tirto.id - Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mendorong calon presiden untuk memberikan solusi untuk menekan biaya energi di Indonesia. Menurut dia, persoalan mandeknya pertumbuhan ekonomi Indonesia di angka 5 persen bisa diatasi apabila pemerintah mampu membuat harga BBM dan listrik semakin terjangkau bagi industri.
Hal ini sejalan dengan data Kementerian ESDM yang menunjukkan bahwa konsumsi energi Indonesia didominasi oleh transportasi sebanyak 46,58 persen dan industri 29,86 persen dari total konsumsi energi nasional di tahun 2017. Namun, selama 2016-2017 harga energi terus mengalami kenaikan. Seperti batu bara dari 10,64 dolar AS/ barel oil equivalent (BOE) menjadi 13,51 dolar AS/ BOE dan harga BBM Ron 88 dari 82,38 dolar AS/BOE menjadi 82,96 dolar AS/BOE.
Sementara itu, tarif listrik bagi industri mengalami kenaikan sejak 2015 senilai 98,98 dolar AS/BOE menjadi 102,44 dolar AS/BOE di tahun 2016 dan 127,15 dolar AS/BOE di 2017.
“Lemahnya daya saing industri kita adalah harga energi yang mahal. Penting bagaimana capres bisa menjawabnya,” ucap Faisal dalam dalam konferensi pers bertajuk Jelang “Debat Capres II : Menakar Isu Pangan, Energi dan Infrastruktur” di Hongkong Cafe pada Jumat (15/2).
Bila harga konsumsi energi yang diterima indusri lebih murah, maka semakin kecil pula biaya produksinya. Sehingga dapat menciptakan harga jual yang relatif lebih kompetitif.
Ia mencontohkan negara Cina yang memiliki cadangan batu bara mencapai 13,4 persen dari porsi dunia. Lebih besar dari Indonesia yang hanya memilliki 2,2 persen dari porsi dunia. Namun, penggunaan batu bara di Cina didominasi untuk produksi dalam negeri sebanyak 46,4 persen dari porsi dunia ketimbang ekspor yang hanya 1 persen dari porsi dunia
Hal ini berbeda jauh dengan Indonesia yang ekspornya mencapai 16,1 persen dari porsi dunia. Namun, produksinya sendiri hanya 7,2 persen dari porsi dunia.
“Walaupun sangat menguntungkan, contohnya Cina tidak semua diperjualbelikan. Negaranya lebih pengin simpan,” ucap Faisal.
“Kebijakan pemerintah masih lebih banyak ekspor daripada untuk menggenjot pertumbuhan ekonomi,” tambah Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Alexander Haryanto