tirto.id - Selain kemacetan, ada dua hal lain yang bisa Anda jumpai ketika berkendara di jalanan sekitar Gelora Bung Karno, Jakarta, Selasa (1/10/2019) pagi. Dan keduanya berkaitan dengan polisi.
Pertama, ribuan TNI-Polri. Mereka sudah berbaris sejak pagi sekali, saat matahari belum sepenuhnya terbit. Mereka tengah bersiap mengamankan pelantikan 575 anggota DPR RI periode 2019-2024.
Kedua, coretan dinding yang mencemooh polisi. Kalimatnya beragam, mulai dari “polisi kejam” hingga yang lebih kasar. Kalimat-kalimat tersebut dibubuhkan oleh massa demonstran di sekitar Gedung DPR, Jakarta, Senin (30/9/2019) pagi hingga dini hari tadi.
Reporter Tirto mengamati coretan serupa yang dihasilkan para demonstran dalam aksi yang berlangsung Selasa (24/9/2019) lalu. Kami menyimpulkan: coretan dinding kali ini berbeda.
Coretan dinding sebelumnya lebih banyak diarahkan kepada DPR, pemerintah, atau presiden, bukan polisi.
Pada gelombang demonstrasi sebelumnya, corat-coret sangat terkait dengan tuntutan demo, yaitu agar DPR menghentikan--bukan menunda--pembahasan berbagai peraturan bermasalah.
Contohnya: "DPR enggak mutu", "Dewan Penindas Rakyat", "Rezim Orba Bangkit", atau "DPR Mabok."
Dari segi jumlah, coretan kali ini juga lebih melimpah. Titiknya juga lebih merata: mulai dari depan Gedung DPR, kawasan Stasiun Palmerah, area GBK, Semanggi, Slipi, sampai Tanah Abang.
Saking meratanya, pasukan oranye dari Dinas Lingkungan Hidup Jakarta sampai kewalahan. Area yang bisa benar-benar dibersihkan, sejauh ini, baru di depan Gedung DPR dan flyover Senayan.
"Kalau bersihkan semua hari ini ya enggak mungkin. Di sekitar GBK sudah terlanjur ramai dan padat, enggak cukup waktunya karena agenda [DPR] hari ini juga padat," ujar Wahid (47), salah seorang petugas oranye, kepada reporter Tirto, Selasa (1/10/2019) pagi.
Kenapa coretan berubah? Hal ini tidak bisa dilepaskan dari apa yang terjadi di lapangan.
Parade kekerasan dipertontonkan polisi sejak demonstrasi pecah awal pekan lalu. Para mahasiswa, sipil, jurnalis, bahkan petugas medis yang tengah bekerja jadi korban. Mereka tidak hanya luka-luka, tapi juga ada yang sampai meninggal dunia. Orang itu bernama Randi (21) dan Yusuf Kardawi (19).
Selasa (24/9/2019) kemarin, seorang mahasiswa dari Universitas Al Azhar Indonesia angkatan 2016 bernama Faisal Amir terkapar di Jalan Gatot Subroto dengan kepala belakang kanan mengeluarkan darah.
Kekerasan juga dialami wartawan, termasuk reporter Tirto malam tadi, meski dia berkali-kali menunjukkan kartu pers.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian, Kamis (26/9/2019) lalu, membela anggotanya dengan mengatakan aparat "berhak melindungi diri" saat menghadapi "demo anarkis" yang berisi "perusuh yang melakukan aksi kejahatan." Tito bilang masyarakat perlu membedakan antara demonstran asli dengan perusuh.
Para perusuh ini, katanya, "sengaja memancing emosi aparat keamanan untuk bertindak lebih keras lagi. Korban diskenariokan."
Aparat juga dibela Moeldoko, Kepala Staf Presiden. Menurutnya polisi itu punya "ambang batas emosi." "Dia juga punya ambang batas kelelahan dan seterusnya. Apalagi ini ada prajurit-prajurit baru," kata bekas Panglima TNI ini di Istana, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Tadi malam, polisi bahkan menembakkan gas air mata ke kampus Unika Atma Jaya yang jadi posko medis. Sebelum gas air mata ditembakkan, di depan kampus pecah bentrok antara polisi dan massa. Jalan Jenderal Sudirman ke arah Semanggi ditutup. Orang-orang dilarang melintas.
Keputusan ini mendapat kritik keras dari warganet, termasuk LSM HAM Komisi untuk Orang hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras).
Soal ini, polisi berdalih kalau “mungkin mereka refleks karena melihat massa berlarian ke sana [Atma].”
Tuntutan agar aparat menghentikan represi tidak hanya muncul di dinding, tapi juga mengemuka dalam demo.
Ketua Dema UIN Syarif Hidayatullah, Sultan Rivandi, Senin (30/9/2019) lalu, menegaskan: “ada [tuntutan] tambahan. Kami menuntut pertanggungjawaban atas korban-korban aksi.”
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino