Menuju konten utama
Pendidikan Kewarganegaraan

Contoh Pengamalan dan Pelaksanaan Nilai Praksis Sila ke-1 Pancasila

Apa saja contoh pengamalan dan pelaksanaan nilai praksis Sila ke-1 Pancasila?

Contoh Pengamalan dan Pelaksanaan Nilai Praksis Sila ke-1 Pancasila
Relawan Pemuda Lintas Agama melakukan aksi dengan membawa poster ucapan selamat Ramadhan dan Lebaran kepada umat Muslim di Solo Baru, Grogol, Sukoharjo, Jawa Tengah, Jumat (7/5/2021). ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.

tirto.id - Pancasila yang terdiri dari 5 sila merupakan dasar negara sekaligus ideologi bangsa Indonesia. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila tentu saja mengandung nilai-nilai praksis yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lantas, apa saja contoh pengamalan dan pelaksanaan nilai praksis Sila ke-1 Pancasila?

Istilah Pancasila diambil dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua kata, yakni Panca dan Sila. Panca berarti "lima" sedangkan sila bermakna "prinsip" atau "asas". Dengan demikian, Pancasila bisa dimaknai sebagai rumusan dan pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sukarno yang kemudian menjadi Presiden Republik Indonesia pertama adalah orang yang memperkenalkan istilah Pancasila beserta ke-5 inti silanya. Bung Karno menyampaikan pemikirannya tersebut dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945 atau sebelum Indonesia merdeka.

“Sekarang, banyaknya prinsip kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila,” kata Sukarno dalam sidang tersebut dikutip dari Risalah BPUPKI (1995) terbitan Sekretariat Negara RI.

“Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal, dan abadi,” imbuh Bung Karno di hadapan para peserta sidang BPUPKI kala itu.

Setelah melalui perumusan lebih lanjut, ditetapkanlah 5 Sila Pancasila sebagai dasar negara sekaligus ideologi bangsa Indonesia, yaitu sebagai berikut:

  1. Ketuhanan yang Maha Esa.
  2. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.
  3. Persatuan Indonesia.
  4. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
  5. Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ideologi memiliki beberapa makna. Pertama, kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup. Kedua, cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Makna ketiga adalah paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial politik.

Berdasarkan tiga pengertian tentang ideologi tersebut, terdapat beberapa komponen penting dalam sebuah ideologi, yaitu sistem, arah, tujuan, cara berpikir, program, sosial, dan politik. Semua itu ada dalam Pancasila yang menjadi sistem ideologi terbuka bagi bangsa Indonesia.

A. Aco Agus melalui tulisannya bertajuk “Relevansi Pancasila sebagai Ideologi Terbuka di Era Reformasi” yang terhimpun dalam Jurnal Office (2016) menuliskan, Pancasila sebagai suatu ideologi tidak bersifat kaku dan tertutup, namun bersifat reformatif, dinamis dan terbuka.

Hal ini dimaksudkan bahwa ideologi Pancasila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif, dan senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika perkembangan aspirasi masyarakat.

Keterbukaan ideologi Pancasila, lanjut A. Aco Agus, bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar yang terkandung di dalamnya, namun mengeksplisitkan wawasannya secara lebih konkret, sehingga memiliki kemampuan yang reformatif untuk memecahkan masalah-masalah aktual yang senantiasa berkembang seiring dengan aspirasi rakyat.

Ciri khas ideologi terbuka adalah bahwa nilai-nilai dan cita-citanya tidak dipaksakan dari luar, melainkan digali dan diambil dari kekayaan rohani, moral dan budaya masyarakatnya sendiri.

Dasar ideologi terbuka adalah konsensus masyarakat, tidak diciptakan oleh negara, melainkan ditemukan dalam masyarakatnya sendiri. Oleh sebab itu, ideologi terbuka adalah milik dari semua rakyat dan masyarakat dapat menemukan dirinya di dalamnya.

Butir-Butir Pengamalan Pancasila Sila ke-1

P.J. Soewarno dalam Pancasila Budaya Bangsa Indonesia (1993) menyebutkan, meskipun ke-5 sila merupakan satuan yang tidak terpisahkan, tetapi dalam pelaksanaannya dapat ditelusuri perbedaan intensitas masing-masing sila. Walaupun satu tetap lima, masing-masing sila tidak sama asasinya.

Maka, dijabarkanlah butir-butir pengamalan Pancasila yang terkandung di setiap sila tersebut. Butir-Butir Pengamalan Pancasila pertama kali diatur melalui Ketetapan MPR No.II/MPR/1978. Setelah era reformasi, Butir-Butir Pengamalan Pancasila disesuaikan berdasarkan Ketetapan MPR No. I/MPR/2003.

Butir-butir Pancasila adalah jabaran nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai pijakan untuk diamalkan atau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Adapun Butir-butir Pengamalan Pancasila Sila ke-1 adalah sebagai berikut:

  1. Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  2. Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
  3. Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  4. Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
  5. Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
  6. Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
  7. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.

Pengamalan dan Pelaksanaan Nilai Praksis Pancasila

Pancasila merupakan kumpulan nilai-nilai, norma-norma, dan cita-cita yang merupakan acuan dalam mencapai tujuan bangsa Indonesia. Pancasila adalah ideologi terbuka yang mampu selaras dengan dinamika kehidupan masyarakat Indonesia.

Kendati sebagai ideologi, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila bukanlah berada di awang-awang, melainkan bisa diamalkan, dilaksanakan, atau dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Itulah yang disebut sebagai nilai praksis Pancasila.

Nilai praksis berkaitan langsung dengan kehidupan nyata sehari-hari, baik di dalam keluarga, lingkungan, masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai praksis Pancasila senantiasa mengalami perkembangan, selalu berubah dan mengalami perbaikan sesuai dengan perkembangan situasi seiring dengan kemajuan zaman.

Setiap sila dalam Pancasila mengandung nilai-nilai praksis yang beserta pengamalan dan pelaksanaannya dalam kehidupan. Sila ke-1 Pancasila yang berbunyi Ketuhanan Maha Esa pun demikian.

Contoh Pengamalan dan Pelaksanaan Nilai Praksis Pancasila Sila ke-1

Mochlisin dalam Pendidikan Kewarganegaraan (2007) memaparkan, nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa meliputi dan menjiwa keempat sila lainnya. Dalam sila ke-1, terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai pengejawantahan tujuan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.

Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, bahkan moral negara, moral penyelenggara negara, politik negara, pemerintahan negara, hukum dan peraturan perundang-undangan negara, kebebasan dan hak asasi warga negara, harus dijiwai nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Adapun contoh pengamalan dan pelaksanaan nilai-nilai praksis Pancasila Sila ke-1 seperti dikutip dari buku berjudul Pancasila dalam Praktik Berbangsa dan Bernegara (2020) yang ditulis oleh R. Abdurrakhim Abubakar dan Euis Laelasari serta beberapa referensi lainnya, adalah sebagai berikut:

  • Memberikan kebebasan kepada saudara, tetangga sekitar, dan masyarakat yang berbeda agama untuk melaksanakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.
  • Saling bekerjasama serta tidak mengganggu tetangga dan masyarakat sekitar yang berbeda agama dalam menyelenggarakan hari besar keagamaan.
  • Tidak memaksakan agama kita kepada saudara, tetangga sekitar ataupun orang lain.
  • Tidak mudah terprovokasi kabar-kabar bohong atau hoaks terkait masalah-masalah agama yang berpotensi mengadu-domba serta memecah-belah kesatuan dan persatuan dalam masyarakat.

Baca juga artikel terkait PANCASILA atau tulisan lainnya dari Iswara N Raditya

tirto.id - Pendidikan
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Addi M Idhom