tirto.id - Acara bertajuk “Syiar dan Silaturahim Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 Hijriah” yang rencana digelar di Bogor, Jawa Barat, pada 17-18 November dilarang Polres Bogor. Alasannya kegiatan itu dinilai bertentangan dengan Pancasila dan mengancam NKRI.
“Dari hasil pengecekan dan penyelidikan polisi, kegiatan yang akan dilaksanakan tersebut sangat berkaitan erat dengan khilafah untuk mengganti sistem pemerintahan NKRI dari Pancasila, demokrasi menjadi khilafah,” kata Kapolres Bogor AKBP A.M Dicky Pastika dalam keterangan tertulis, Selasa (13/11).
Dicky menyatakan, acara itu diselenggarakan panitia atas nama Yayasan Nur Syakirah dengan tema “Titik Awal Kebangkitan Islam Dunia.” Polres Bogor lantas meminta pemilik tempat tidak memberi izin acara tersebut.
Berdasarkan undangan yang tersebar di media sosial, acara yang diperkirakan dihadiri 3.000 orang ini akan digelar di Masjid Az Zikra, Sentul, Bogor. Namun, Kapolres Bogor memastikan pengurus Masjid Az Zikra tak berkaitan dengan acara tersebut.
“Mereka [pengurus Masjid Az Zikra] cuma sewakan tempat atau aula di bawah masjid,” kata Dicky pada reporter Tirto.
Meski demikian, Tengku Zulkarnain, salah satu ustaz yang biasa mengisi ceramah di masjid itu memprotes langkah polisi melarang diskusi soal khilafah itu. Menurutnya, aparat bertolak belakang dengan UUD 1945 yang menjamin kebebasan berekspresi.
“Jajaran Polres Bogor jangan melanggar UUD 1945. Negara menjamin kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat,” kata Zulkarnain kepada reporter Tirto, Rabu (14/11/2018) kemarin.
Zulkarnain mengatakan, tidak ada dasar hukum pelarangan acara dialog tersebut. Selain itu, kata dia, materi diskusi bukan tentang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang notabene sudah dilarang pemerintah, melainkan sistem khilafah.
“Jika membahas HTI, boleh dibubarkan. Tapi kalau membahas tentang kekhalifahan jangan dilarang. Kalau dilarang, hilang, lah, dua per tiga sejarah Islam,” kata salah satu juru kampanye Prabowo-Sandiaga ini.
Zulkarnain bahkan bertanya balik alasan polisi takut dengan acara tersebut. Menurut dia, seharusnya kepolisian dapat menunjukkan bukti dan dasar hukum penolakan izin diskusi.
“Polisi bertindak jika ada bukti pelanggaran. Sebagai Kapolres yang baik, bertindak jika ada pelanggaran. Kalau tidak ada, artinya Kapolres sontoloyo. Tolong, lah, polisi hormati undang-undang,” kata dia.
Sementara itu, Dewan Pembina Majelis Syuro DPP Front Pembela Islam (FPI) Habib Muchsin Alatas menyebut sikap polisi dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap umat Islam. Ia bahkan menilai tindakan polisi itu dapat menyulut permusuhan.
Muchsin mengaku dirinya tidak sering mengisi acara di majelis Az Zikra, tapi pernah menjadi penceramah di sana. Menurut dia, kalau polisi berasumsi dialog tersebut bisa menimbulkan reaksi masyarakat tentang membentuk negara Islam, artinya salah kaprah.
“Polisi seolah membuat ‘hantu’ bagi mereka sendiri. Polisi tidak boleh menegakkan hukum berdasarkan tafsir. Ini bukan pergerakan untuk mengubah Indonesia menjadi negara khilafah,” kata dia.
Selain itu, kata dia, pelarangan itu justru mencerminkan sikap polisi yang melanggar undang-undang, lantaran melarang masyarakat membahas tentang keyakinan yang dianutnya. “Meyakini ajaran agama dan menjalankan syariat itu dilindungi undang-undang,” kata dia.
Karena itu, kata Muchsin, aparat seharusnya berpedoman kepada undang-undang, bukan asumsi. Apalagi, kata Muchsin, Kapolri Jenderal Tito Karnavian pun sering datang ke majelis Az Zikra.
“Pak Tito dan polisi-polisi juga sering datang ke sana,” kata dia berdalih.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz