Menuju konten utama

Dari Lapangan Hijau ke Meja Hijau: Catatan Kriminal Pesepakbola

Ada nama-nama beken, ada kasus-kasus yang tidak biasa. Inilah daftar beberapa pesepakbola dan catatan kriminal mereka.

Dari Lapangan Hijau ke Meja Hijau: Catatan Kriminal Pesepakbola
Penjaga gawang Liverpool, Bruce Grobbelaar (baju hijau), menegur seorang pendukung Liverpool yang diawasi oleh rekan setimnya Peter Beardsley, setelah ratusan penggemar menyerbu lapangan di akhir Final Piala FA antara Liverpool dan Everton di stadion Wembley, London, 20 Mei 1989. Pagar perimeter baru-baru ini dihapus dari tanah setelah bencana HIllsborough bulan lalu, yang menewaskan 96 fans Liverpool. Liverpool memenangkan derby Merseyside 3-2. AP Photo / Tony White

tirto.id - Tahun 1994, ketika usianya 22 tahun, Mauricio Pochettino pernah berbagi kamar dengan Diego Maradona saat keduanya bermain untuk Newell’s Old Boys.

Sebagai remaja yang masih belum jadi siapa-siapa, berada satu kamar dengan sosok legendaris seperti Maradona tentu membuat pemuda Pochettino ciut. Tapi bukan itu penyebab utama kenapa dia sering kikuk, melainkan karena sebuah momen yang tak disangka-sangka.

Maradona kala itu sudah berusia 34 tahun dan berada di penghujung karier dengan sederet permasalahan: peningkatan berat badan hingga kecanduan obat-obatan. Gosip tentangnya pun kerap diburu wartawan untuk dikulik.

Hingga suatu hari, ketika wartawan menyerbu kediamannya di Buenos Aires, Maradona yang tak tahan lagi memutuskan untuk melakukan sesuatu: menembaki kerumunan tersebut dengan senapan angin.

Bertahun-tahun kemudian, Pochettino yang sudah menjadi pelatih Tottenham Hotspur, sempat mengenang kembali momen tersebut dalam sebuah konferensi pers kala The Lilywhites berhadapan dengan Chelsea di Wembley pada Agustus 2017.

"Saya ingat betul ketika dia menembaki wartawan. Kami di kamar yang sama selama pra musim di Mar del Plata. Sehari sebelum kejadian, dia juga tidur di kamarku,” ungkap Pochettino.

“Maradona menyukai basket dan dia berencana untuk menyaksikan langsung final basket nasional. Ketika saya bangun di pagi hari, dia tidak ada di tempat tidur. Saat saya sarapan, pelatih sempat bertanya kepada saya tentang dirinya. Saya jawab: ‘Tidak, tidak, dia tidak kembali ke hotel.”

“Usai sarapan kami ke tempat latihan. Tidak ada satu orang pun yang tahu tentang kabar Maradona. Ketika makan siang, muncul berita di televisi, ‘Diego menembaki wartawan di Buenos Aires!’. Itu 400 kilometer jauhnya dari lokasi kami!”

Kejadian menghebohkan tersebut sempat terekam oleh kamera televisi. Maradona bersama dua rekannya (yang disinyalir merupakan para pengawalnya), berjongkok di belakang sebuah mobil Mercedez sambil berteriak: “Kalau kalian tidak segera bubar dan masih berisik, kami akan menembak dengan peluru asli!”

Empat orang terluka dalam insiden tersebut, tapi Maradona tidak didakwa hukuman apapun. Ia bahkan menjadi kapten Argentina di Piala Dunia 1994, sempat pula mencetak satu gol indah kontra Yunani di fase grup dan merayakannya dengan berteriak di hadapan kamera, sebelum akhirnya dikeluarkan dari tim karena terbukti mengonsumsi doping. Kasus penembakan itu pun baru dibuka kembali empat tahun kemudian oleh para wartawan yang menjadi korban.

"Dengan dibukanya kembali kasus ini setidaknya menunjukkan masih ada keadilan. Ketika kasus tersebut terjadi empat tahun lalu, semua orang mengatakan tidak mungkin mereka akan menghukum seorang pria yang dikultuskan di Argentina dan pasti mereka akan memaafikan dirinya,” kata Daniel Talamoni, salah satu dari empat jurnalis yang menggugat Maradona, kepada BBC.

Maradona pun didakwa hukuman penjara selama dua tahun dan 10 bulan. Apakah hukuman tersebut membuat Maradona kapok? Tidak juga.

Tahun 2010, ketika ia menjadi pelatih Argentina di Piala Dunia di Afrika Selatan, Maradona yang tengah mengendarai sebuah Mini Cooper kedapatan melindas kaki seorang jurnalis yang hendak mewawancarainya. Alih-alih meminta maaf, dengan santai ia membuka kaca mobilnya, lalu mengumpat keras-keras:

“Dasar goblok! Ngapain kau taruh kakimu di sana?!”

Para Pesepakbola dan Catatan Kriminal Mereka

Maradona bukanlah satu-satunya pesepakbola yang memiliki rekam jejak kriminal. Bahkan, dibanding beberapa nama lain, apa yang dilakukannya hanyalah remah-remah belaka.

Penggemar sepakbola pasti tahu siapa pesepakbola ini: Rene Higuita. Mantan kiper nyentrik Kolombia yang terkenal dengan aksi tendangan kalajengking-nya saat melawan Inggris itu punya reputasi yang tidak main-main dalam dunia kriminal.

Jika banyak pesepakbola biasanya nongkrong bersama selebritis atau publik figur lainnya, Higuita justru punya relasi akrab dengan Pablo Escobar: pemimpin legendaris kartel Medellin, kartel terbesar sepanjang sejarah. Selain itu, Higuita juga dikenal punya koneksi di beberapa kartel lain.

Pada tahun 1993, Higuita pernah didakwa tujuh bulan penjara karena terlibat dalam kasus penculikan seorang bocah perempuan berusia 11 tahun bernama Marcela Molina, anak dari salah satu pemimpin kartel lain di Kolombia, Carlos Molina, yang konon diculik oleh Medellin. Molina dianggap telah mencuci uang milik Escobar.

Posisi Higuita sebetulnya bukan sebagai penculik atau bagian dari komplotan penculikan. Justru sebaliknya, ia bertindak sebagai “penyelamat”: menjadi negosiator antara kedua kelompok. Dengan koneksinya di wilayah Medellin, Molina meminta tolong kepada Higuita untuk menyerahkan uang tebusan sebesar 300.000 dolar kepada para penculik.

Higuita pun menyanggupinya dan anak Colina yang diculik itu berhasil dibebaskan. Sebagai imbalan, Molina memberikan Higuita segepok uang 50.000 dolar. Mulanya Higuita menolak pemberian itu, namun karena keluarga Colina mendesak, ia terpaksa menerimanya. Dan justru karena hal tersebutlah Higuita masuk bui.

Pada waktu itu, pemerintah Kolombia baru saja membaharui peraturan mengenai penculikan seiring dengan tambah maraknya kasus tersebut di sana. Salah satu bentuknya adalah menindak penerimaan imbalan kendati ia berposisi seperti Higuita: membantu pembebasan korban penculikan.

Pengacara Higuita kala itu, Fabio Luzcano, menyebut kliennya tak tahu menahu mengenai hukum seputar kasus penculikan. “Dia tidak tahu apa-apa selain bermain sepakbola,” ujar Luzcano.

Jika berbicara mengenai kasus kriminal para pesepakbola, sebetulnya tiada lagi negeri yang tepat untuk menjadi rujukan selain Inggris. Di sana, ada begitu banyak kasus kriminal yang dilakukan para pesepakbola. Dari kasus yang standar seperti pelanggaran lalu lintas, hingga kasus pelecehan seksual.

Untuk kasus pelanggaran lalu lintas, ada nama-nama beken seperti Tony Adams, misalnya, yang pada tahun 1990 pernah ditangkap saat menyetir dalam keadaan mabuk dan harus mendekam di bui selama 57 hari. Ketika ditanya bagaimana kesannya saat dipenjara, mantan kapten Arsenal tersebut menjawab enteng: “Awalnya sih kaget, tapi lama-lama seperti di dalam hotel”.

Dalam rentang waktu yang berbeda, Adam Chapman dan Lee Hughes juga pernah didakwa untuk kasus serupa: mengemudi ugal-ugalan sambil mabuk dan menabrak orang hingga tewas.

Chapman, bekas striker Oxford United, melakukannya pada tahun 2009 dan harus mendekam di bui selama 30 bulan. Sementara Hughes, yang merupakan eks striker West Bromwich Albion, pada 2004 didakwa enam tahun penjara dan dilarang mengemudi selama 10 tahun karena ia juga dikenakan kasus tabrak lari.

Beralih ke kasus lain, Troy Deeney, striker Watford, pada tahun 2012 mesti merasakan lantai dingin penjara selama 10 bulan karena kasus yang tidak main-main: bersama beberapa rekannya, Deeney mengeroyok sekelompok mahasiswa di sebuah klub malam di Birmingham.

Peter Storey, salah seorang pemain ternama Arsenal pada medi0 70-an, pernah beberapa kali keluar masuk bui karena berbagai kasus. 1979: mendirikan rumah bordil yang diberi nama Calypso Massage Parlour. 1980: terkena kasus pemalsuan koin emas. 1982: pencurian mobil. Terakhir, dan ini yang paling absurd, tahun 1990: dipenjara selama empat minggu karena mengimpor 20 video porno.

Pemain Inggris yang dikenal sering menjadi biang keributan, Joey Barton, pada 2007 juga pernah mendekam di penjara selama empat bulan karena memukuli rekan setimnya di Manchester City: Ousmane Dabo. Dalam insiden tersebut, Dabo terkapar dan mengalami kerusakan parah di retinanya akibat hantaman berkali-kali dari Barton.

Infografik Kesebelasan penyamun

Masih ada banyak nama-nama lain yang masuk ke dalam daftar pesepakbola yang pernah dipenjara. Eric Cantona dengan tendangan kungfunya yang legendaris ke Matthew Simons, suporter Crystal Palace, saat Manchester United tandang ke markas Palace pada 1995. Serge Aurier pernah mencaci-maki polisi di Paris pada 2016. Lalu ada Nile Ranger yang dipenjara karena serangkaian kasus penipuan dan pencurian.

Namun untuk menyebut siapa saja pesepakbola yang memiliki catatan kriminal paling parah, silakan merujuk kepada nama-nama berikut: Adam Johnson, Bruno Fernandes de Souza, dan Nizar Trabelsi. Apa saja kasus mereka?

Adam Johnson: Pengidap pedofilia dan beberapa kali melakukan pelecehan seksual terhadap anak perempuan di bawah umur. Tahun 2016 diganjar hukuman enam tahun penjara karena terbukti melakukan pelecehan terhadap gadis berusia 15 tahun. Bruno Fernandes de Souza: Menjadi otak penculikan dan pembunuhan mantan pacarnya: Eliza Samudio. Tidak sampai di situ, Bruno juga dengan amat sadis meminta tim pembunuh bayarannya untuk memotong-motong tubuh Eliza lalu dijadikan santapan anjing Rottweilers peliharannya.

Sedangkan Nizar Trabelsi, usai pensiun dari lapangan hijau, pemain asal Tunisia yang malang melintang di Bundesliga Jerman ini bergabung dengan Al-Qaeda dan menjadi teroris. Trabelsi ernah berencana mengebom markas militer AS di Belgia dan Kedutaan AS di Paris. Tahun 2003 ia dipenjara selama 10 tahun.

Sebetulnya masih ada satu nama lagi yang layak mengisi daftar pesepakbola dengan kasus kriminal yang brutal. Dia adalah kiper legendaris Liverpool asal Zimbabwe: Bruce Grobbelaar. Sewaktu remaja, Grobbelaar sempat mengalami bagaimana berdarah-darahnya masa perang kemerdekaan di negara tersebut. Sebuah masa di mana tiap orang hanya punya dua pilihan untuk bertahan hidup: membunuh atau dibunuh.

Grobbelaar memilih opsi yang kedua.

Dalam wawancaranya dengan Guardian belum lama ini, Selasa (02/10/2018), Grobbelaar mengakui hal tersebut:

“Berapa banyak orang yang pernah Anda bunuh?”

“Saya tidak bisa mengatakannya.”

“Banyak?”

“Iya, itulah kenapa saya hanya hidup untuk hari ini. Saya hanya bisa meminta maaf atas masa lalu saya. Semua sudah tidak bisa diubah lagi.”

Baca juga artikel terkait PEMAIN SEPAKBOLA atau tulisan lainnya dari Eddward S Kennedy

tirto.id - Olahraga
Penulis: Eddward S Kennedy
Editor: Nuran Wibisono