tirto.id - Khutbah Jumat singkat pekan ini akan mengangkat tema tentang bagaimana perspektif Islam memandang KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Assalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh..
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، وَبِهِ نَسْتَعِيْنُ عَلَى أُمُورِ الدُّنْيَا وَالدِّينِ، وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلىَ أَشْرَفِ الـمُرْسَلِينَ وَعَلىَ آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْـمَـعِينَ، أَمَّا بَعْدُ
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Hanya kepada-Nya kita memohon pertolongan dalam segala urusan dunia dan akhirat.
Salawat dan salam tercurah untuk utusan yang paling mulia, Baginda Muhammad SAW, keluarganya, dan semua sahabatnya. Amma ba’du.
Hari ini, 30 September 2022 kita kembali dipertemukan dalam majelis khotbah dan salat Jumat yang insya Allah dirahmati Allah, Tuhan semesta alam.
Contoh Khutbah Jumat Singkat Pekan Ini
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Cerita tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sepertinya tidak pernah usai, terbaru ada artis yang selama ini terlihat harmonis selama pernikahan, melaporkan suaminya yang melakukan KDRT karena dugaan perselingkuhan, na'udzubillah.
Lalu bagaimana perpsektif Islam memandang KDRT ini?
Kekerasan dalam rumah tangga merupakan segala tindakan atau perbuatan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang suami/istri terhadap pasangannya yang bisa mengakibatkan penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, kesengsaraan dan penelantaran rumah tangga.
Islam tidak mengenal istilah kekerasan dalam rumah tangga. Islam adalah agama rahmatan lil’alamin yang menganut prinsip kesetaraan partnership (kerja sama) dan keadilan.
Perkawinan sejatinya dilakukan untuk mencapai tujuan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Karenanya segala perbuatan yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan, khususnya yang dilakukan suami terhadap istri seperti perlakuan kekerasan dalam rumah tangga masuk dalam kategori perbuatan melawan hukum.
Allah SWT berfirman:
يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيۡنَ اٰمَنُوۡا لَا يَحِلُّ لَـكُمۡ اَنۡ تَرِثُوا النِّسَآءَ كَرۡهًا ؕ وَلَا تَعۡضُلُوۡهُنَّ لِتَذۡهَبُوۡا بِبَعۡضِ مَاۤ اٰتَيۡتُمُوۡهُنَّ اِلَّاۤ اَنۡ يَّاۡتِيۡنَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَعَاشِرُوۡهُنَّ بِالۡمَعۡرُوۡفِ ۚ فَاِنۡ كَرِهۡتُمُوۡهُنَّ فَعَسٰۤى اَنۡ تَكۡرَهُوۡا شَيۡــًٔـا وَّيَجۡعَلَ اللّٰهُ فِيۡهِ خَيۡرًا كَثِيۡرًا
Yaaa aiyuhal laziina aamanuu laa yahillu lakum an tarisun nisaaa'a karhan wa laa ta'duluuhunna litazhabuu biba'di maaa aataitumuuhunna illaaa ai yaatiina bifaahishatim bubaiyinah; wa 'aashiruu hunna bilma'ruuf; fa in karihtumuuhunna fa'asaaa an takrahuu syai awwayaj 'alallahu fiihi khairan katsiiran.
Artinya: "Wahai orang-orang beriman! Tidak halal bagi kamu mewarisi perempuan dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya." (QS. An-Nisa: 19)
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa para suami bergaullah dengan istrimu menurut cara yang patut dan penuh kasih sayang sesuai ketentuan agama.
Jika kamu tidak menyukai mereka lantaran adanya kekurangan pada diri mereka, maka bersabarlah terhadap segala kekurangan atau keterbatasan mereka.
Karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu pada dirinya, padahal Allah ingin menjadikan dalam ikatan perkawinan bersamanya itu suatu kebaikan yang banyak padanya di kemudian hari. Karena, di balik kesabaran tersebut tentu ada hikmah yang banyak.
Kaum Muslimin juga dilarang menguasai kaum perempuan dengan paksa. Hal demikian sangat menyiksa dan merendahkan martabat kaum perempuan.
Juga tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang menyusahkan dan memudaratkan perempuan seperti mengharuskan mereka mengembalikan mahar yang pernah diterima dari suaminya ketika perkawinan dahulu kepada ahli waris almarhum suaminya itu sebagai tebusan bagi diri mereka, sehingga mereka boleh kawin lagi dengan laki-laki yang lain.
Ayat di atas menjelaskan larangannya dengan melarang menikah dengan mereka dan tidak boleh kaum Muslimin mengambil apa saja yang pernah diberikannya kepada istri atau istri salah seorang ahli waris, kecuali apabila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata, seperti tidak taat, berzina, mencuri dan sebagainya.
Para suami agar bergaul dengan istri dengan baik. Jangan kikir dalam memberi nafkah, jangan sampai memarahinya dengan kemarahan yang melewati batas atau memukulnya atau selalu bermuka muram terhadap mereka.
Seandainya suami membenci istri dikarenakan istri itu mempunyai cacat pada tubuhnya atau terdapat sifat-sifat yang tidak disenangi atau kebencian serius kepada istrinya timbul karena hatinya telah terpaut kepada perempuan lain, maka hendaklah suami bersabar, jangan terburu-buru menceraikan mereka.
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Pernikahan sejatinya dilakukan untuk membina rumah tangga yang harmonis, karenanya suami dan isteri haruslah saling memahami kewajiban-kewajiban dan hak-haknya agar tercapai keseimbangan dan keserasian dalam ikatan perkawinan.
Di antara kewajiban-kewajiban dan hak-hak tersebut adalah tanggung jawab suami terhadap istrinya, seperti sabda Nabi Muhammad SAW:
"Beri dia makanan saat kamu mengambil makanan, beri dia pakaian ketika kamu membeli pakaian, jangan mencaci wajahnya, dan jangan memukulinya." (HR. Abu Dawud & Ibnu Majah)
Seperti dikutip laman NU Online, kekerasan yang dilakukan oleh suami kepada istri adalah haram hukumnya.
Dalam Islam disebut istilah Nusyuz (durhaka) yang lazimnya dipahami sebagai bentuk praktik kedurhakaan istri terhadap suami, padahal tak hanya istri, suami juga bisa melakukan nusyuz kepada istrinya.
Menurut Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatut Thalibin wa ‘Umdatul Muftiyin, bentuk nusyuz di mana pelakunya suami, harus dianalisa terlebih dahulu.
Apabila suami tidak menunaikan kewajibannya terhadap istri seperti nafkah atau pembagian giliran (bagi yang poligami), pemerintah dalam hal ini pengadilan berhak menekan suami untuk menunaikan kewajibannya.
Jika suami berperangai buruk terhadap istri, menyakiti istri, dan memukulnya tanpa sebab, pemerintah wajib menghentikan tindakan aniaya suami tersebut dan jika suami mengulangi tindakan aniayanya, pemerintah wajib menjatuhkan sanksi untuknya.
Dalam surah An-Nisa ayat 34, disebutkan suami yang boleh memukul istri apabila istrinya nusyuz, namun memukul istri yang dimaksud adalah pukulan yang tidak melukai, pukulan yang tidak menyakitkan, pukulan bukan pada anggota vital tubuh istri, dan pukulan bukan di wajah di mana keindahan wanita berpusat di sini.
Pemukulan juga dianjurkan tidak memakai tangan atau pecut apalagi benda tumpul atau benda tajam lainnya.
Imam An-Nawawi mengajurkan pemukulan dilakukan dengan menggunakan sapu tangan sebagaimana disebutkan di kitab Al-Majmu' fi Syarhil Muhazzab.
Hadirin jamaah Jumat rahimakumullah,
Pernikahan tidak seharusnya dinodai dengan tindakan kekerasan dan aniaya satu sama lain, bagi yang akan dan sudah menikah, perlu terus mempelajari sikap keseharian Rasulullah SAW dalam berumah tangga.
Alangkah baiknya Baginda bersikap terhadap istri, anak, cucu, bahkan tetangganya. Semoga kita semua bisa mengambil pelajaran dan keteladanan seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW.
Demikianlah khotbah Jumat kali ini, wabillahi taufik wal hidayah, wassalamu'alaikum warahmatulaahi wabarakatuh.
Editor: Addi M Idhom