tirto.id - Ketua Umum Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir menekankan kepada seluruh unit hemodialisis, baik itu rumah sakit maupun klinik untuk memberikan pelayanan cuci darah bagi pasien gagal ginjal kronis yang terinfeksi virus Corona.
Menurutnya situasi pandemi beberapa pekan terakhir di Indonesia cukup mengkhawatirkan, di mana lonjakan kasus COVID-19 terus membubung. Kemarin, Rabu (30/6/2021), kasus positif COVID-19 di Indonesia bertambah 21.807 kasus, total keseluruhan sebanyak 2.178.272.
Atas dasar itu, Tony meminta seluruh rumah sakit dan klinik penyelenggara hemodialisa menyiapkan ruang dan mesin khusus pasien COVID-19 dalam memberikan pelayanan atau tindakan cuci darah.
Sebab, dia mengaku mendapatkan laporan banyak pasien cuci darah ditolak di rumah sakit dan klinik, bahkan ada yang meninggal karena terlambat memberikan pelayanan cuci darah.
"Kami tekankan, jangan menolak atau mengkarantina pasien tanpa tindakan cuci darah. Karena tindakan cuci darah tidak bisa ditunda apalagi dihentikan karena berpotensi mengancam keselamatan pasien,” kata Tony melalui keterangan tertulisnya, Kamis (1/7/2021).
Tony menjelaskan, berdasarkan Surat Edaran (SE) Menteri Kesehatan bernomor: HK.0202/III/0305/2021, pandemi COVID-19 berdampak pada semua layanan termasuk layanan hemodialisis. Kelompok rentan terinfeksi seperti pada usia lanjut dan mempunyai penyakit penyerta termasuk didalamnya adalah para pasien ginjal yang menjalani hemodialisis.
Selain itu, infeksi COVID-19 dengan gejala berat dapat menyebabkan gangguan gagal ginjal akut hingga memerlukan hemodialisis. Oleh karena, itu pasien COVID-19 yang memerlukan hemodialisis harus tetap mendapat layanan sesuai peraturan atau ketentuan yang berlaku.
Dalam SE tersebut, Kemenkes mengimbau kepada pasien agar memperhatikan beberapa hal. Pertama, panduan layanan hemodialisis di tingkat internasional dan Perhimpunan Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) menjadi pedoman bagi rumah sakit untuk memberikan pelayanan hemodialisis pada pasien COVID-19 tanpa merujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lainnya.
Kedua, pada kondisi khusus dimana pasien memerlukan untuk dirujuk agar melakukan komunikasi dan mengonfirmasikan ketersediaan tempat dan fasilitas yang diperlukan untuk layanan hemodialisis di tempat rujukan.
Memberikan informasi kepada pasien atau walinya terkait alasan rujukan, mengkonfirmasi status akhir pasien (suspect, probable, konfirmasi) sebelum merujuk. Terakhir, mengevaluasi kondisi klinis pasien laik untuk dirujuk atau transportable.
Meski demikian, Tony tetap mendesak kepada Kemenkes agar surat edaran tersebut tersosialisasikan dengan baik kepada semua rumah sakit penyelenggara hemodialisa di Indonesia. Pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dan Provinsi harus memantau dan mengawasi agar rumah sakit benar-benar menjalankan hal tersebut.
"Bila ada rumah sakit maupun klinik penyelenggara hemodialisa yang lalai maka jangan ragu-ragu lagi untuk ditindak sesuai kewenangan dalam undang-undang dan peraturan yang ada”, pungkasnya.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan