tirto.id - Tujuh tahun silam, Jepang dilanda bencana hebat. Gempa berkekuatan lebih dari 9,0 SR menghantam wilayah pantai timur laut serta mengakibatkan dua bencana susulan sekaligus: tsunami dan hancurnya reaktor nuklir di Fukushima. Publik menyebut peristiwa itu “Tiga Bencana.”
Dalam peringatan tujuh tahun tragedi tersebut, The National melaporkan bahwa jumlah korban tewas di 12 prefektur mencapai 15.895 orang, sebanyak 2.539 orang masih belum ditemukan, dan puluhan ribu orang tinggal di pemukiman sementara.
Rangkaian bencana 2011 meninggalkan luka mendalam bagi warga Jepang. Namun, Jepang segera bangkit dari keterpurukan. Bagi mereka, bangkit merupakan salah satu cara agar harapan terus menyala. Dan mereka melakukannya dengan sepakbola.
Terus Menyanyi, Terus Bermimpi
Pada 23 April 2011 jadi momen penting bagi Vegalta Sendai, klub bola asal Sendai dan ribuan penggemarnya. Hari itu, mereka bertarung melawan Kawasaki Frontale di Todoroki Athletics Stadium dalam hajatan Liga Utama Jepang, atau biasa dikenal dengan J. League.
Suasana dalam stadion begitu meriah. Penggemar Vegalta yang berjumlah sekitar empat ribu orang bernyanyi tanpa henti. Raut wajah mereka sangat antusias. Lelah tak nampak meski mereka baru saja menempuh perjalanan sejauh 500 mil, dari Tohoku ke Kawasaki.
Di bawah lebatnya hujan, para pendukung Vegalta yang banyak memakai baju berwarna biru-kuning ini terus menyanyikan lagu-lagu Kiss, The Ramones, dan Twisted Sister yang dimodifikasi jadi balada penyemangat. Namun, yang paling apik tentu saat mereka ramai-ramai koor lagu klasik "Take Me Home, Country Road" milik John Denver, penyanyi country asal Amerika Serikat.
Spanduk bertuliskan “Untuk teman-teman, kita tidak akan kalah lagi sampai kita membangun kembali kampung halaman kita” pun terpasang dengan gagahnya, menandakan bahwa pertandingan hari itu bukanlah permainan biasa.
Pemandangan tersebut bikin publik Jepang dan dunia terkaget-kaget. Pasalnya, sebulan sebelumnya, Jepang baru saja dilanda gempa dan tsunami. Sendai, kota asal klub Vegalta, termasuk wilayah yang terkena dampak paling parah. Ribuan orang tewas dan hilang. Banyak bangunan hancur. Setiap aspek kehidupan di kota ini tersentuh oleh tragedi, tak terkecuali sepakbola.
Gempa dan tsunami telah membikin Stadion Vegalta, Yurtec, beserta tempat latihannya hancur. Kondisi tersebut membuat Vegalta terancam gagal mengikuti kompetisi Liga Utama Jepang yang tetap dilangsungkan sesuai jadwal. Padahal, mereka baru saja promosi setelah bertahun-tahun mentok di kompetisi tingkat dua.
“Segera setelah gempa dan tsunami, sebagai sebuah tim, kami bertanya-tanya apakah kami harus dan dapat terus bermain sepakbola,” ujar pelatih Vegalta, Makoto Teguramori, kepada CNN.
Yang terjadi setelahnya adalah keajaiban. Usai pihak penyelenggara liga menetapkan Vegalta masih boleh terjun dalam kompetisi utama, seluruh jajaran klub—dari pemain sampai petinggi—kembali diselimuti optimisme. Tak cuma mereka saja, publik Sendai pun turut bergembira.
Pertandingan pembuka melawan Kawasaki yang berakhir dengan kemenangan Vegalta mengawali kebangkitan Sendai. Sejak itu, seluruh jajaran pemain dan pelatih bersumpah untuk terus membawa kemenangan di tiap pertandingan liga sampai Kota Sendai pulih seperti sediakala. Bagi mereka, kemenangan adalah salah satu cara untuk menjaga api harapan itu.
“Jika kami bermain dengan gigih, kami dapat mendorong orang-orang di Sendai dan Distrik Tohoku untuk terus mempunyai harapan. Kami ingin menjadi kekuatan bagi mereka yang kehilangan harapan,” kata Makoto.
Hasilnya tak main-main. Vegalta berhasil memperoleh 11 kemenangan beruntun. Prestasi tersebut membawa mereka, mengutip GOAL, duduk di posisi empat klasemen akhir Liga Utama Jepang dan berhak mendapatkan tiket AFC Champions League 2013—kompetisi akbar se-Asia—meski mentok sampai babak penyisihan grup. Bagi Vegalta, pencapaian ini adalah prestasi yang istimewa.
Dari lapangan bola, optimisme serupa menjalar ke masyarakat Sendai. Jonathan DeHart dalam “Sendai: A Tale of Football and Hope” yang diterbitkan The Diplomat pada 2013 mengungkapkan bahwa di luar lapangan, para pemain Vegalta membantu masyarakat Sendai berbenah. Mereka jadi relawan, melatih sepakbola bagi anak-anak setempat yang kehilangan orangtua dan tempat tinggal, hingga mengambil peran untuk mendistribusikan bantuan ke daerah lain yang rusak berat akibat gempa dan tsunami.
Sendai perlahan pulih seiring waktu. Masyarakat kembali beraktivitas seperti biasa dan merintis kehidupan dari awal. Tim bola Vegalta pun bisa memakai lagi kandang kebanggaan mereka yang telah direnovasi total.
“Bencana yang terjadi di wilayah Sendai telah menginspirasi para pemain, staf, dan seluruh jajaran klub untuk memberikan penampilan dan hasil yang luar biasa,” ujar Afshin Ghotbi, pelatih Shimizu S-Pulse berdarah AS-Iran kepada CNN.
Kisah kebangkitan Vegalta dan Sendai lantas menginspirasi Douglas Hurcombe dan Geoff Trodd untuk menuangkannya ke layar perak. Film itu diberi judul: Vegalta: Soccer, Tsunami and the Hope of a Nation(2017).
Setidaknya Berusaha
“Kita semua tidak bisa kembali berdiri jika sepakbola tak pulih,” jelas Toyoharu Takata, wakil presiden J-Village, pusat pembinaan sepakbola usia muda di Jepang.
Menggunakan sepakbola untuk menjaga harapan bahwa hidup harus terus berjalan tak cuma terjadi di Sendai. Di Fukushima, pemandangan serupa pun muncul.
Dibanding daerah lain yang terkena dampak bencana 2011, Fukushima bisa dibilang lebih kompleks. Selain meratakan kota, gempa dan tsunami juga mengakibatkan reaktor nuklir yang berdiri di sana tumbang. Efeknya, radiasi yang dibawa reaktor tersebut menyebar ke seluruh penjuru kota. Membikin penduduk setempat kabur dan Fukushima terlihat seperti daerah mati.
Dampaknya juga terasa ke urusan sepakbola. Sebelum reaktor nuklir jadi sumber bencana, Fukushima adalah pusat pembinaan sepakbola usia muda di Jepang, atau biasa dikenal dengan J-Village. Namun, pemandangan tersebut perlahan sirna akibat bencana.
Di saat banyak orang putus asa dengan masa depan (sepakbola) Fukushima, muncul sosok bernama Juan Saldivar yang berdiri di garda depan untuk menebar optimisme. Ia berupaya membangkitkan kembali sepakbola di Fukushima karena percaya masyarakat bisa pelan-pelan move on dari bencana lewat sepakbola.
Seperti ditulis Felix Lill dan Javier Sauras dalam “After the Earthquake” yang dirilis Blizzard UK pada 2015, Saldivar—seorang pensiunan pemain semi-profesional—menghidupkan lagi atmosfir sepakbola dengan menyelenggarakan kompetisi usia muda.
“Olahraga memiliki kemampuan untuk menghilangkan stres. Terlebih, sepakbola sudah menjadi olahraga yang paling populer. Sangat penting untuk tidak kehilangan budaya itu di sini. Anda benar-benar dapat melihatnya dari senyum anak-anak yang diizinkan bermain,” ungkapnya.
Upaya Saldivar mendapati banyak tantangan. Minimnya fasilitas bertanding hingga menurunnya jumlah sekolah sepakbola merupakan salah dua contohnya. Namun, seperti yang ia akui, “orangtua adalah ganjalan paling besar” dalam mewujudkan mimpinya.
“Saya bisa mengerti kegelisahan mereka. Siapa, sih, yang ingin anak-anak bermain di tempat yang tidak aman?” tanyanya. “Kami tidak tahu apakah tempat ini terkontaminasi atau tidak. Segalanya bisa berubah dalam hitungan hari, bahkan jam. Namun, mereka cuma ingin menikmati hidup, kok.”
Kendati ditentang, Saldivar jalan terus. Ia masih mengutip laporan Blizzard, mulai menyewa lapangan indoor dan mengajak anak-anak sekolah untuk datang dan bermain. Ia juga menghabiskan berbulan-bulan berbicara dengan pejabat kota dan orangtua agar mengizinkan anak-anak ikut turnamen bola.
Pada musim semi 2013, kompetisi yang diimpikan Saldivar akhirnya terlaksana. Ia begitu antusias. Namun, di lain sisi, ia juga merasa was-was jika yang datang tidak sesuai harapan. Ia berupaya menepis perasaan itu dan yakin bahwa ukurannya bukan banyak atau sedikit yang hadir, melainkan wajah kegembiraan anak-anak.
Pemandangan unik terjadi di lokasi kompetisi. Anak-anak didampingi para orangtua. Masing-masing orangtua masih memperlihatkan gelagat tak percaya. Mereka membawa peralatan untuk mengukur apakah tanah, udara, dan rumput di mana anak-anak mereka menginjakkan kaki, aman dari radiasi atau tidak. Meski mengizinkan anak-anaknya bermain, orangtua ini tetap waspada.
Pemandangan itu nyatanya hanya nampak di muka belaka. Selebihnya, kompetisi berjalan lancar. Anak-anak Fukushima menikmati pertandingan, seolah tak peduli dengan fakta bahwa radiasi nuklir berada di sekitar mereka.
Usaha Saldivar guna menjaga harapan lewat sepakbola pada akhirnya harus terhenti pada 2014. Ia terpaksa kembali ke negara asalnya, Meksiko, karena faktor keluarganya yang merasa tidak aman jika terus-terusan tinggal di Fukushima.
Di Jepang, sepakbola telah menjelma api yang senantiasa menjaga mimpi dan harapan masyarakat usai diterpa bencana. Akhirnya, sepakbola memang memeluk siapapun yang meyakininya.
Editor: Windu Jusuf