Menuju konten utama

Dari Kampung Menuju Rusun dan Apartemen

Singapura dulunya adalah negara yang kumuh. Pemerintah Singapura menatanya dengan membuat bangunan vertikal. Meski tak mudah dan sempat mendapat penolakan, program tersebut kini cukup sukses.

Dari Kampung Menuju Rusun dan Apartemen
Pemandangan warna-warni apartemen perumahan di lingkungan Redhill Singapura menjelang matahari terbenam. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - "Membeli rusun adalah komitmen finansial jangka panjang yang bisa memakan waktu hingga 25 tahun. Jadi buatlah perhitungan dengan seksama, dan jangan memaksa untuk membeli rusun."

Peringatan itu tertera jelas di situs resmi Housing Development Board (HDB), lembaga pemerintah Singapura yang mengurusi perumahan rakyat. Karena itu pula, Erin memilih untuk menyewa rumah ketimbang membeli.

Erin beserta suami dan anak lelakinya tinggal di sebuah rumah nyaman dua lantai di bilangan Koon Seng Road. Rumah ini punya 5 kamar. Karena hanya butuh satu kamar, maka 4 kamar lain yang terletak di lantai 2 disewakan untuk Airbnb. Erin paham betul kalau membeli hunian adalah hal yang butuh perhitungan dan pertimbangan yang matang. Salah satu pertimbangan yang membuat Erin belum mau membeli hunian adalah dirinya tak bekerja. Meski menyewakan kamar untuk Airbnb, pendapatannya dirasa tak cukup untuk mencicil hunian.

"Sedikit berat kalau mengandalkan gaji satu orang," katanya.

Selain itu, Erin yang berasal dari Taiwan dan sekarang menyandang status sebagai Penduduk Tetap, tumbuh besar dalam kultur rumah tapak. Dia ingat rumahnya punya halaman luas, tempat dia bermain semasa kecil. Ia ingin anaknya yang sekarang berusia 4 tahun punya pengalaman yang sama. Namun di Singapura, keinginan itu adalah hal mahal, sebab harga sewa rumah tapak jauh lebih mahal ketimbang di hunian bertingkat.

Pertimbangan biaya dan kebiasaan tinggal di rumah tapak itu membuat Erin dan suaminya memutuskan belum akan tinggal di hunian bertingkat.

Sedikit berbeda dengan Erin, Teoalida sejak lahir selalu tinggal di hunian bertingkat. Warga negara Singapura ini belum pernah merasakan tinggal di kampung, ataupun rumah tapak. Pertanyaan yang sering dilontarkan padanya, sebagian besar berasal dari warga negara yang punya kultur tinggal di rumah tapak, adalah: apakah kamu bahagia tinggal di hunian bertingkat? Hal ini dikarenakan ada anggapan bahwa tinggal di hunian tingkat akan membuat penghuninya asosial.

"Berkebalikan dengan anggapan banyak orang, rusun HDB membuat orang-orang lebih banyak bersosialisasi," ujar Teoalida melalui percakapan dunia maya dengan Tirto.

"Terutama di awal-awal periode. Koridor adalah tempat main bagi anak-anak, orang-orang saling menjaga anak tetangga, dan lobi lift adalah tempat untuk ngobrol. Tapi sekarang kebanyakan dari kami ingin privasi," ujar peneliti perumahan di Singapura ini.

Sebuah Perubahan Kultur

Pada 1947, The British Housing Committee Report melaporkan bahwa Singapura adalah "salah satu kawasan kumuh terparah di dunia, sebuah aib bagi komunitas beradab." Pada saat itu, salah satu penyebab kekumuhan adalah meningkatnya populasi Singapura secara drastis, terutama setelah usainya Perang Dunia II. Pada 1940 jumlah warga Singapura sekitar 755 ribu jiwa. Pada 1946, jumlahnya meningkat jadi 907 ribu jiwa. Di sebuah negara dengan luas wilayah yang tak seberapa, peningkatan jumlah penduduk secara drastis tentu berdampak buruk.

Sebenarnya pemerintah Inggris yang saat itu menguasai Singapura sudah dimulai sejak 1926. Saat itu mereka terganggu dengan banyaknya kawasan kumuh di sana. Dalam laporannya, pemerintah Inggris menyebut tiga daerah yang paling kumuh adalah Lorong Brunei, Albert Street dan Lorong Krian, serta Sago Street. Tiga yang pertama sudah dihancurkan.

Kemudian dibentuklah Singapore Improvement Trust pada 1927 yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Namun, saat itu SIT tidak bisa bergerak leluasa karena keterbatasan lahan dan kiblat hunian mereka masih model British, yang tiap blok hanya terdiri atas 2 tingkat rumah dengan teras, maksimal 4 lantai. Karena itu selama 3 dekade, mereka baru bisa membangun sekitar 32 ribu rumah.

Infografik Kota Apartemen kampung singapura

Saat Lee Kuan Yew menjabat sebagai Perdana Menteri, ia membentuk Housing and Development Board (HDB) yang merupakan bagian dari Kementerian Pembangunan Nasional. Lembaga ini sekaligus menggantikan SIT.

Berdasar Housing & Development Act of 1960, tugas utama sekaligus darurat HDB adalah menyediakan hunian murah, terutama bagi para pekerja bergaji rendah yang tinggal di tempat kumuh dan tidak sehat. Syarat huniannya harus punya air bersih, listrik, gas, dan sanitasi. Selain itu, hunian harus dikelilingi oleh kawasan yang menyenangkan dan punya akses mudah terhadap kebutuhan dasar.

Lima tahun pertama, fokus HDB adalah membangun rusun untuk disewakan, terutama untuk kalangan pekerja bergaji rendah. Hunian murah ini disewakan dengan harga murah, kala itu berkisar 20 dolar per bulan, atau tidak boleh boleh lebih dari 20 persen rata-rata pendapatan bulanan. Pada 1961 hingga 1965, HDB membangun 51.031 hunian. Sekitar 10.000 unit rusun murah disediakan untuk kelompok pekerja dengan gaji rendah. Rusun ini terletak di tengah kota, tempat sebagian besar pekerja ini mencari nafkah. Bentuk vertikal dipilih karena terbatasnya lahan.

Ada berbagai kebijakan menarik yang dibuat oleh HDB. Misalkan, untuk mengatasi konflik sosial dikarenakan perbedaaan ras, dibuatlah Kebijakan Integrasi Etnis. Ini adalah kebijakan yang memastikan ada berbagai campuran komunitas etnis dalam kawasan rusun. Ada hitungan proposi yang dibuat menurut jumlah warga berdasarkan etnis di Singapura. Selain itu, HDB juga memastikan ada berbagai warga dari tingkat ekonomi yang berbeda.

Ada berbagai tipe rusun di Singapura. Mulai dari 2 ruangan seluas 36 m2 dan 45 m2 (terdiri dari 1 kamar tidur, 1 kamar mandi, dapur, dan gudang kecil), hingga apartemen eksekutif seluas 130 m2 dengan 3 kamar tidur dan 2 kamar mandi. Selain itu ada pula Executive Condominiums (EC) yang dibangun dan dijual oleh pengembang swasta. Pangsa pasar EC adalah warga Singapura yang berpendapatan tinggi.

Seperti yang ditulis oleh HDB, membeli rusun bukanlah sebuah keharusan. Tak perlu memaksa jika memang tak mampu. Tapi jika memang ingin membeli, pemerintah melalui HDB memberikan banyak kemudahan melalui berbagai skema pembiayaan.

Misalkan ada bantuan untuk warga berpenghasilan rendah, melalui skema Additional CPF Housing Grant (AHG) dan Special CPF Housing Grant (SHG). Untuk yang pertama, rumah yang dibeli hanya rusun 2 ruangan atau lebih besar, dan pendapatan maksimalnya adalah 5.000 dolar per bulan. Sedangkan untuk SHG, besaran gajinya tergantung kapan mengirim aplikasi permintaan beli rusun. Besaran plafon gaji mulai dari 2.500 dolar hingga maksimal 8.000 dolar per bulan. Semakin kecil gaji seseorang, semakin besar pula bantuannya. Yang perlu dicatat, dua skema ini hanya bisa diberikan kepada orang yang membeli rumah pertama.

Selain itu, HDB juga memajang fitur Enquiry on Monthly Instalment di situs mereka. Di sana, seorang calon pembeli bisa memeriksa berapa perkiraan tagihan bulanan KPR. Melalui fitur ini, kita tinggal mencantumkan berapa jumlah pinjaman yang akan diajukan, durasi cicilan (antara 1 hingga 25 tahun), dan bunga bank yang per Januari dan April 2017 adalah 2,6 persen. Misalkan, jika seorang calon pembeli ingin mengajukan pinjaman 40.000 dolar yang dicicil dalam jangka 15 tahun dan bunga 2,6 persen, perkiraan pembayaran cicilan adalah 269 dolar per bulan.

Warga Singapura juga terbantu dengan rendahnya bunga cicilan. Sejak 1 Januari 1964, bunga tertinggi yang pernah tercatat adalah 6,25 persen. Dan bunga terendah adalah 2,6 persen. Di Indonesia, bunga KPR termasuk tinggi. Misalkan dari BTN Subsidi, bunganya adalah tetap sebesar 5 persen. Sedangkan sejak Oktober 2016, bunga KPR BTN non Subsidi adalah 9,5 persen.

HDB sendiri bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan. Sejak berdiri pada 1960, per 2016 sudah ada 1,1 juta unit hunian yang mereka bangun. Sejak 1980, setidaknya 80 persen warga Singapura tinggal di rusun HDB. Menurut laporan tahunan HDB 2015, dari 3,9 juta penduduk Singapura per 2013, sekitar 3,2 juta orang atau 82 persen dari total warga Singapura tinggal di rusun HDB. Sekitar 90 persen penghuni itu memiliki huniannya, bukan lagi menyewa. Terima kasih terhadap berbagai kemudahan menyewa atau membeli rusun.

Jumlah 82 persen itu adalah jumlah yang mutlak besar. Mengingat pada awal dibangunnya hunian vertikal, perlawanan dan keengganan dari warga cukup besar. Wajar, sebab kultur hunian warga Singapura nyaris tak berbeda dengan hunian di Indonesia: menapak tanah. Menurut HDB, pada 1968 hanya ada 6,2 persen warga Singapura yang tinggal di hunian vertikal.

Tapi kesuksesan memindahkan hunian tapak ke vertikal ini menuntut harga yang mahal. Pemerintah Singapura harus menghancurkan ratusan kampung untuk kemudian dibangun rusun. Ada banyak sejarah yang hilang. Ada banyak akar yang tercerabut.

Penghancuran kampung-kampung ini juga memunculkan perlawanan, walau dianggak tak signifikan. Misalkan pembangunan di Kampung Toa Payoh yang seharusnya dimulai pada 1962, tapi tertunda hingga 1965 karena warganya menolak pindah ke rusun dan menjual tanahnya.

Menurut Zheng Renjie, mahasiswa pasca sarjana National University of Singapore yang menulis tesis Low Resistance to Resettlement in Singapore, 1965-1985: A Clumsy Approach That Overcame A Wicked Problem, pemindahan warga Singapura dari rumah tapak ke rusun berikut perubahan kulturnya bisa dibilang sukses.

Ada 11 faktor yang membuat penghancuran area kumuh dan pemindahan warga menjadi sukses. Mulai dari kebijakan yang efektif, ketersediaan rusun, kualitas hidup, harga sewa yang terjangkau, dukungan politik yang kuat, lokasi yang strategis, nihilnya korupsi, hingga faktor geografis.

"Walaupun belum ada diskusi yang mendalam tentang apakah sebelas faktor itu berpengaruh besar terhadap rendahnya perlawanan warga," tulis Zheng.

Baca juga artikel terkait SINGAPURA atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti