Menuju konten utama
2 Juli 1999

Mario Puzo: The Godfather, Superman, dan Keluarga Imigran Italia

Mario Puzo tak hanya menulis The Godfather, ia juga terlibat dalam film Superman

Mario Puzo: The Godfather, Superman, dan Keluarga Imigran Italia
Ilustrasi Mozaik Mario Puzo. tirto.id/sabit

tirto.id - Amerigo Bonasera duduk menahan sedih di depan meja kerja besar di rumah seorang Amerika berdarah Italia yang sangat dihormati. Sambil menahan emosi, Amerigo menceritakan betapa ia yakin Amerika Serikat bisa menjadi tempatnya membangun bisnis dan kehidupan yang layak untuk keluarganya. Tapi rupanya ia sedang mengalami musibah. Sambil duduk ia berkata bahwa beberapa waktu lalu anak perempuannya dipaksa menenggak whisky dan dipukuli habis-habisan oleh dua orang lelaki muda kulit putih karena menolak diajak bercinta.

Di hadapannya, Vito Corleone sang bos mafia, serius mendengarkan sambil mengelus-elus seekor kucing yang betah di pangkuannya. Selesai bercerita, Amerigo dituntun ke luar ruangan dan diyakinkan bahwa anak perempuannya akan mendapatkan keadilan: dua pemuda itu akan dihajar. Atas nama keadilan, hubungan Amerigo dan Vito yang memang kenalan lama itu kembali serasi.

Adegan itu menjadi adegan ikonis pembuka film The Godfather, karya besar sutradara Francis Ford Coppola yang pertama kali tayang pada tahun 1972. Publik mengenal film itu sebagai film adaptasi dari novel legendaris yang berjudul sama karya Mario Puzo.

The Godfather mendapat sambutan sangat positif di Hollywood. Tiga penghargaan Academy Awards berhasil diraih dan tujuh nominasi Oscar mengantarkan film ini didaulat sebagai salah satu film terbaik dan paling berpengaruh dalam sejarah. Mario Puzo mendapatkan penghargaan Academy Award for Best Adapted Screenplay pada tahun itu. Salah satu faktor penting dalam kesuksesan itu adalah permainan watak Marlon Brando sebagai Vito Corleone. Selain itu, juga kehadiran aktor-aktor mumpuni lainnya seperti Al Pacino, Robert Duvall, James Caan, Talia Shire, dan Diane Keaton.

Uniknya, meski menjadi salah satu literatur fiksi modern terbaik, Puzo mengaku menulisnya tanpa mengenal dekat atau mewawancarai satupun anggota mafia di AS. Ia mendapatkan sumber riset untuk karyanya itu dari jurnalis Peter Maas, kawannya yang menerbitkan The Valachi Papers (1968).

“Dari Peter Maas, ia mendapatkan Valachi Papers. Puzo meluangkan banyak waktu dan mempelajari dokumen itu secara ekstensif,” tulis Peter Cowie dalam bukunya The Godfather Book (1997:17).

Konon, sumber yang digunakan Peter Maas untuk bukunya merupakan pengakuan langsung dari mantan anggota keluarga mafia. Sedangkan Puzo lebih banyak mengandalkan pemahaman tentang wilayah tempatnya tumbuh dewasa, riset literatur, dan imajinasi.

Dari The Godfather ke Superman

Mario Gianluigi Puzo lahir di New York, Amerika Serikat, pada 15 Oktober 1920. Ia lahir dan tumbuh dewasa dari keluarga imigran Italia yang hidup miskin di wilayah kumuh kota tersebut. Keluarga Puzo bermigrasi ke AS dari Pietradefusi, Italia. Ayahnya pergi meninggalkan keluarganya dan tak pernah kembali lagi kala Puzo baru berusia 12 tahun. Setelah itu Maria, ibunya, membanting tulang membesarkan Puzo dan enam saudara kandungnya.

Pada usia 16 tahun, Puzo sudah mantap untuk menekuni dunia menulis. Setelah diganggu oleh Perang Dunia II--Puzo harus bertugas di Jerman--ia pulang dan mulai menulis cerita pendek.

Di usia yang relatif muda, Puzo sempat menulis cerita pendek berjudul The Last Christmas yang dipublikasikan dalam American Vanguard. Pada 1955, novel pertamanya The Dark Arena, terbit. Setelah itu Puzo tak pernah jauh dari dunia tulis-menulis. Tahun 1960 Bruce Jay Friedman setuju mempekerjakan Puzo yang berusia 40 tahun sebagai asisten editor. Dengan nama pena Mario Cleri, Puzo menuliskan pengalamannya terlibat dalam Perang Dunia II untuk majalah True Action.

The Fortunate Pilgrim adalah novel keduanya yang terbit pada 1965. Namun, meski mendapat sambutan baik, kedua novelnya itu tidak banyak menghasilkan uang. Akhirnya pada 1969, didorong oleh keinginannya membuat karya yang digemari masyarakat, ia menerbitkan The Godfather.

Pada beberapa kesempatan, termasuk dalam wawancara dengan Larry King, ia mengaku menulis The Godfather untuk mendapatkan keuntungan finansial yang besar. Maklum, pada pertengahan tahun 1960-an itu Puzo sedang dilanda kesulitan ekonomi. Ia punya hutang besar dan bertanggung jawab menafkahi seorang istri dan lima anak.

Keuntungan finansial yang besar pun akhirnya tercapai. Karyanya menguasai peringkat satu The New York Times Best Seller selama 67 Minggu. Dalam dua tahun, The Godfather terjual sebanyak sembilan juta eksemplar.

Puzo langsung tenar. Tawaran pekerjaan berdatangan. Bahkan, ketika novel itu diangkat menjadi film, ia sebenarnya sedang mengerjakan rancangan awal naskah film Earthquake yang rencananya akan dirilis tahun 1974. Namun, karena kesibukannya menyiapkan sekuel film The Godfather Part II, naskah itupun terbengkalai. Belakangan, George Fox mengambil alih naskah itu dan sutradara Mark Robson merampungkan naskahnya di beberapa bagian. Meski demikian, atas nama strategi pemasaran film, nama Puzo tetap diangkat berkali-kali sebagai penulis rancangan naskah awal.

Setelah sekuel The Godfather Part II rampung, Puzo menulis skenario untuk Superman karya Richard Donner yang dirilis tahun 1978. Kali ini, ia tidak sendirian. Sebagai penulis naskah, ia bekerja bersama David, Leslie Newman, dan Robert Benton. Setelah perundingan yang cukup menyita waktu, akhirnya mereka memutuskan untuk menyiapkan juga sekuel Superman II secara bersamaan. Sayangnya, beberapa perselisihan antara produser dan sutradara membuat sekuel yang sudah hampir selesai digarap itu dihentikan. Mereka diminta fokus mengerjakan film pertama saja.

Akhirnya pada Desember 1978 film Superman dirilis. Efek visual yang digunakan dalam film itu dianggap sebagai terobosan baru yang mahal. Tak heran, jika Superman menjadi film yang menelan biaya paling mahal kala itu: 55 juta Dollar AS habis di gelontorkan. Lagi-lagi, karier Puzo sebagai penulis mendapat pujian. Akan tetapi ada dua orang yang dianggap paling berjasa dalam kesuksesan fim itu. Mereka adalah Christopher Reeve, aktor pemeran utama dan John Williams, komposer yang menciptakan salah satu musik superhero paling ikonis dalam sejarah.

Menyusul kesuksesan itu, Puzo kembali terlibat dalam penyusunan cerita film A Time to Die tahun 1982, dan kembali bekerja sama dengan Coppola untuk film The Cotton Club pada 1984.

Infografik Mozaik Mario Puzo

Infografik Mozaik Mario Puzo. tirto.id/sabit

Berkolaborasi dan Berselisih dengan Francis Ford Coppola

Puzo dan Coppola memang sangat serasi ketika mengerjakan The Godfather dan dua sekuelnya. Meski demikian, perdebatan sengit sebenarnya juga terjadi, terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan alur cerita yang mereka kembangkan. Dalam sebuah tulisan yang dibuat untuk mengenang 50 tahun novel The Godfather, Coppola menceritakan selisih pahamnya dengan puzo:

“Tidak semua ide saya berjalan dengan baik. Mario ragu dengan gagasan bahwa Fredo akan mengkhianati Michael karena baginya itu tidak masuk akal. Akan tetapi ia benar-benar menentang keras adegan cerita Michael memerintahkan untuk membunuh saudaranya sendiri.”

Akhirnya, setelah berdebat sengit, semua selisih paham itu dicari jalan tengahnya. Coppola menempatkan adegan pembunuhan Fredo setelah meninggalnya ibu mereka. Dengan kata lain, Michael tidak membunuh kakaknya sendiri selama ibu mereka masih hidup. Puzo tampaknya luluh dengan persyaratan itu dan proses pembuatan film pun dilanjutkan.

Tapi selisih paham kembali muncul dalam adegan Kay, istri Michael yang mengaku melakukan aborsi. Menurut Coppola, ide aborsi muncul dari Talia Shire, adik Coppola yang juga berperan menjadi adik Michael dalam film itu.

Ceritanya, Kay yang diduga mengalami keguguran ternyata mengaku ke Michael bahwa ia melakukan aborsi. Bagi Coppola, yang menilai adegan itu dari perspektif sutradara, aborsi adalah adegan dramatis yang merupakan usaha terakhir Kay untuk memutuskan hubungan dengan suaminya itu. Meski Puzo tidak yakin dengan gagasan itu, namun adegan pengakuan Kay tetap ditayangkan dan The Godfather Part II kembali menyabet 6 dari total 9 nominasi Academy Awards.

Di luar kesibukannya di dunia film, Puzo terus menghasilkan sejumlah karya. Novelnya yang berjudul Fools Die terbit pada 1978, disusul dengan The Sicilian pada 1984. The Last Don (1996) dan Omertà (2000) menjadi karya terakhir Puzo yang berkaitan dengan tema mafia. Pada 2 Juli 1999, tepat hari ini 22 tahun lalu, Puzo meninggal di rumahnya di Long Island.

Baca juga artikel terkait THE GODFATHER atau tulisan lainnya dari Tyson Tirta

tirto.id - Humaniora
Penulis: Tyson Tirta
Editor: Irfan Teguh