tirto.id - Barangkali hanya Maria Ulfah perempuan yang ingin menikah tetapi harus minta izin secara resmi dulu kepada presiden. Bukan lantaran ia bekas menteri perempuan pertama atau sosok penting dalam pemerintahan, melainkan karena Maria berencana menikahi tahanan politik.
Kejadian itu kira-kira terjadi pada 1963. Maria jatuh hati kepada Soebadio Sastrosatomo, tokoh PSI yang dibui di Madiun oleh Presiden Sukarno setelah gerakan PRRI/Permesta. Maria berencana menikahi pemuda yang beberapa tahun lebih muda darinya itu agar bisa rajin menjenguk di penjara.
Jauh sebelum berjumpa dengan Soebadio, Maria adalah primadona para pemuda pergerakan. Barangkali karena Maria adalah perempuan langka di zamannya, ia kerap dikerubungi cendekiawan-cendekiawan muda. Tak jarang pula ia terlibat dialog-dialog tajam yang mengasah otak hingga berjam-jam dengan mereka.
Mantan wartawan Pedoman, Gadis Rasid, pernah menyebut Maria Ulfah sebagai parade paard atau pusat perhatian di kalangan kaum nasionalis. Julukan itu merupakan bentuk sanjungan sekaligus rasa kagum Rasid kepada Maria, sebagaimana dituturkannya dalam memoar Maria Ulfah Subadio: Pembela Kaumnya (1982: 39).
“Maria merupakan kebanggan kaum nasionalis yang selalu ditonjol-tonjolkan. Seorang wanita, putri seorang Bupati didikan Belanda, dengan sukarela terjun ke gelanggang perjuangan kemerdekaan,” tulis Rasid.
Primadona Para Pemuda Pergerakan
Selama menuntut ilmu di Belanda, Maria banyak bertemu tokoh-tokoh pergerakan. Di Leiden, Maria pernah berjumpa dengan Agus Salim, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir. Di antara ketiga tokoh tersebut, Sjahrir-lah sosok yang paling sering ia temui.
Saat pertama kali berjumpa dengan Sjahrir sekitar 1930, Maria masih berusia 19, sedangkan Sjahrir berusia 21. Kunjungan Maria ke kediaman keluarga Sjahrir di Amsterdam kemudian dibalas oleh Sjahrir dengan mengajak gadis itu menyambangi pertemuan-pertemuan politik dan konser rakyat di Leiden, tempat Maria bersekolah. Dari Sjahrir pulalah Maria banyak berkenalan dengan bacaan-bacaan kiri.
Pada 1933 Maria berhasil merampungkan studinya dan kembali rumah ayahnya di Kuningan. Satu tahun kemudian, Maria memutuskan hijrah ke Jakarta untuk bekerja di Perguruan Rakyat. Ia bermukim di sebuah rumah kontrakan di Salemba Tengah yang disewa bersama Siti Soendari, kawan serumahnya ketika belajar di Leiden.
Kediaman Maria bersama Siti berlokasi tidak jauh dari gedung sekolah Perguruan Rakyat di jalan Kramat Raya. Tempat itu sering dijadikan lokasi pertemuan para pemuda pergerakan. Orang yang paling menonjol di sana adalah Amir Sjarifoeddin. Sementara itu, di antara para pengajar, terdapat nama-nama beken seperti Wilopo, Mohammad Yamin, Sumanang Surjowinoto, dan lain-lain.
Ada kisah menarik yang dituturkan Rasid dalam memoar Maria Ulfah. Menurut Rasid, baik Maria maupun Siti sama-sama berkawan dengan banyak pemuda sejak kuliah di Belanda. Namun, lain halnya dengan Siti Soendari yang punya beberapa gebetan, Maria hampir tidak pernah terpengaruh gejala emosi seperti patah hati atau mabuk cinta.
“Tidak pernah saya melihat ia menangis, tidak pernah kita tukar-menukar kisah-kisah pengalaman pribadi. Waktu kami berdua di Jakarta mulailah ia sedikit terbuka terhadap perhatian kaum pria,” tutur Siti Soendari kepada Rasid.
Rumah kontrakan yang ditinggali Maria bersama Siti memang kerap menjadi sasaran apel para pemuda pergerakan. Kisah yang ditulis Rasid berdasarkan ingatan Maria Ulfah bahkan menyebut setidaknya ada tiga pemuda pergerakan yang pernah kepincut pada Maria. Mereka adalah Adnan Kapau Gani, Hindromartono, dan Santoso Wirodihardjo.
A.K. Gani adalah pemuda cerdas dan flamboyan, tetapi agak ugal-ugalan. Tanpa basa-basi, dalam suasana lebaran 1936, Gani bertamu ke rumah orang tua Maria di Kuningan. Kedatangan pemuda lajang hendak menemui seorang anak gadis spontan mengundang rasa curiga ayah Maria, Bupati Kuningan Mohammad Achmad. Namun dengan bijaksana Maria dapat meyakinkan ayahnya bahwa dirinya tidak memiliki perasaan apapun kepada Gani.
Di antara semua lelaki yang tajam dan suka berterus terang, Maria tampaknya lebih menyukai yang pendiam. Ia justru memilih menambatkan hati kepada Santoso Wirodihardjo, sarjana hukum lulusan Leiden, yang tidak terlampau menonjol dalam pergerakan. Maria dan Santoso memutuskan menikah pada Februari 1938.
Pemuda Santoso merupakan kawan Maria selama mengajar di Perguruan Muhammadiyah sejak 1934. Sebelumnya, Santoso pernah bekerja sebagai pegawai Departemen Pendidikan Hindia Belanda, kemudian pindah ke Departemen Dalam Negeri (Naimobu) pada masa pendudukan Jepang. Selepas kemerdekaan ia sempat menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Tak Punya Waktu Berduka
Pernikahan Maria dan Santoso harus berakhir sedih. Pada tahun kesepuluh pernikahan mereka, Santoso tewas ditembak seorang sersan mayor Belanda yang mabuk. Suami Maria itu ditemukan meregang nyawa di sekitar Bandara Maguwo pada Desember 1948.
Kendati kehilangan suami, Maria tampaknya tak mau berkawan baik dengan duka. Sepeninggal Santoso, ia menyibukkan diri dalam tugas-tugas Dewan Menteri yang sangat menyita tenaga dan perhatian sehingga lupa untuk bersedih.
Berita kematian Santoso menjadi perhatian khusus anggota PBB setelah George Kahin, akademisi AS yang meneliti Revolusi Indonesia, dan para wartawan luar negeri berduyun-duyun tiba di Yogyakarta setelah serangan militer Belanda. Mereka tidak sengaja mendengar kabar penembakan Sekjen Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari kantor Palang Merah Indonesia yang letaknya bersebelahan dengan rumah Iwanah Priyono, adik Maria Ulfah.
Belanda yang merasa malu kemudian memanggil Maria untuk diinterogasi. Namun mereka tidak mendapatkan apa-apa dan memutuskan untuk membebaskan Maria. Belanda lantas mengutus Louis Graf, seorang indolog dari Universitas Leiden dan kenalan Maria semasa mahasiswa.
Graf diberi tugas dari pemerintah Belanda untuk menawarkan santunan kepada Maria. Dengan lugas, Maria menolak tawaran itu. Penolakannya sekaligus mewakili kemarahannya terhadap Belanda yang mengakibatkan semakin banyak perempuan Indonesia menjadi janda.
“Oh Louis, itu tawaran yang baik sekali. Tetapi saya masih punya dua tangan untuk bekerja dan otak serta pendidikan saya cukup lumayan. Saya masih dapat mengurus diri sendiri. Saya bersedia menerima tawaran semacam ini, bila Belanda bersedia memberikan ini kepada semua wanita Indonesia yang bernasib seperti saya. Tapi kalau tawaran ini hanya ditujukan kepada saya pribadi, tidak usahlah,” ucap Maria seperti dikutip dari memoarnya (hlm. 102).
Minta Izin Menikah
Setelah 15 tahun ditinggal mati suaminya dan tenggelam dalam kesibukan sebagai birokrat dan intelektual, Maria akhirnya menikah lagi. Pria yang menikahi Maria adalah Soebadio Sastrosatomo, salah satu pentolan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Sebelum Santoso meninggal, Soebadio sudah menjadi tetangga dekat keluarga Maria di Jalan Guntur, Jakarta Selatan, sejak zaman pendudukan Jepang.
Berdasarkan wawancara Tempo (26/2/1977), niat menikah dengan Soebadio sebenarnya sudah muncul sejak 1959. Sepeninggal Santoso, hubungan antara Maria dengan pemuda lajang Soebadio memang semakin rapat. Bahkan Menteri Luar Negeri Soebandrio menyarankan mereka buru-buru menikah.
Sayang, sebelum niat itu kesampaian, Soebadio dan petinggi PSI lainnya keburu dibui atas tuduhan mendorong gerakan separatisme PPRI/Permesta. Soebandrio sendiri yang kedapatan tugas dari Bung Karno untuk menciduk Soebadio di rumahnya pada 1962.
Sekitar 1963 Maria nekat membonceng Poppy Sjahrir, istri Sutan Sjahrir, yang hendak berangkat ke Madiun untuk menjenguk suaminya. Selain ingin bertemu Sjahrir, kawan lamanya, Maria sebenarnya juga hendak melepas rindu dengan Soebadio.
Dalam momen kunjungan pertama Maria ke Madiun, Soebadio melamar Maria. Alasannya sederhana: Soebadio tidak tega melihat Maria bersusah payah hanya agar mendapat kesempatan menjenguk di penjara.
“Ya. Supaya Ietje [nama kecil Maria Ulfah] gampang dapat mengunjungi saya di penjara. Saya dapat izin keluar sebentar dari penjara untuk menikah di Jakarta. Dijaga memang oleh petugas-petugas istimewa. Tapi bagaimana juga, dikasih izin,” aku Soebadio kepada Rosihan Anwar dalam Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik (1995: 191).
Menikah dengan tahanan politik nyatanya tidak semudah itu. Maria kemudian mendatangi Soebandrio untuk menanyakan apakah seorang tahanan politik boleh menikah. Soebandrio tidak keberatan, begitu pula Kejaksaan Agung.
“Lalu atas atas nasihat dr. Soebadrio, yang juga saya kenal, saya menulis surat kepada Bung Karno agar diizinkan menikah dengan Soebadio,” tutur Maria dalam wawancara Tempo.
Sukarno kemudian memberi izin cuti selama 10 hari kepada Soebadio. Pada 10 Januari 1964 dilangsungkan pernikahan keduanya di kediaman Maria Ulfah di Jalan Guntur No. 49. Maria dan Soebadio baru berkumpul kembali pada 1966, setelah Soeharto memerintahkan untuk melepaskan semua tahanan politik era Sukarno.
Editor: Ivan Aulia Ahsan