Menuju konten utama

Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Talangsari 1989

Ada beberapa contoh pelanggaran HAM berat di Indonesia yang hingga saat ini belum ada penyelesaiannya. Peristiwa Talangsari adalah salah satunya.

Contoh Pelanggaran HAM di Indonesia: Peristiwa Talangsari 1989
Ilustrasi Desa Talangsari dan Militer. tirto.id/Gery

tirto.id - Salah satu contoh kasus pelanggaran HAM di Indonesia adalah Peristiwa Talangsari pada tahun 1989. Berdasarkan catatan Komnas HAM, tragedi Talangsari termasuk dalam daftar kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang hingga kini masih diupayakan penyelesaiannya.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandrayati Moniaga pernah menyebut, materi pengetahuan tentang pelanggaran HAM masa lalu perlu masuk dalam kurikulum pembelajaran sekolah hingga perguruan tinggi. Menurut dia, hal ini bisa menjadi salah satu cara pencegahan pelanggaran HAM melalui jalur pendidikan.

"Penting ada buku-buku terkait kasus pelanggaran HAM [masa lalu] semisal Wasior-Wamena, Talangsari, Rumah Geudong, Jambu Keupok, Pembunuhan Dukun Santet dan lainnya sebagai bahan ajar siswa dan masyarakat untuk mengetahui HAM," kata Sandra pada April 2021 lalu, dikutip dari laman Komnas HAM.

Apa Itu Pelanggaran HAM?

Definisi pelanggaran HAM dalam sistem hukum Indonesia dapat dilihat di UU Nomor 39 Tahun 1999 [PDF]. Dalam UU tersebut, rumusan pengertian pelanggaran HAM dijelaskan sebagai berikut:

"Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) adalah setiap perbuatan seseorang, atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja, atau kelalaian, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang, yang dijamin oleh Undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku."

Sementara itu, definisi HAM dalam UU 39/1999 adalah berikut ini:

"Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahkluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia."

HAM merupakan hak dasar yang dimiliki manusia untuk dapat hidup sejahtera. Hak ini meliputi hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk mengemukakan pendapat, hak memperoleh pendidikan yang layak, hak atas kesehatan, hak berpolitik, hingga hak untuk memeluk agama sesuai keyakinan.

HAM bersifat universal dan tak dapat dicabut. Maksudnya, hak ini tidak memandang ras, golongan, etnis, dan jenis kelamin manusia. Atau dengan kata lain, HAM berlaku untuk semua manusia, tanpa terkecuali.

Sedangkan, tak dapat dicabut berarti bahwa HAM akan terus melekat dalam diri seorang manusia hingga akhir hayat. Karena HAM adalah hak dasar manusia agar dapat hidup, maka mencabut HAM sama dengan mencabut kehidupan manusia tersebut.

Sementara itu, sistem hukum di Indonesia juga mengklasifikasikan pelanggaran HAM menjadi 2 jenis. Keduanya ialah pelanggaran HAM Ringan dan Pelanggaran HAM Berat.

Dalam UU 39/1999, rumusan definisi pelanggaran HAM Berat adalah berikut ini:

"Yang dimaksud dengan "pelanggaran hak asasi manusia yang berat" adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitry/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, pembudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (systematic discrimination)."

Berdasarkan hasil penyelidikan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari 1989 merupakan kasus pelanggaran HAM berat. Merujuk data Komnas HAM, Peristiwa Talangsari 1989 juga termasuk salah satu dari belasan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum mendapatkan kepastian hukum.

Akan tetapi, meski Indonesia telah mengakui keberadaan HAM, sejarah negara ini tak luput dari peristiwa pelanggaran HAM. Salah satunya contoh pelanggaran HAM di Indonesia adalah peristiwa Talangsari yang terjadi pada 7 Februari 1989 silam.

Sejarah Peristiwa Talangsari 1989: Kronologi Singkat

Peristiwa Talangsari terjadi di Provinsi Lampung pada 7 Februari 1989. Dalam peristiwa Talangsari, sebanyak 27 orang tewas akibat pembunuhan di luar proses hukum, 5 orang diculik, 78 orang dihilangkan secara paksa, 23 orang ditangkap secara sewenang-wenang, dan 24 orang mengalami pengusiran.

Detail data korban Peristiwa Talangsari 1989 tersebut dikutip dari laporan hasil investigasi KontraS bertajuk "Kasus Talangsari 1989: Sebuah Kisah Tragis Yang Dilupakan."

Mengutip Buku Pendamping Guru untuk Pembelajaran HAM terbitan Komnas HAM [PDF], tragedi berdarah dalam Peristiwa Talangsari 1989 terjadi di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).

Peristiwa Talangsari melibatkan aparat keamanan (militer di era Orde Baru) dengan kelompok yang dipimpin oleh Warsidi. Sementara itu, operasi militer dalam Peristiwa Talangsari berada dikomandoi oleh Komandan Korem 043 Garuda Hitam Lampung saat itu, yakni Kolonel AM Hendropriyono.

Peristiwa ini bermula dari keputusan pemerintahan Presiden Soeharto yang menerbitkan UU nomor 3 tahun 1985 [PDF] dan UU Nomor 8 Tahun 1985 [PDF]. Dua UU itu mewajibkan semua partai politik dan organisasi masyarakat di Indonesia menjadikan Pancasila sebagai azas tunggal. Azas lain selain Pancasila tidak diperbolehkan.

Penerbitan UU tersebut memicu polemik. Penolakan keras bahkan muncul dari sejumlah kelompok Islam. Mereka yang menjadi korban dalam Peristiwa Talangsari, sebagian terlibat dalam gerakan menolak azas tunggal.

Pada akhir tahun 1988, terjadi eksodus sejumlah orang ke Dukuh Cihideung, Desa Talangsari, Lampung Timur. Menurut Abdul Syukur dalam Gerakan Usroh di Indonesia: Peristiwa Lampung 1989 (2001), orang-orang tersebut berniat membentuk sebuah desa yang memberlakukan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang jadi keyakinan mereka.

Salah satu pentolan dari orang-orang ini adalah pimpinan pengajian bernama Nur Hidayat. Dia merupakan salah satu orang yang menolak azas tunggal. Ia juga terafiliasi dengan gerakan Usroh, sebuah kelompok muslim kecil di Lampung yang ditumpas pemerintah Orde Baru dengan dalih subversif.

Dalam kelompok Nur Hidayat, juga ada Warsidi, guru mengaji dari Lampung. Warsidi yang sudah dijadikan tokoh agama di Talangsari, kemudian dipilih sebagai pemimpin desa bentukan Nur Hidayat dan kawan-kawan.

Akan tetapi, pemerintah Orde Baru menilai keberadaan desa yang dipimpin oleh Warsidi itu sebagai gerakan yang subversif. Kelompok Warsidi bahkan dituding hendak menggulingkan pemerintahan dan mendirikan negara Islam.

Pemerintah Orde Baru juga menuduh kelompok Warsidi mengajarkan ajaran sesat karena membangun komunitas yang tertutup dan tidak berinteraksi secara terbuka dengan masyarakat umum. Warsidi juga dianggap sering kali menyampaikan ceramah bernada ekstrem saat pengajian.

Lantas, pada 5 Februari 1989, aparat militer melakukan penculikan terhadap beberapa pengikut kelompok Warsidi. Hal ini membuat khawatir para anggota komunitas tersebut.

Keesokan harinya, rombongan pejabat lokal, baik sipil maupun militer, mendatangi kelompok Warsidi di Cihideung. Namun, rombongan ini diserang oleh kelompok Warsidi karena dikira hendak menangkap guru mengaji itu.

Dalam bentrokan tersebut, Kapten Sutiman dan Prajurit Satu Budi dari pihak militer tewas. Hal ini menyebabkan bentrokan bertambah panjang.

Esok harinya, sekitar tengah malam 7 Februari 1989, pasukan militer yang dikomandoi Kolonel AM Hendropriyono, menyerbu kelompok Warsidi. Majalah Tempo edisi 18 Februari 1989 melaporkan diduga sebanyak 246 pengikut Warsidi tewas akibat serbuan itu. Di antara yang tewas termasuk Warsidi.

Menurut laporan investigasi KontraS, seorang bocah dari kelompok Warsidi bernama Ahmad (10 tahun), dipaksa menyiramkan bensin ke sejumlah rumah dan membakarnya.

Secara berurutan, Ahmad diperintahkan—di bawah ancaman senjata—untuk membakar rumah-rumah kelompok Warsidi, pondok pesantren, dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang.

Bayi, anak-anak, ibu-ibu (banyak di antaranya yang sedang hamil), remaja, dan orang tua dilaporkan ikut terlalap api dalam kebakaran tersebut. Saat kebakaran terjadi, aparat militer juga dilaporkan menghujankan tembakan ke langit untuk "meredam" suara-suara teriakan korban yang terdengar.

Kasus Talangsari telah dinyatakan oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. Namun, proses penyelesaian hukum kasus Talangsari masih macet. Hingga saat ini, Kejaksaan Agung sebagai penegak hukum yang berwenang belum menindaklanjuti laporan hasil penyelidikan yang diserahkan oleh Komnas HAM.

Baca juga artikel terkait PELANGGARAN HAM atau tulisan lainnya dari Rizal Amril Yahya

tirto.id - Pendidikan
Kontributor: Rizal Amril Yahya
Penulis: Rizal Amril Yahya
Editor: Addi M Idhom