tirto.id - Pertandingan gim kelima final ASEAN Basketball League [ABL] 2018-2019 antara Singapore Slingers melawan CLS Knights Indonesia yang sudah memasuki kuarter keempat hanya menyisakan waktu 56 detik. Demi menggenggam gelar ABL, CLS maupun Slingers terus bermain dengan gigi empat, mempermainkan detak jantung para penonton, dan masih berbagi angka 79-79.
Namun, saat siapa yang bakal menang masih sulit untuk ditentukan, Wong Wei Long, guard CLS yang sebelumnya sering dikritik karena dinilai gagal tampil sesuai harapan, kemudian tampil sebagai pembeda.
Wong mengincar area tembakan tiga angka. Sebelum menerima bola, ia secara cerdik berhasil bebas dari kawalan lawan. Bola lantas dioper kepadanya, ia menembak, dan setelah bola dipastikan masuk, Wong berteriak sekuat tenaga. Slingers 79, CLS 82.
Tembakan itu lantas membuat mental Slingers goyah, sementara rasa percaya diri pemain-pemain CLS semakin menjadi-jadi. CLS akhirnya menang 81-84 atas Slingers, unggul 3-2 dalam gelaran final yang berformat best of five. Mereka pun dinobatkan sebagai Raja Basket Asia Tenggara, menjadi tim kedua asal Indonesia yang menjadi juara ABL setelah Indonesia Warriors mencatatkan prestasi serupa pada 2012 silam.
"Aku hanya bersyukur bahwa aku berhasil memasukkan tembakan itu. Aku berterima kasih kepada pelatih yang percaya kepadaku," tutur Wong setelah pertandingan.
Wong jelas bukan satu-satunya alasan mengapa CLS yang baru dua musim bergabung dengan ABL bisa bikin kejutan. Tanpa kemampuan Douglas Herring dalam mengatur permainan, tanpa kemampuan Darryl Watkins dalam melakukan defensive maupun offensive rebound, dan tanpa kemampuan Maxie Esho dalam mencetak angka, CLS bukanlah sebuah tim yang solid. Ditambah dengan sentuhan tangan dingin Brian Rowson, kekuatan CLS lantas semakin sulit diukur lawan.
Di balik kesuksesan tersebut, ada satu faktor paling penting yang tidak boleh dilupakan: bagi CLS Knight Indonesia, identitas adalah sebuah harga mati.
Mundur dari Indonesia Basketball League
Menurut laporan MainBasket pada Agustus 2016, CLS punya sejarah yang amat panjang dalam jagad basket Indonesia. Mulai didirikan di Surabaya oleh sekumpulan pemuda etnis Tionghoa tahun 1946, CLS semula merupakan akronim dari "Cun Lie Se", yang berarti sebuah perkumpulan yang didasari kekuatan bersama. Kelak, lantaran era Orde Baru melarang penggunaan istilah Mandarin, kepanjangan CLS lantas diubah menjadi Cahaya Lestari Surabaya.
Meski didirikan etnis Tionghoa, CLS tak pernah membatasi diri. Kala itu, bagi siapa pun warga Surabaya yang menggandrungi basket dan ingin bergabung, CLS menyambutnya dengan tangan terbuka. Seiring berjalannya waktu, anggota CLS pun bertambah, dan mereka kemudian memberanikan diri untuk membikin yayasan olahraga.
Sejak saat itu, CLS selalu aktif dalam kegiatan basket yang diselengarakan di Indonesia. Ia ikut Kobatama, IBL, NBL, serta IBL lagi. Namun saat manajemen IBL tak mau mentoleransi tim-tim yang tidak sesuai regulasi, CLS secara mengejutkan memilih undur diri menjelang IBL musim 2017-2018.
Saat itu, manajemen IBL ingin setiap kontestan punya badan hukum berbentuk PT, yang bertujuan membuat tim-tim IBL lebih profesional dan terbuka. Namun, CLS keberatan dan mereka memberikan alasan:
"Kami sadar dan mengerti Manajemen IBL memiliki visi dan tujuan yang baik dengan mewajibkan setiap klub yang tergabung untuk berbentuk PT, dan mungkin kondisi tersebut sangat cocok untuk sebagian besar Klub. Namun demikian tidak semua kondisi dapat cocok untuk semua pihak, dalam hal ini kami, Yayasan Cahaya Lestari Surabaya (CLS)."
"Selama beberapa dekade terakhir kami sudah berbadan hukum Yayasan, yang mana juga Yayasan kami bukan dimiliki oleh hanya beberapa individu tertentu namun sudah terdaftar dengan sangat banyaknya pihak yang terlibat dalam kepengurusan dan anggota. Dengan badan hukum berbentuk Yayasan, kami juga telah memenuhi segala kewajiban layaknya organisasi resmi yang ditentukan oleh Pemerintah, dokumen legal seperti SK Menteri dan NPWP kami miliki, tanpa melupakan kewajiban kami melaporkan SPT setiap tahunnya.”
Keputusan CLS jelas bikin kaget pencinta basket di Indonesia. Selain merupakan bagian penting dalam sejarah basket Indonesia, bersama Satria Muda, Pelita Jaya, serta Stapac, CLS saat itu masih menjadi kekuatan utama basket di Indonesia.
Saat para pecinta basket Indonesia merasa kehilangan, CLS justru membuat gebrakan lain yang tak kalah mengejutkan. Mulai musim 2017-2018, CLS memilih ikut kompetisi ABL, liga basket terbesar di kawasan Asia Tenggara.
Kejutan di Tahun Kedua
Sesosok kesatria berbaju zirah dengan balutan emas tampak sedang mengayunkan pedang. Di bawahnya, ada tulisan besar "CLS Knight Indonesia". Pada 10 November 2017, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan, CLS memperkenalkan logo barunya yang akan mulai digunakan di kompetisi ABL 2017-2018.
"Ini momen yang bagus karena kita sedang merayakan Hari Pahlawan. Kami punya spirit, kami tidak mau kalah. Kami akan tunjukkan kepada ASEAN dan Asia Timur kalau kami punya hati untuk menang, kami pasti bisa,” tutur Christopher Tanuwijaya, Managing Partner CLS Knights, menyoal makna dari logo anyar tim asal Surabaya tersebut.
Sayangnya, semangat yang diusung logo baru CLS itu tidak berdampak terhadap permainan CLS di ABL 2017-2018. Diperkuat mayoritas pemain yang dipersiapkan untuk IBL musim 2017-2018, plus empat pemain asing, CLS tampak demam panggung. Mereka pun babak belur.
Dalam 25 pertandingan, CLS hanya menang lima kali dan kalah 15 kali. Alhasil, dari 9 kontestan, CLS hanya mampu finis di peringkat ketujuh, satu strip di bawah zona play-off.
Agar tidak kembali menjadi samsak bagi tim lawan, CLS kemudian bersiap lebih serius menjelang ABL musim 2018-2019. Brian Rowson, mantan pemain NBA, ditunjuk sebagai pelatih anyar. Meski ditinggal dua pilar utamanya, Mario Wuysang dan Kaleb Ramot Gemilang, CLS mendatangkan pengganti yang sepadan, Brandon Jawato dan Wong Wei Long. Mereka juga punya tiga pemain asing anyar: Maxie Esho, Stephen Hurt, serta Montay Brandon.
Namun, CLS sempat kedodoran di awal musim. Rowson kemudian mengevaluasi skuat pada tengah musim. Montay Brandon dan Stephen Hurt, yang tampil tidak sesuai harapan, didepak. Sebagai gantinya CLS merekrut Douglas Herring serta Darryl Watkin. Tujuannya: CLS ingin lebih produktif dalam menyerang.
"Kami berusaha untuk bermain lebih efisien dan produktif saat menyerang. Dan proses tersebut sedang berjalan dengan hadirnya dua pemain baru ini. Dalam beberapa latihan saya melihat Douglas mampu menjaga ritme permainan dengan jiwa kepemimpiannnya di lapangan dan sering memberikan celah kepada para pemain lainnya untuk menembak," tutur Rowson, dilansir dari Bola.com.
Rowson menambahkan, "Darryl Watkin punya kemampuan mencetak angka dari area dalam. Dengan pengalaman yang mereka miliki, saya yakin akan ada perubahan yang lebih baik bagi tim ini."
Rowson ternyata tidak sekadar kecap. Dua pemain itu benar-benar langsung nyetel dan mampu mengangkat penampilan CLS. Sempat mencatat tujuh kemenangan beruntun, CLS akhirnya mampu finis di peringkat 4 babak reguler, sehingga berhasil menembus babak play-off.
Pada babak play-off, yang digelar dengan format best of three, CLS terus-terusan menciptakan keajaiban. Saigon Heat dan Mono Vampire masing-masing dilibas dengan skor 2-1. Dan pada pertandingan final, giliran Singapore Slinger dihempaskan dengan skor 3-2.
"Dari awal saya selalu percaya dengan tim ini. Mulai dari manajemen dan antusias para fansnya dan kemauan para pemain untuk menang," ujar Rowson. "Kami sudah berjanji untuk memberikan gelar juara buat Knights Society [sebutan fans CLS]. Piala ini juga untuk Indonesia."
Editor: Mufti Sholih