tirto.id - Presiden Joko Widodo resmi meneken omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) dengan Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Senin (2/11/2020).
Menanggapi isi dari UU tersebut, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum, Universitas Andalas, Padang, Feri Amsari menilai undang-undang ini memiliki permasalahan serius, termasuk kesalahan redaksional.
Salah satunya, mengenai ketidakjelasan isi dari Pasal 6, yang menginstruksikan terlaksana sesuai Pasal 5 ayat (1) huruf a; sementara pada Pasal 5 tidak memiliki turunan.
"Ini jelas kabur, yang akan membingungkan orang memahami UU. Padahal tidak ada ayat (1) dalam Pasal 5. Jadi bagaimana mungkin bisa dijalankan," ujarnya kepada Tirto, Selasa (3/11/2020).
UU Cipta Kerja berisi 1.187 halaman itu diundangkan setelah disahkan dalam sidang paripurna DPR RI pada 5 Oktober lalu.
Salinan UU Ciptaker sudah diunggah di situs resmi Kementerian Sekretaris Negara (Kemensetneg) dan bisa diakses publik lewat jdih.setneg.go.id. Dengan demikian, seluruh ketentuan dalam UU Cipta Kerja mulai berlaku sejak 2 November 2020.
UU Ciptaker mengganti sejumlah ketentuan lama di UU Ketenagakerjaan, UU Perpajakan, dan sejumlah UU lainnya.
Selain persoalan Pasal 6 dan Pasal 5, kesalahan redaksional juga terjadi pada BAB XI Pelaksanaan Administrasi Pemerintah untuk Mendukung Cipta Kerja (Halaman 749), pada Bagian Kelima Izin, Standar, Dispensasi, dan Konsesi Pasal 53 ayat (5) berbunyi: "Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk penetapan Keputusan dan/atau Tindakan yang dianggap dikabulkan secara hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Presiden."
Sementara ayat (3) tidak membahas tentang pengabulan secara hukum, karena berbunyi: "Dalam hal permohonan diproses melalui sistem elektronik dan seluruh persyaratan dalam sistem elektronik telah terpenuhi, sistem elektronik menetapkan Keputusan dan/atau Tindakan sebagai Keputusan atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang."
Semestinya hal itu merujuk pada ayat (4) karena memuat pengabulan secara hukum, berbunyi: "Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2)', Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, permohonan dianggap dikabulkan secara hukum."
Feri tidak heran dengan kesalahan redaksional tersebut, karena perundang-undangan akan menitikberatkan persoalan teknis dalam peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
"UU ini memiliki permasalahan serius. Memaksakan untuk diundangkan dengan memberikan kekuasaan tunggal kepada PP dan Perpres. Memperlihatkan wajah sentralistiknya," ujar Feri.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri