tirto.id - Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada 1-6 September 2018 menyimpulkan sejumlah partai belum bisa membuat solid pemilihnya. Sehingga pemilih partai tidak berarti menjadi pemilih capres atau cawapres yang didukung partainya.
Pendukung partai-partai ini adalah sejenis split ticket voting. Sebagian dari mereka tidak mendukung kandidat yang dijagokan partai. Lawan dari split ticket voting adalah straight ticket voting. Ini merujuk pada pemilih yang pilihannya sama dengan pilihan partai.
Menurut survei, pemilih Demokrat yang menyatakan akan memilih Prabowo Subianto-Sandiaga Uno hanya sebesar 43,4 persen, sementara yang memilih Joko Widodo-Ma'ruf Amin lebih banyak, sebesar 53 persen. Padahal Demokrat adalah pendukung pasangan Prabowo-Sandi.
"Yang paling tidak solid [pada kubu oposisi] adalah Demokrat. Sebagian besar pemilih Demokrat memilih Jokowi-Ma'ruf," kata Burhanuddin saat menyampaikan hasil survei di Jakarta, Rabu (26/9) kemarin.
39 persen pemilih partai berlambang Mercy itu bahkan tidak mengetahui bahwa pasangan capres-cawapres yang diusung Demokrat adalah Prabowo-Sandiaga. 21 persen lainnya menganggap Demokrat mengusung Jokowi-Ma'ruf.
Pada kubu petahana kondisi yang hampir mirip terjadi di PPP. Pemilih PPP yang juga memilih Jokowi-Maruf ada 48,9 persen, sementara yang memilih Prabowo-Sandi relatif sama, 44,4 persen. Kondisi itu semakin parah karena 47 persen pemilih PPP tidak tahu partainya mengusung siapa di Pilpres 2019.
"Hampir separuh pemilih PPP tidak mengikuti garis instruksi partai. Rommy (Romahurmuziy, Ketua PPP) mengatakan pilih pak Jokowi, basis massa separuhnya memilih pak Prabowo," sebut Burhanuddin.
Pemilih Golkar pun berperilaku demikian. Sebanyak 45 persen pemilih Golkar tidak mengetahui capres-cawapres yang diusung partai berlambang beringin itu. Sebanyak 36 persen pemilih Golkar pun mengaku memilih Prabowo-Sandiaga, padahal sikap resmi partai adalah bergabung ke petahana.
"Catatan untuk pak Bamsoet: 36 persen pemilih Golkar memilih Prabowo-Sandi," ujar Burhanuddin kepada Ketua DPR dari Golkar, Bambang Soesatyo yang hadir saat pemaparan hasil survei.
Burhan menjelaskan tidak solidnya pemilih PPP dan Golkar kemungkinan karena kedua partai itu pada Pilpres 2014 mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Yang Solid, Tapi Belum Aman
Di antara partai-partai pendukung Jokowi-Maruf, yang sangat solid adalah pemilih PDIP dan Nasdem. Ada 93 persen pemilih PDIP dan 78 persen pemilih Nasdem juga memilih Jokowi-Maruf.
"Artinya, (di pemilih PDIP) terjadi straight ticket voting," sebut Burhanuddin.
Sementara di kubu Prabowo-Sandiaga, yang paling solid ialah Gerindra. Sebanyak 77,9 persen pemilih Gerindra juga memilih Prabowo-Sandiaga.
Namun sebanyak 19,8 persen di antara pemilih Gerindra juga memilih Jokowi-Ma'ruf. Pemilih partai pengusung Prabowo-Sandiaga lainnya seperti PKS juga ada yang memilih Jokowi-Ma'ruf.
Burhanuddin menyampaikan data itu langsung di hadapan Ketua DPP Gerindra Riza Patria dan Sekretaris Jenderal PKS Mardani Ali Sera.
"Tapi ingat mas Riza, masih ada 20 persen (pembulatan dari 19,8) pemilih Gerindra yang juga memilih Jokowi-Ma'ruf. Kemudian PKS juga relatif solid, tapi ada 33 persen pemilih PKS memilih Jokowi-Ma'ruf," kata Burhanuddin.
Menurut Indikator, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf mencapai 57,7 persen. Sementara Prabowo-Sandiaga sebesar 32,3 persen.
Meskipun dukungan pemilih PDIP solid dan Jokowi-Maruf unggul, elite partai berlogo banteng itu tidak bisa tenang begitu saja. Burhanuddin mengatakan kubu petahana belum bisa bernapas lega karena masih ada tujuh bulan lagi hingga hari pemilihan. Kemungkinan pemilih untuk mengubah pilihannya terbuka lebar.
"Buat pendukung pak Prabowo, 57 persen pun harus dijadikan pemecut untuk meningkatkan elektabilitas," ujar Burhanuddin.
Indikator menemukan sebagian besar responden mengaku tak bakal mengubah pilihan mereka. Mereka yang ada dalam kategori tersebut mencakup 44,8 persen. Namun demikian, sebanyak 25 persen responden menyatakan masih besar atau sangat besar kemungkinan berubah haluan.
"Kalau kemudian ada isu-isu yang gagal dijelaskan pemerintah, ada kemungkinan elektabilitas pak Jokowi turun," ujar Muhtadi.
Meski hasil survei Indikator menyatakan Prabowo-Sandiaga kalah unggul dari Jokowi-Maruf, baik Riza dan Mardani menyambut baik data yang dijembrengkan.
Menurut Mardani, pemilu tahun depan bakal lebih kompleks sebab pilpres dan pileg dilaksanakan serentak.
"Akan ada medan tempur baru yang benar-benar perlu dicermati. Kami punya survei sendiri, dari 100 persen pemilih, 84 persen memikirkan pilpres. Pileg kelupaan," ujar Mardani.
Sedangkan Bamsoet optimis dukungan Golkar mampu mendongkrak suara Jokowi di tempat di mana dia kalah pada Pilpres 2014.
"Dulu Jokowi kalah di 10 wilayah, itu karena Golkar belum mendukung Jokowi. Saya yakin Banten dan Sumbar jadi lumbung suara Jokowi, karena Golkar menang di wilayah-wilayah itu," ujar Bamsoet.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Rio Apinino