Menuju konten utama

Bantu Korban Gempa dan Tsunami di Palu Tak Hanya Asal Kirim Bantuan

Pengiriman logistik ke tempat bencana kerap menemui kesulitan. Bantuan yang dikirim juga terkadang tak sesuai kebutuhan para korban.

Bantu Korban Gempa dan Tsunami di Palu Tak Hanya Asal Kirim Bantuan
Petugas memasukkan bantuan logistik, makanan dan obat-obatan ke dalam pesawat jenis ATR 72 - 500 milik Pelita Air Service di Bandara Pertamina Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (2/10/2018). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww/18.

tirto.id - Kala Gunung Tambora meletus dahsyat pada 1815, Letnan Gubernur di Jawa saat itu Thomas Stamford Raffles merasakan abu vulkanik Tambora di kediamannya beberapa hari setelah letusan. Namun, respons Raffles untuk memberi bantuan logistik sangat lamban ke daerah bencana.

Seperti disebut Gillen D'Arcy Wood dalam Tambora: Letusan Raksasa Dari Indonesia (2015:46), Raffles akhirnya menginstruksikan kepada bawahannya di sejumlah daerah untuk membuat laporan lengkap mengenai kejadian letusan gunung yang berada di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat tersebut. Tujuannya, data tersebut digunakan untuk menyusun alokasi bantuan kepada para korban bencana.

Sayangnya data yang dihimpun tidak lengkap, dampaknya banyak warga yang tidak terjangkau bantuan."Tetapi, keseluruhan jangkauan kerusakan itu sepertinya lambat disadari sang gubernur Inggris. Baru pada Agustus 1815, setelah mendengar laporan tentang kelangkaan pangan di Sumbawa, dia mengirim sebuah kapal sarat beras sebagai bentuk bantuan bencana, dengan Letnan Owen Phillips sebagai penanggung jawab operasi penanggulangan," tulis Wood.

Artinya ada jeda sekitar lima bulan semenjak letusan Gunung Tambora terjadi. Hambatan kala itu tak hanya soal data dan informasi juga komunikasi dan transportasi yang belum memadai di wilayah bencana. Hambatan dalam pengiriman logistik bencana juga terjadi di masa modern, saat teknologi komunikasi sudah semakin maju.

Dalam konteks kekinian, saat terjadi gempa dan tsunami di Kabupaten Donggala dan Kota Palu, Sulawesi Tenggara, Jumat (28/9) sejumlah minimarket dan gerai swalayan jadi lokasi penjarahan para korban yang kesulitan logistik setelah satu hari pasca bencana. Bahkan bala bantuan logistik sudah dijarah massa saat di perjalanan.

Kerusakan sarana komunikasi juga mempersulit proses pendataan dampak gempa dan koordinasi penyaluran bantuan oleh pihak terkait, seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). “Komunikasi lumpuh akibat listrik padam menyebabkan pendataan dan pelaporan dampak gempa dan tsunami di Kota Palu dan Donggala tidak dapat dilakukan dengan cepat,” ujar Kepala BNPB Sutopo Purwo Nugroho.

Infografik Gangguan bagi Bala Bantuan

Masalah Klasik Menjangkau Daerah Bencana

Upaya mengirim bala bantuan menuju lokasi bencana alam memang bukan perkara mudah. Dalam makalah berjudul “Challenges of Emergency Logistic Management”, Jiuh-Biing Sheu dari Universitas Negeri Taiwan (2007), menjelaskan, distribusi logistik ke tempat bencana harus dilakukan secara profesional dan penuh ketelitian.

Definisi logistik kemanusiaan untuk daerah bencana seperti yang tercantum dalam makalah Biing adalah,”Proses perencanaan, pengelolaan, dan pengaturan penyaluran bantuan, informasi, dan pelayanan yang efisien dari pemberi bantuan menuju lokasi tujuan (tempat bencana) agar bisa memenuhi kebutuhan dari orang-orang terdampak yang sedang berada dalam kondisi darurat”.

Masih menurut Biing, waktu pengumpulan dan pendistribusian bantuan saat keadaan darurat akan sulit dikontrol. Bantuan bisa datang dalam waktu cepat setelah terjadi bencana, namun sulit untuk disalurkan karena berbagai hambatan. Kesulitan seperti itu terjadi dalam waktu-waktu krusial, sekitar tiga hari setelah terjadi bencana.

Belum lagi masalah saluran komunikasi yang terputus, membuat penyalur kesulitan untuk menentukan proporsi jumlah bantuan untuk setiap lokasi pengungsian. “Tidak seperti logistik untuk komersial yang nilai permintaannya bisa dipesan oleh konsumen, informasi jumlah logistik untuk bantuan bisa jadi sangat terbatas dan sulit untuk diidentifikasi langsung setelah terjadi bencana,” tulis Biing.

Fokus utama dalam upaya penanggulangan bencana, menurut Gyongyi Kovacs dan Karen M. Spens dalam jurnal “Humanitarian Logistics in Disaster Relief Operations” terbitan International Journal of Physical Distribution & Logistics Management Volume 37, adalah Merancang skema transportasi untuk membawa alat-alat pertolongan pertama, makanan, relawan, dan peralatan pendukung, seperti tenda, matras, dan lainnya, dari pusat penampungan logistik menuju tempat-tempat di kawasan bencana.

Ada beberapa cara yang dapat dilakukan agar bisa menyalurkan bantuan secara efektif dan efisien kepada para korban bencana. Seperti dipaparkan Kovacs dan Spens dalam tulisannya, pada tahap awal setelah terjadi bencana yang mesti dilakukan adalah menyiapkan bantuan semaksimal mungkin agar bisa memenuhi kebutuhan para korban.

Meskipun dituntut cepat, penyalur bantuan harus tetap selektif terhadap barang-barang yang diberikan secara sukarela oleh para dermawan. Dicatat Kovacs dan Spens, tidak menutup kemungkinan makanan yang akan disalurkan sudah kedaluwarsa atau kondisinya tidak layak untuk para pengungsi. Karena itu penyalur harus bisa meminimalisir kemungkinan tersebut dengan melakukan inspeksi sebelum memulai distribusi. Penyalur juga harus mengklasifikan barang-barang yang menjadi prioritas, agar semua bantuan menjadi tepat guna.

Mencuplik gagasan jurnal tersebut, agar bantuan bisa tersampaikan dengan cepat sebaiknya instansi penanggulangan bencana melibatkan pengusaha ritel setempat yang masih sanggup beroperasi dan memiliki stok makanan, minuman, pakaian, peralatan tidur, atau kebutuhan penting lainnya. Selain menghemat waktu tempuh, peritel lokal mengetahui medan dan kebutuhan masyarakat di lokasi bencana.

Sengkarut logistik bukan hal tabu dalam penanganan bencana. Selepas gempa bumi dan tsunami di utara Jepang tahun 2011, pendistribusian barang bantuan untuk korban bencana tidak berlangsung cepat dan efektif. Studi berjudul "Improving the Operational Efficiency of Humanitarian Logistics in the Aftermath of a Large-Scale Disaster" yang dilakukan oleh Wisinee Wisentjidawat dari Universitas Bristol, Inggris (2014) mencatat, barang bantuan untuk korban tsunami di Jepang menumpuk di pusat penampungan, sehingga petugas kesulitan untuk menyortir barang-barang yang tidak layak disalurkan, seperti makanan kedaluwarsa, pakaian kotor dan pakaian yang tidak sesuai untuk pengungsi, semacam gaun pesta atau sepatu hak tinggi. Barang-barang tersebut nantinya justru menjadi mubazir dan menumpuk di gudang logistik.

Untuk mengejawantahkan pelbagai persoalan tersebut, seturut Wisinee, perlu dibuat daftar barang-barang prioritas, semacam makanan instan, air bersih, pakaian, selimut, popok, dan obat-obatan untuk segera dikirim ke lokasi bencana dalam waktu sekilat mungkin. Barang-barang bantuan sebaiknya dikemas seefisien mungkin agar lebih praktis, seperti kemasan untuk makanan, alat mandi, dan alat tidur.

Item-item tersebut kemudian diberi kode agar mudah dikenali saat dibagikan kepada korban. Agar pengiriman tidak memakan waktu panjang, gudang logistik mesti ditempatkan di lokasi terdekat dari daerah terdampak bencana. Kapasitas penampungan logistik juga harus disesuaikan dengan volume barang bantuan yang akan diterima, sehingga tidak ada bantuan yang tercecer.

Penyaluran bantuan logistik ke tempat bencana memang bukan pekerjaan yang mudah, bukan hanya persoalan kecepatan, tapi ada sisi tanggung jawab, agar bantuan yang diberikan tepat guna sesuai dengan kebutuhan korban. Beberapa hari pasca-gempa dan tsunami tentu bantuan makanan siap santap sangat dibutuhkan dan air bersih, makanan ringan, juga selimut, popok, hingga pakaian. Semua ini perlu manajemen pengiriman logistik bencana yang tak asal kirim bantuan.

Baca juga artikel terkait GEMPA PALU DAN DONGGALA atau tulisan lainnya dari Yudistira Perdana Imandiar

tirto.id - Humaniora
Penulis: Yudistira Perdana Imandiar
Editor: Suhendra