tirto.id - Senin, 29 Juli 2019 kualitas udara di Jakarta meraih peringkat pertama terburuk di dunia. Prestasi ini bukan kali pertama diraih, sebab di awal Juni 2019 dan pertengahan Juli 2019, kualitas udara di Jakarta menempati posisi yang sama.
Berdasarkan catatan Air Visual, kualitas udara di kota di Jakarta kian menurun pada Jumat, 26 Juli 2019, dengan air quality index (AQI) pada pukul 08.53 mencapai 184, kandungan polusi PM2.5 sebesar 119,8 mikrogram/m3.
Kondisi ini bertambah parah pada Senin, 29 Juli 2019. AQI mencapai angka 189 dan kandungan polutan PM2.5 129,9 mikrogram/m3.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sempat mengutarakan niatnya untuk memasang tanaman lidah mertua di atap-atap gedung-gedung perkantoran di Jakarta. Meski begitu, Anies mengatakan upaya ini bukanlah satu-satunya.
“Apakah ini satu-satunya? Tentu tidak. Jadi itu bagian dari usaha kami. Semua yang bisa kami kerjakan insyaallah kami kerjakan. Nama-nama tanaman dan lain-lain itu biar dinas kehutanan saja,” kata Anies.
Riset NASA
Ide pengadaan lidah mertua yang dilontarkan Anies tersebut pernah dipelajari oleh Badan Penerbangan dan Antariksa, Amerika Serikat (NASA) pada 1989.
Riset berjudul “Interior Landscape Plants for Indoor Air Pollution Abatement” yang dilakukan NASA itu dilakukan setelah melihat adanya fenomena “sick building syndrome”, yakni berbagai masalah kesehatan yang muncul di kalangan para pekerja, seperti mata gatal, ruam kulit, kantuk, sesak napas dan sinus, sakit kepala, dan gejala alergi lainnya.
Kala itu, mereka melakukan penelitian setelah melihat perkiraan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa 30 persen dari semua bangunan baru atau yang direnovasi memiliki berbagai tingkat polusi udara dalam ruangan.
Polusi udara di dalam ruangan yang terjadi ini salah satunya disebabkan karena sirkulasi udara yang buruk dalam suatu bangunan, ruangan yang tertutup dan model ventilasi yang jelek.
Dalam penelitian tersebut, NASA melakukan penelitian dengan mengevaluasi daun, akar, tanah, dan mikroorganisme yang terdapat dalam berbagai jenis tanaman pada ruangan tertutup yang mengandung polutan, seperti benzena, trikloroetilen, dan formaldehida.
Untuk penelitian ini, mereka menggunakan tanaman sebagai berikut: Palem bambu (Chamaedorea seifritzii), sri rezeki (Aglaonema modestum), daun ivy (Hedera helix), beringin (Ficus benjamina), Baberton daisy (Gerbera jamesonii), Janet Craig (Dracaena deremensis “Janet Craig”), Marginata (Dracaena marginata), corn cane (Dracaena massangeana), lidah mertua (Sansevieria laurentii), peace lily (Spathiphyllum “Mauna Loa”), pot mum (Chrysanthemum morifolium), dan Warneckei (Dracaena deremensis“Warneckei”).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman lidah mertua mampu meluruhkan tiga jenis polutan yang disuntikkan.
Cocokkah Studi NASA Tersebut?
Mantan penasihat sains senior dari Divisi Udara Dalam Ruangan Badan Perlindungan Lingkungan Amerika Serikat, John Girman, meragukan studi dari NASA yang hanya dilakukan di ruang tertutup. Menurutnya, seperti ditulis National Geographic, hal ini tak mereplikasi kondisi sebenarnya dari bangunan yang memiliki sistem ventilasi yang membawa udara dari luar ruangan. Girman pesimistis model tersebut bisa diterapkan di daerah yang memiliki kualitas udara luar ruangan yang buruk.
Terkait kasus udara di Jakarta, studi dari NASA di atas tak cocok. Yang ingin Anies lakukan adalah membersihkan udara luar ruangandengan menanam lidah mertua di atap-atap gedung perkantoran, sedangkan studi NASA itu mempelajari cara membersihkan udara di dalam ruangan.
Dalam studi yang dilakukan oleh NASA, para peneliti melakukan percobaan dengan menyuntikkan polutan ke dalam ruangan tertutup yang telah diberikan tanaman tertentu. Setelah itu, mereka mengukur peluruhan dari polutan tersebut.
Sedangkan di udara terbuka Jakarta, polutan terus bertambah akibat pengerjaan proyek infrastruktur, seperti revitalisasi trotoar, pembangunan LRT, dan pembangunan Jalan Tol Becakayu. Tak hanya itu, ada pula sisa gas buang pada kendaraan bermotor serta emisi gas dari industri di Jakarta pun menimbulkan masalah bagi buruknya kualitas udara ibukota, sehingga polutan tersebut tak bisa terserap dengan maksimal.
Gedung-gedung di Jakarta juga rata-rata tak berventilasi dan dilengkapi AC. Oleh karena itu, udara di dalam ruangan di gedung perkantoran bukanlah isu yang sedang dibicarakan sekarang ini. Yang menjadi persoalan orang Jakarta, terutama, adalah udara di luar ruangan.
Berapa Jumlah Tanaman Diperlukan untuk Indoor?
Meski demikian, tak ada salahnya juga jika kita ingin menghitung tanaman lidah mertua untuk membersihkan udara di dalam gedung-gedung perkantoran. John Girman, masih di National Geographic, mengatakan bahwa dalam sebuah bangunan dengan luas 1.500 kaki persegi atau 139,5 meter persegi, kita membutuhkan 680 tanaman untuk menduplikasi manfaat NASA, dengan asumsi 1 tanaman bervolume 0,5 m3.
“Saya tentu tidak akan bergantung pada tanaman untuk membersihkan udara dalam ruangan… Agar tujuan itu tercapai, Anda akan membutuhkan terlalu banyak tanaman,” ujar John Girman kepada National Geographic.
Menurut perhitungan Colliers Internasional Indonesia, seperti diberitakan Kompas.com pada 2017, dalam kurun waktu 2017 hingga 2019, area Central Business District (CBD) Jakarta akan dipenuhi oleh 31 gedung perkantoran baru dengan total luas 2.017.124 meter persegi. Dalam tulisan ini, angka tersebut digunakan untuk mengasumsikan luas setiap gedung bertingkat di Jakarta. Maka, didapatlah angka luas bangunan satu gedung di Jakarta, yakni 65.068,52 meter persegi.
Berdasarkan data situs Skyscrapercenter (PDF), ada 388 gedung pencakar langit yang telah beroperasi di Jakarta. Jumlah gedung yang tercatat pada situs yang menyajikan data resmi untuk gedung tertinggi di dunia tersebut kami asumsikan sebagai jumlah gedung yang ada di Jakarta. Kami kemudian menghitung rata-rata jumlah lantai yang ada di gedung-gedung tersebut sebesar 30,5 lantai, kami lakukan pembulatan ke bawah sehingga menjadi 30 lantai. Dengan angka itu, kami asumsikan total luas bangunan masing-masing gedung adalah 1.952.056,6 meter persegi.
Dalam buku The Architect’s Handbook yang disunting oleh Quentin Pickard RIBA (2002: 286), tertulis bahwa rasio area internal netto pada sebuah gedung (luas bangunan dikurangi tangga, lift, dan toilet) adalah 80 persen dari total luas bangunan. Selain itu, gedung pada umumnya memiliki area sirkulasi sekitar 15 persen dari rasio internal netto, sehingga jumlah area terpakai pada gedung besarnya sekitar 85 persen dari rasio internal netto. Oleh karena itu, kami asumsikan luas bangunan yang bisa digunakan adalah 1.327.397,81 meter persegi.
Dengan angka itu, dapat dihitung jumlah tanaman yang harus ada (ingat bahwa setiap 139,5 meter persegi perlu 680 tanaman bervolume 0,5 meter3). Didapatlah hasil bahwa setiap gedung rata-rata membutuhkan 6.470.470 tanaman lidah mertua untuk mengatasi polusi. Dengan adanya 338 gedung di Jakarta, artinya pemerintah Jakarta perlu lebih dari 2 miliar tanaman lidah mertua untuk mengatasi buruknya udara di dalam gedung-gedung.
Editor: Maulida Sri Handayani