklat Superman paling lambat habis terjual sekitar dua minggu dan paling cepat satu minggu. Jadi dua karton memang untuk persediaan jualan selama dua minggu sampai satu bulan saja,” cerita perempuan berusia 28 tahun ini.
Menurut Ci Rita, wafer coklat Superman ini membawa nostalgia bagi dirinya. Saat duduk di sekolah dasar di Medan, ia kerap jajan wafer coklat yang dulunya berbentuk lebih kecil ini dengan harga yang jauh lebih murah. “Ini memang jajanan jaman dulu dan rasanya coklatnya memang bikin nostalgia. Dulu harganya masih murah, ya. Sekarang per bungkus saya jual Rp1.000,” ungkap Rita ramah.
Wafer Superman memang lebih dikenal utamanya bagi generasi 90an. Adalah PT Marxing Fam Makmur yang merupakan pemegang merek Superman yang mendapat sertifikat merek dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) pertama pada 1993 untuk kode kelas 30 dan 34. Sebagaimana tercantum di situs Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), Kemenkumham.
Kode kelas 30 dan 34 merupakan kategori untuk jenis biscuit, wafer, roti, kerupuk, bihun, mie, kopi, teh, sereal, serta kembang gula. “Sertifikat merek itu diperbarui setiap 10 tahun,” ungkap Sururi El-Haque, Kuasa Hukum PT Marxing Fam Makmur dari kantor hukum Elque & Co kepada Tirto.
PT Marxing kemudian bekerja sama dengan PT Siantar Top untuk memproduksi wafer cokelat merek Superman itu. Sejak 1993, tidak ada masalah berarti terkait merek dagang wafer cokelat Superman. Di Indonesia, nama wafer Superman semakin melegenda.
Pada 2017, DC Comics, perusahaan penerbit buku komik asal Amerika Serikat (AS) melayangkan permohonan pendaftaran merek terkait Superman. Sebagai tambahan informasi, DC Comics merupakan unit penerbitan dari DC Entertainment yang merupakan anak perusahaan Warner Bros Entertainment Inc., yang bermarkas di Burbank, California, AS. DC Comics menerbitkan tokoh pahlawan Superman.
Putusan Mahkamah Agung
DC Comics melayangkan gugatan terhadap Marxing Fam Makmur dan menyatakan bahwa pihaknya merupakan pemilik dari merek Superman, Logo S, dan Superman beserta Lukisan. Oleh karenanya, mereka mempunyai hak eksklusif terhadap merek-merek tersebut di wilayah Indonesia. DC Comics dalam gugatannya juga menyatakan merek Superman dengan nomor daftar IDM000374438 dan IDM000374439 atas nama Marxing Fam Makmur telah didaftarkan dengan itikad tidak baik.
Atas gugatan ini, Mahkamah Agung dalam pertimbangan kasasinya menyatakan bahwa gugatan yang dilayangkan DC Comics kabur dan tidak jelas. Ini karena, gugatan merupakan gabungan atau kumulasi dari pembatalan merek "Superman" dan pencoretan permintaan pendaftaran merek "Superman".
Selain itu, dalam pertimbangannya MA juga menilai bahwa penerima kuasa telah melakukan perbuatan yang melebihi kewenangan yang diberikan oleh DC Comics selaku pemberi kuasa. Kuasa hukum tidak memberikan kuasa untuk melakukan permintaan diterbitkannya sertifikat baru atas nama DC Comics.
Dalam surat kuasa, DC Comics selaku penggugat hanya bertujuan untuk melakukan pembatalan merek saja tanpa meminta penerbitan sertifikat baru. Atas pertimbangan tersebut, MA menyatakan tidak dapat menerima gugatan DC Comics terhadap Marxing Fam Makmur serta Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual.
“Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi,DC Comics. Menghukum pemohon kasasi untuk membayar biaya perkara dalam tingkat kasasi sejumlah Rp5 juta,” tulis MA dalam kutipan putusannya dengan H. Hamdi sebagai Ketua Majelis Kasasi dan Hakim Anggota Panji Widagdo serta Sudrajad Dimyati.
Atas putusan MA tersebut, maka menurut Sururi telah jelas dan tegas jika PT Marxing Fam Makmur merupakan pihak yang berhak memakai dan menggunakan merek ‘Superman’ di Indonesia. “Di Indonesia, Superman dikenal sebagai tokoh kartun dan bukan produk makanan. Jadi klien kami tidak mendompleng keterkenalan DC Comics,” imbuh Sururi.
Selain itu, meski penyebutan sama, tapi etiket, logo dan lainnya berbeda. “Klien kami (PT Marxing Fam Makmur) juga tidak pernah menuliskan merek ini adalah merek dari DC Comics. Jadi tidak ada hubungannya,” jelas Sururi.
Sengketa Merek Dagang
Pertikaian merek dagang yang melibatkan produsen wafek cokelat lokal dan juga perusahaan penerbitan kelas dunia, DC Comics ini sejatinya adalah terkait merek dagang dan juga Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atau intellectual property rights (IPRS). Perlu diketahui bahwa, prinsip pendaftaran merek adalah first to file atau siapa yang pertama kali mendaftar maka menjadi pihak pertama yang ditangani pengurusan mereknya.
Selain itu, prinsip pendaftaran merek didasarkan pada teritorialias yang artinya perlindungan merek hanya berlaku di negara tempat merek tersebut didaftarkan. Artinya, perlindungan merek tidak berlaku di negara lain yang tidak didaftarkan.
Kedua prinsip ini berlaku secara internasional dan diakui di seluruh dunia sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris atau Paris Convention Artikel 6, Artikel 6 ayat 3, dan juga Artikel 16 ayat 1 TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) (PDF). Aturan internasional itu kemudian diadopsi di dalam negeri menjadi Undang-Undang Merek Nomor 20 Tahun 2016 (PDF) dan Indikasi Geografis terdaftar.
Dengan begitu, PT Marxing Fam Makmur yang mendaftarkan merek Superman untuk kelas 30 dan 34 sejak 1993, merupakan pihak yang dianggap sebagai pemegang merek Superman untuk kelas tersebut di Indonesia. Perlindungan merek perusahaan itu tidak berlaku di negara lain jika tidak mendaftarkannya.
“Begitu juga dengan DC Comics, yang mendaftarkan di AS dan tidak mendaftarkan di negara lain. Jadi DC Comics bisa mendaftarkan perlindungan merek Superman di Indonesia sepanjang tidak sama kelas, barang dan jasanya dengan wafer Superman,” jelas Ari Juliano Gema, Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Bekraf RI.
Tak hanya di Indonesia, kasus sengketa merek berbeda kelas juga jamak terjadi di berbagai negara seluruh dunia. Salah satu kasus sejenis yang terkenal adalah Apple Corps versus Apple Computer. Saat menamakan perusahaannya Apple Computer, Steve Jobs sudah meramal bahwa ia akan menarik perhatian Apple Corps, perusahaan induk yang didirikan musisi The Beatles pada akhir 1960-an.
Apple Corps pemilik label rekaman Beatles, Apple Records, menuntut Apple Computer pada 1978 atau dua tahun setelah Steve Jobs mendirikan perusahaan tersebut. Tahun 1981, kedua perusahaan sepakat bahwa Apple Computer tidak akan pernah merambah industri musik. Perselisihan memuncak pada 2003 saat Apple Computer meluncurkan iTunnes sampai perseroan bersalin nama menjadi Apple Inc.
Apple Inc. kemudian membeli seluruh merek dagang terkait ‘Apple’ dan melisensikan merek dagang tertentu kembali ke Apple Corps, termasuk logo smith Apple Corps. Steve Jobs sebagai penggemar The Beatles menggambarkan keseluruhan perjalanan merek dagang Apple sebagai jalan panjang dan berliku, hingga akhirnya tersedia katalog The Beatles di iTunes pada 2010 setelah bertahun-tahun negosiasi, mengutip The Guardian.
Hal lain yang perlu diperhatikan terkait sengketa merek adalah tentang prinsip Merek Terkenal. Prinsip ini mengatur bahwa jika sebuah merek sudah terdaftar di berbagai negara, dipromosikan dan memiliki investasi besar-besaran, dapat meminta ditetapkan sebagai Merek Terkenal.
Dalam kasus ini, seandainya DC Comics meminta kepada Pengadilan Niaga di Indonesia untuk ditetapkan sebagai Merek Terkenal, maka perusahaan AS tersebut memiliki kekuatan hukum yang lebih solid untuk menggugat perusahaan Indonesia agar membatalkan merek Superman, meski sebelumnya DC Comics belum mendaftarkan mereknya di Indonesia.
“Secara teori DC Comics meminta pembatalan merek Superman pada perusahaan Indonesia jika pengadilan di Indonesia memutuskan bahwa DC Comics merupakan Merek Terkenal. Jadi minta pengakuan merek terkenal terlebih dahulu di pengadilan, baru kemudian bisa meminta pembatalan merek,” rinci Ari.
Kasus pembatalan merek dengan menggunakan prinsip Merek Terkenal sebelumnya juga pernah terjadi di Indonesia di mana produsen mobil Italia, Ferrari S,p.A Modena menggugat PT Bali Nirwana Garments yang memproduksi berbagai jenis barang konveksi seperti pakaian pria, wanita, anak-anak, sampai dengan sol sepatu. Ferrari asal Italia memenangkan gugatan baik di Pengadilan Niaga maupun putusan MA, yang menyatakan bahwa Ferrari S.p.A Modena merupakan pemegang merek Ferrari yang sah.
Jika DC Comics akhirnya menempuh langkah yang sama dengan Ferari, maka bersiap jika suatu saat nanti wafer merek Superman pun bisa menghilang dari warung-warung di Indonesia.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti