tirto.id - Civitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menentang keras revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang merupakan inisiatif DPR. Peneliti politik LIPI Syamsuddin Haris menganggap DPR tidak mengedepankan aspek transparansi, aspirasi, dan partisipasi publik.
Syamsuddin bahkan menilai DPR tak ubahnya oligarki dengan tiba-tiba mengajukan inisiatif merevisi UU tersebut.
"Kartel politik itu biasanya diikat dalam kepentingan jangka pendek. Demi mencari sesuap berlian," ujar Syamsuddin saat konferensi pers pernyataan sikap di Gedung LIPI, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).
Syamsuddin menilai revisi UU KPK merupakan bahasa lain dari upaya untuk melemahkan fungsi serta peran KPK dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Ia mengatakan apa yang dilakukan DPR jelas-jelas menciderai semangat demokrasi.
"Saya melihat revisi UU KPK yang diusulkan DPR ini membuka mata hati publik di satu pihak dan menelanjangi wajah asli Parpol kita," ujarnya.
Syamsuddin melihat revisi UU KPK seperti pembentukan UU baru. Sebab, marwah dari UU tersebut telah luntur di tangan elite politik.
"Sebagai contoh Pasal 3 dalam usulan saat ini ialah lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah pusat, ini suatu degradasi luar bisa. Kalau yang lama, KPK itu lembaga negara. Bukan pemerintah pusat," jelasnya.
"Yang juga menonjol bahwa tekanan UU revisi membikin tugas KPK lebih kepada pencegahan. Pencegahan itu tugas semua, bukan KPK saja," imbunya.
Hal senada juga diungkapkan Peneliti Politik LIPI Siti Zuhro. Ia justru mempertanyakan kenapa kok tiba-tiba KPK seolah-olah menjadi ancaman bersama.
"[Ancaman] Itu bagi siapa? Kenapa mereka nekat harus melakukan revisi. Itu adalah pembentukan UU baru, yang secara substansial menghadirkan KPK baru yang disfungsi," kata Siti pada kesempatan yang sama.
Menurut Siti, revisi UU KPK merupakan kekeliruan disaat Indonesia sedang mengahadapi masalah korupsi yang serius. Kiprah KPK yang seperti saat ini, tanpa adanya revisi UU, menurutnya masih dibutuhkan.
"Batalkan revisi ini, tentu pak Jokowi harus mendengarkan aspirasi semua masyarakat yang konsen dengan pemberantasan korupsi," ujarnya.
Total 146 peneliti LIPI sepakat untuk menolak revisi UU KPK. Mereka juga mendesak Presiden Joko Widodo agar tak mengeluarkan surat presiden (surpres) yang jadi landasan persetujuan pemerintah untuk membahas revisi UU KPK.
Revisi UU KPK muncul bertepatan dengan proses seleksi calon pimpinan KPK periode 2019-2023. Dengan begitu, pimpinan KPK yang baru akan bekerja dengan mengacau UU KPK hasil revisi.
Berdasarkan dokumen rancangan revisi UU KPK yang diperoleh Tirto, ada beberapa subtansi terkait perubahan kedudukan dan kewenangan KPK. Pertama, kedudukan KPK berada pada cabang eksekutif yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya bersifat independen.
Kemudian, KPK dalam menjalankan tugas dan wewenang diawasi oleh Dewan Pengawas KPK yang berjumlah lima orang. KPK juga barus bisa melakukan penyadapan setelah mendapat izin dari Dewan Pengawas KPK.
Selain itu, KPK akan diberi kewenangan menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara tipikor yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun. Penghentian penyidikan itu harus dilaporkan ke Dewan Pengawas dan diumumkan kepada publik.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Gilang Ramadhan