Menuju konten utama

CORE Sebut Revisi PP Pengupahan Dapat Hambat Investasi

Revisi terhadap PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dinilai oleh CORE dapat menghambat masuknya investasi asing di Indonesia.

CORE Sebut Revisi PP Pengupahan Dapat Hambat Investasi
Massa dari sejumlah elemen buruh melakukan aksi menuntut kenaikan upah di Balai Kota Jakarta, beberapa waktu lalu. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/foc.

tirto.id - Direktur riset Center od Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah menilai, revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dapat menghambat masuknya investasi asing di Indonesia.

Menurutnya, revisi PP itu dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum bagi dunia usaha sehingga Penanaman Modal Asing (PMA) menjadi tak menarik di Indonesia. Apalagi di tengah persaingan memperebutkan investasi yang keluar dari Cina yang saat ini tengah dilanda perang dagang.

Ungkapan Piter menanggapi kesepakatan Presiden Joko Widodo dengan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) untuk merevisi PP pengupahan itu. Beberapa tuntutan kepada Presiden terdiri dari mengembalikan hak berunding dalam penetapan upah minimum, mengubah formulasi kenaikan upah minimum, dan penetapan upah minimum sektoral.

"Ketidakpastian terkait perburuhan dan pengupahan akan menjadi hambatan masuknya PMA di tengah ketatnya persaingan dengan negara-negara tetangga seperti vietnam dalam memperebutkan relokasi investasi dari jepang, Cina, dan Korea Selatan," ujar Piter saat dihubungi reporter Tirto pada Senin (29/4/2019).

Potensi ketidakpastian yang dimaksud Piter, berasal dari salah satu poin yakni berupa tuntutan untuk mengembalikan hak berunding buruh atau mekanisme tripartit. Mekanisme ini, kata Piter, menentukan upah berdasarkan perundingan yang terdiri atas perwakilan pengusaha, buruh (melalui dewan pengupahan), dan pemerintah.

Namun mekanisme ini, lanjutnya, sarat dipengaruhi oleh kepentingan politisi maupun pemerintah daerah yang ingin menggaet dukungan elektoral melalui kebijakan populis bagi buruh. Hasilnya penetapan upah yang tinggi malah membebani pengusaha.

"Kepala daerah sering cenderung populis dengan memihak kepada buruh dengan menetapkan UMR yang tinggi dan dianggap membebani pengusaha. Dalam perkembangannya untuk mencegah kecenderungan ini terus berlangsung, pemerintah kemudian menetapkan PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan," jelas Piter.

Pada akhirnya, mekanisme penetapan upah yang sebelumnya memberi peran pada buruh dan dewan pengupahan memang dikurangi dan menyebabkan penolakan oleh buruh. Sebabnya pengupahan dipandang sebagai salah satu dari wujud keberpihakan Negara terhadap kaum pemilik modal.

Berbeda dengan hal itu, pihak pengusaha, ujar Piter, menerima PP 78/2015 dengan pertimbangan lebih memberikan kepastian. Piter mengatakan, bagi pengusaha kepastian itu sangat berharga karena dengan adanya kepastian tersebut mereka dapat melakukan perencanaan usaha.

"Jadi dengan melihat sejarahnya, rencana pemerintah untuk merevisi aturan PP 78/2015 saya kira adalah sebuah upaya untuk meredakan tuntutan buruh," ucap Piter.

Piter menyebutkan, penetapan upah melalui mekanisme tripatrit tidak sepenuhnya buruk. Namun ia berpesan jika pemerintah benar ingin merevisi ketentuan ini maka harus memikirkan konsekuensinya. Dalam hal ini pengembalian tripatrit dapat mengulang carut marut penetapan upah yang kerap ditunggangi kepentingan populis di pemerintah daerah.

"Tripartit sebenarnya mekanisme yang tepat, tapi dengan syarat pemerintah mengedepankan kepentingan perekonomian secara umum yaitu tidak populis dan tidak terbeli oleh pengusaha," ucap Piter.

"Tapi di tengah kondisi saat ini sangat sulit mengharapkan pejabat kepala daerah dapat objektif atau juga tidak populis," tambah Piter.

Baca juga artikel terkait REVISI PP PENGUPAHAN atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno