tirto.id - Kegiatan bertajuk “Syiar dan Silaturahim Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 Hijriah” mendapat penolakan dari sebagian umat Islam di Bogor, Jawa Barat. Berdasarkan undangan yang tersebar di media sosial, acara yang diperkirakan dihadiri 3.000 orang ini akan digelar di Masjid Az Zikra, Sentul, pada 17-18 November.
Rahmatullah alias Along, koordinator Persatuan Masyarakat Bogor yang mengetahui acara itu pada Ahad (10/11), menghubungi teman-temannya untuk mencegah diskusi “Indonesia Titik Awal Kebangkitan Islam Dunia” itu. Along menilai tema dialognya mengandung niatan yang tidak baik bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Along berhasil mengumpulkan sekitar 80 orang yang ia beri nama Persatuan Masyarakat Bogor. Salah satu langkah yang dilakukannya adalah bertemu Pemda Bogor dan Polres Bogor di Mapolres Bogor.
“Ini sangat akan mengancam Pancasila dan UUD 1945,” kata Along kepada reporter Tirto, Rabu (14/11/2018). “Makanya kemarin kami minta polisi tidak memberikan izin dan bersikap tegas.”
Along menegaskan, diskusi terkait khilafah tidak perlu digelar karena dasar negara Indonesia sudah jelas. Ia pun mengaku puas karena pertemuannya dengan pemda dan Polres Bogor Selasa (13/11) sesuai harapannya: tidak mengizinkan acara tersebut.
Kapolres Bogor AKBP A.M Dicky Pastika mengatakan pengurus Masjid Az Zikra, Sentul, tak berkaitan dengan acara tersebut. “Mereka cuma sewakan tempat atau aula di bawah masjid,” kata Dicky pada reporter Tirto.
HTI di Balik Agenda Ini?
Along mengaku, panitia punya hak untuk menyampaikan pendapat di muka umum. Namun, apabila tujuannya untuk membuat masyarakat meragukan Pancasila, hal itu tidak bisa dibenarkan.
Dia menuding cara yang dilakukan panitia tak ada bedanya dengan organisasi massa terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
“Sebenarnya ini orang HTI juga, tapi tidak memakai lembaga itu karena sudah dibubarkan pemerintah,” kata Along.
“Ini, kan, jelas ada indikasi membangun khilafah di Indonesia,” kata Along menambahkan.
Tudingan Along dibantah mantan Juru Bicara HTI Ismail Yusanto. Kepada reporter Tirto, Ismail menjelaskan panitia acara itu berasal dari Lampung. Selain tidak diundang, Ismail berkata, mereka juga tak menjadi penyelenggara acara itu.
“Kami enggak ikut-ikut. Itu, kan, dari Lampung,” kata Ismail.
Meski demikian, Ismail merasa tidak ada masalah dalam diskusi dan dialog terkait khilafah. Menurutnya, ajaran khilafah ada dalam Alquran. Seharusnya masyarakat lebih khawatir soal kapitalisme.
“Khilafah itu, kan, ajaran Islam. Kenapa enggak boleh? Itu, kan, sama kayak mendiskusikan salat [...] Mau dilarang bagaimana pun, enggak bisa. Itu ada dalam agama Islam,” kata Ismail.
Pertama Kali Ditolak
Ketua Panitia Pelaksana Syiar dan Silaturahim Kekhalifahan Islam se-Dunia 1440 Hijriah, Hadwiyanto Hadi Salam mengeluarkan pesan melalui video setelah mengetahui penolakan itu.
Dalam video yang diterima Tirto, dia menegaskan acara akan tetap digelar di Jakarta, tepatnya di daerah Kemayoran, pada tanggal yang sama dengan rencana awal. Namun, susunan acara belum dirilis. Hadwiyanto menegaskan acara akan disesuaikan dengan perkembangan situasi.
“Titik kumpul kedatangan peserta akan ditentukan panitia di kemudian hari,” kata Hadwiyanto.
Ketika dikonfirmasi ulang reporter Tirto, Rabu (14/11/2018),Hadwiyanto menyatakan, acara ini sudah ada sejak 10 tahun yang lalu dan digelar di sejumlah daerah. Di antaranya: pada 2014 di Klaten, kemudian 2011 di Sidoarjo, dan pada 2008 acara serupa digelar di Bandung, Jawa Barat.
Hanya saja, kata dia, baru empat tahun lalu nama panitia menggunakan istilah khilafah. Sebelumnya nama panitia memakai nama Tabligh ul Muballighin.
“Ini sudah kegiatan rutin sebetulnya, kan, kami selalu mendapat izin. Enggak ada persoalan,” kata Hadwiyanto.
Hadwiyanto menuding, penolakan ini karena tahun politik dan kata “khilafah” menjadi sangat sensitif karena identik dengan HTI, organisasi yang sudah dilarang pemerintah.
Meski demikian, Hadwiyanto menampik dugaan khilafah identik dengan makar atau mengubah bentuk dan dasar negara. Dia mengambil contoh umat Katolik pun mempunyai Paus sebagai pemimpin seluruh umat. Tujuan dialog yang dia rencanakan juga seperti itu.
Dia meyakini, meskipun kepemimpinan khalifah itu ada, tapi tidak akan berpengaruh pada bentuk negara, dasar negara, dan pemimpin negara. Khalifah, kata dia, akan berada di luar dunia politik.
Sayangnya, usaha Hadwiyanto dan kawan-kawan pupus. Setelah Kapolres Bogor A.M Dicky Pastika menolak memberi izin, Kapolsek Kemayoran Kompol Saiful Anwar juga demikian.
Menurut Saiful, belum ada pemberitahuan yang masuk hingga hari ini dari panitia acara. Bila ada, kata dia, mereka juga akan langsung menolak. Saiful menegaskan polisi bisa menolak karena acara itu harus memakai izin kegiatan, bukan hanya pemberitahuan.
“Lagi pula tadi sudah kami konfirmasi ke pengelola Bundaran Masjid Akbar. Itu ditolak oleh panitia, enggak boleh,” kata Saiful kepada reporter Tirto.
Apabila kegiatan itu tetap digelar, Saiful memastikan polisi akan membubarkannya.
Kadiv Humas Polri Brigjen Muhammad Iqbal menegaskan penolakan itu diserahkan kepada penilaian kepolisian setempat. Soal unsur pidana dalam usaha diskusi itu, Iqbal belum bisa menentukan.
"Kan, belum terjadi. [Yang jelas menjadikan] khilafah [sebagai ideologi] kan, sudah dilarang undang-undang,” kata Iqbal kepada reporter Tirto di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz