Menuju konten utama
18 Maret 2017

Citra Chuck Berry di Antara Legenda Tersohor dan Predator

Pujangga rock and 
roll. Gitar melahirkan
nada tersohor.

Citra Chuck Berry di Antara Legenda Tersohor dan Predator
Ilustrasi Chuck Berry. tirto.id/Gery

tirto.id - Malam itu, Martin MacFly Jr. tampil rapi dengan setelan jas abu-abu gelap, dasi merah, dan sepatu hitam mengkilap. Rencananya, ia hendak mendatangi prom night salah satu SMA di Hill Valley, California.

Tujuan MacFly bukan bersenang-senang maupun mencari pasangan, tapi, ia punya misi lebih penting: membuat (calon) orangtuanya—yang kebetulan satu sekolah—bisa berdansa bersama dan akhirnya jatuh cinta. Semua dilakukan agar misinya bersama Dr. Emmett berhasil terlaksana.

Awalnya terlihat susah. Suasana dalam aula masih senyap. Ditambah, acara terancam gagal karena vokalis dari band pengiring tidak bisa bermain gara-gara tangannya terluka. Tapi, semesta rupanya mendukung upaya MacFly. Ia memberanikan diri tampil di atas panggung untuk menggantikan sang vokalis.

Setelah sedikit basa-basi, MacFly langsung menggeber gitarnya dengan intro beraroma blues dan rock. Penonton mulanya malu-malu seraya bertanya “lagu macam apa itu?” sebelum akhirnya larut dalam keriaan. Melihat penonton yang menggeliat, MacFly pun tambah antusias. Ia menutup penampilannya dengan sumringah. Calon orangtuanya berdansa dan misinya berhasil.

Fragmen di atas diambil dari film arahan Robert Zemeckis berjudul Back to Future (1985). Film ini bercerita tentang petualangan MacFly (Michael J. Fox) dan Emmett (Christopher Llyod) menembus misi perjalanan waktu, dari 1985 kembali ke 1955, untuk menyelamatkan keluarganya.

Dalam acara prom night tersebut, Macfly membawakan lagu berjudul “Johnny B. Goode” milik Chuck Berry. Kedua hal tersebut, baik lagu maupun si pencipta, kelak punya nilai yang sama-sama besar dalam sejarah jagat rock and roll.

Yang Kerap Disebut Penemu

Pada satu kesempatan, pentolan The Beatles, John Lennon pernah berkata: “Jika kamu ingin mengganti nama rock and roll dengan nama lain, mungkin kamu bisa menggantinya dengan Chuck Berry.” Hal senada juga diungkapkan Bob Dylan yang menyebut Chuck Berry sebagai “Shakespeare-nya rock and roll.”

Pernyataan keduanya ada betulnya. Tak bermaksud mengurangi rasa hormat pada Elvis Presley maupun Buddy Guy, membicarakan rock and roll tanpa menyebut Chuck Berry hanyalah omong kosong. Chuck Berry adalah rock and roll dan begitu pula sebaliknya.

Chuck Berry lahir di St. Louis pada 18 Oktober 1926 dari pasangan Henry William Berry dan Martha Bell. Keluarga Berry tinggal di Ville, kawasan yang dihuni kelas pekerja maupun kelompok elit kulit hitam. Berry menyebut masa kecilnya “tidak terlalu baik” karena orangtuanya bercerai di saat usianya masih belia.

Kendati berpisah, orangtua Berry tetap memperhatikan masa depan anak-anaknya dan memastikan agar mereka terpelajar dan saleh. Maka dari itu, orangtua Berry meminta anak-anaknya belajar soal musik klasik, puisi, serta rutin menyambangi gereja.

Seperti dituturkan Mikal Gilmore dalam laporan panjangnya berjudul “Chuck Berry: Farewell to the Father of Rock” yang terbit di Rolling Stone, ketertarikan Berry pada musik berangkat dari lingkungan keluarganya yang juga penggemar musik. Mereka mendengarkan musisi-musisi seperti Lil Green, Benny Goodman, Count Basie, sampai Glen Gray.

Dari situ, Berry kemudian mengulik lebih jauh tentang musik. Ia secara otodidak belajar jazz, gospel, country, dan tentu saja blues. Musisi yang menginspirasinya adalah Rosetta Tharpe, Arthur Crudup, T-Bone Walker, serta Nat King Cole.

Tatkala duduk di bangku SMA, Berry melangsungkan penampilan debutnya di hadapan publik. Ia sempat demam panggung, yang perlahan sirna kala ia menyaksikan penonton puas menyaksikan penampilannya. Dalam pertunjukan perdananya, Berry membawakan “Confessin ‘the Blues” yang ditulis dan dinyanyikan oleh Jay McShann. Semenjak momen tersebut, Berry bertekad untuk jadi bintang panggung.

Meski penampilannya dipuji seluruh teman-temannya di SMA, Berry tak dapat menamatkan sekolahnya. Musim panas 1944, Berry di-DO akibat terlibat perampokan bersenjata bersama dua kawannya di Kansas City. Ketiganya dijatuhi hukuman 10 tahun penjara oleh pengadilan karena tidak mau mengakui kesalahan. Berry dipenjara di Algoa, Missouri.

Di penjara, Berry berkawan dengan seorang pentolan napi. Pertemanan itu membuat Berry aman dari segala ancaman. Pada masa-masa itu pula Berry menyaksikan diskriminasi terhadap warga kulit hitam. Asrama napi kulit hitam dan putih dipisah. Penjara juga tak menumpulkan kreativitas Berry. Bersama narapidana lainnya, Berry mengorganisir kuartet paduan suara untuk kebaktian gereja. Waktu itu Berry pegang bass.

Berry menghirup udara bebas pada 1947. Masa hukumannya dipotong jadi tiga tahun. Ia kembali ke St. Louis dan memulai lembaran baru dengan bekerja sebagai tukang kayu hingga ahli tata rias dan kecantikan. Di sela-sela kesibukannya, Berry memperdalam permainan musiknya. Ia mulai rutin mengisi acara di klub-klub lokal sampai hajatan pesta dengan bayaran $4 per malam.

Memasuki dekade 1950an, Berry semakin serius menjalani aktivitas bermusiknya. Setelah bergabung dengan Sir John Trio, ia mengguncang Cosmopolitan Club (salah satu klub elit di St. Louis) dan merekam single pertamanya, “Maybellene,” yang sukses di pasaran—nangkring di posisi 5 tangga Billboard dan nomor satu di R&B.

Usai keberhasilan “Maybellene,” Berry makin agresif menghasilkan hits macam “School Day,” “Rock and Roll Music,” “Roll Over Beethoven,” “Promise Land,” “My Ding-a-Ling” (yang laris manis pada 1972), serta tak ketinggalan “Johnny B. Goode.”

Dalam lagu-lagu tersebut, Berry menampilkan performa yang menakjubkan. Permainan melodi gitar mengesankan yang membuat gitaris lainnya nampak amatir sampai gaya duck walk—berjalan dengan satu kaki ke samping kala bermain live—ala Berry kadang masih terlihat di panggung-panggung rock.

Musik dan penampilan Berry lewat pun jadi standar baru bagi para musisi selanjutnya seperti John Lennon, Keith Richards, The Beach Boys, maupun The Beatles. Semuanya memandang Berry sebagai bapaknya musik rock.

Meski demikian, di balik gemerlap pencapaiannya itu, Berry belum pernah memenangkan Grammy Award sepanjang kariernya. Namun, rasa hormat publik terhadap karyanya tak surut. Ia masuk Rock and Roll Hall of Fame pada 1986.

“Pada mulanya adalah Chuck Berry, yang telah menulis kitab suci rock and roll seorang diri,” jelas Rick Bragg, penulis biografi Jerry Lee Lewis, pianis legendaris yang juga rekan sepermainan Berry.

Dalam “The Politics of Being Chuck Berry” yang terbit di Politico, David Cohen mengungkapkan bahwa kendati lagu-lagu Berry dibuat untuk pasar dan bersifat universal dan seolah apolitis—lirik-liriknya tentang cinta, sekolah, musik, dan momen liburan—namun tetap saja menyimpan pesan kuat tentang pria kulit hitam yang tumbuh di era ketika rasisme, diskriminasi, hingga segregasi.

Hal tersebut dapat disimak salah satunya, lewat balada “Johnny B. Goode.” Dalam lagu itu, Berry mengubah kata “colored boy” menjadi “country boys” yang menyiratkan bahwa semua orang berhak bersenang-senang dan menggapai mimpinya tanpa dibatasi perbedaan.

Infografik Mozaik Chuck berry

Napi Kambuhan

Perjalanan Berry tak luput dari kontroversi. Pada 1959 ia ditangkap polisi akibat berhubungan dengan gadis di bawah umur. Si gadis yang bernama Janice Escalanti itu pertama kali berjumpa dengan Berry saat sang musisi dan rombongan bandnya mengunjungi El Paso, Texas. Pertemuan tersebut membuat hati Berry dimabuk kepayang.

Supaya bisa sering-sering menghabiskan waktu bersama pujaan hatinya, Berry pun memboyong Escalanti ke St. Louis untuk bekerja di bisnis barunya, Club Bandstand. Tak berapa lama kemudian, akibat merasa ditelantarkan, Escalanti melaporkan Berry ke polisi dengan tuduhan membawa gadis di bawah umur dari negara bagian lain untuk “tujuan tidak bermoral.”

Dalam pledoinya di pengadilan, Berry mengaku tidak pernah berhubungan seksual dengan Escalanti. Tapi, pengadilan tak mau tahu dan tetap menjatuhkan vonis kurungan selama 20 bulan serta denda sebesar $5 ribu. Perihal hukuman ini, Barry pernah berkata bahwa ia adalah korban media dan penguasa Missouri yang tidak suka dengan klub miliknya.

Konflik itu turut menghancurkan perkawinannya dengan Themetta Suggs yang dinikahinya pada 1948 dan dikarunai empat anak: Ingrid, Melody, Aloha, serta Charles.

“Penyesalan saya dimulai sebelum kejadian [perselingkuhan] itu berakhir,” jelasnya seperti dikutip Rolling Stone. Berry merasa malu sebab gagal memenuhi janji pernikahannya untuk setia sehidup semati.

Tak lama setelah bebas, Berry kembali menghadapi masalah yang sama. Mei 1960 ia dituduh melakukan hubungan dengan gadis di bawah umur bernama Mathis. Tak seperti kasus pertama, kali ini Berry bisa bebas karena pengadilan tak menemukan bukti bahwa ia bersalah.

Menjelang akhir 1979, Berry lagi-lagi dijatuhi hukuman penjara. Tiga hari usai tampil di hadapan Presiden Jimmy Carter, Berry divonis empat bulan penjara dan 1000 kerja sosial atas kasus penghindaran pajak penghasilan.

Masalah kiranya tak berhenti menimpa Berry. Pada 1990, polisi menemukan 62g ganja di kediamannya. Tak hanya itu, aparat juga menemukan tumpukan kaset video yang berisi rekaman perempuan di toilet rumah makan miliknya di Missouri. Untuk kasus ganja, Berry dihukum masa percobaan dua tahun. Sedangkan untuk perkara kaset video, Berry diharuskan membayar lebih dari $1 juta kepada para korban sebagai ganti rugi materi sebab telah dilecehkan.

Tidak bisa dipungkiri, Chuck Berry merupakan salah seorang musisi besar yang pernah lahir. Kemampuannya menggabungkan musik blues dan country serta menciptakan rock and roll adalah peninggalan penting yang diteruskan oleh banyak musisi generasi setelahnya.

Pada 18 Maret 2017, tepat hari ini setahun silam, Berry meninggal dunia. Masa-masa tuanya ia habiskan di kota kelahirannya untuk sekedar bermain bersama musisi lokal dan mengenang perjalanan hidupnya yang sarat prestasi maupun kontroversi.

Baca juga artikel terkait MUSIK BLUES atau tulisan lainnya dari M Faisal

tirto.id - Musik
Reporter: M Faisal
Penulis: M Faisal
Editor: Windu Jusuf