tirto.id - Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) membuat kajian yang mengukur ketahanan industri batu bara Indonesia di tengah pandemi Corona atau COVID-19. Hasilnya, anjloknya harga batu bara telah berpotensi mengancam kondisi keuangan 6 dari 11 perusahaan terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Saat ini harga acuan batu bara telah merosot bahkan menjadi lebih rendah dari 60 per ton dolar AS. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana caranya perusahaan dengan biaya tinggi dapat memperoleh modal kerja untuk membiayai operasi mereka,” ucap penulis laporan Ghee Peh dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Senin (11/5/2020).
IEEFA mempertimbangkan anjloknya harga acuan batu bara Newcastle dari 70 dolar AS per ton pada Januari 2020 menjadi 58 dolar AS per ton. Menurut Ghee, anjloknya harga batu bara ini terjadi secara tiba-tiba. Manajemen, katanya, tentu akan kesulitan mengatur beban biaya perusahaan maupun untuk melakukan efisiensi.
Di tengah anjloknya harga batu bara itu, praktis mempertahankan aliran kas menjadi tantangan tersendiri, Ghee mencatat 3 dari 11 perusahaan batu bara tercatat memerlukan harga acuan di tingkat 60-62 dolar AS per ton bila mereka ingin mencapai breakeven.
Situasi pun bisa semakin memburuk jika perhitungan turut mempertimbangkan kewajiban royalti 13,5 persen dari nilai penjualan batu bara. Hasilnya, jumlah perusahaan yang akan mengalami masalah aliran kas bertambah menjadi 6 dari 11. Tepatnya, aliran kas mereka akan menyentuh posisi negatif.
Ghee memprediksi di tengah masalah royalti ini, perusahaan terdampak tentu akan mengajukan permohonan moratorium atau penghentian sementara kewajiban royalti. Hanya saja hal ini bakal menimbulkan pertanyaan terkait siapa saja yang akan menerima fasilitas ini.
“Apabila memang moratorium royalti diberlakukan kepada seluruh sektor, maka hal ini berpotensi mengurangi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sampai dengan sebesar 1,26 miliar dolar AS,” ucap Ghee.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Maya Saputri