tirto.id - Selama berkuasa, Adolf Hitler ternyata berambisi mendominasi ranah fesyen perempuan. Pada 1940 ia mengutus lima pejabat Nazi untuk pergi ke Paris menemui Lucien Lelong, Presiden Chambre Syndicale de la Haute Couture atau asosiasi dagang perancang adibusana Paris. Organisasi yang terbentuk pada 1868 ini berfungsi mewadahi para pengusaha adibusana serta menjamin keberlangsungan usaha mereka di Paris.
Pada Juni 2016 Telegraph melaporkan bahwa utusan Hitler meminta Lelong menyerahkan arsip rancangan desainer anggota asosiasi dan catatan tentang aktivitas ekspor busana karya para desainer. Selain itu, Hitler ingin memindahkan aktivitas asosiasi mode adibusana ke Berlin agar Paris tidak lagi menjadi satu-satunya pusat fesyen dunia.
Predikat Paris sebagai kota fesyen muncul pada masa kepemimpinan Louis XIV. Sebelum itu, tempat yang dikenal sebagai negara fesyen adalah Spanyol. Orang-orang Paris biasa mengimpor kain dari negara tersebut. Louis XIV tidak terima. Ia mau Paris jadi pusat segalanya termasuk fesyen mewah. Karena itu, ia membuat aturan yang membuat rakyat Perancis mau memasuki ranah usaha jahit menjahit. Dan Louis XIV memastikan seluruh rantai produksi fesyen adibusana bisa berpusat di Paris. Tak ada lagi impor kain atau baju dari negara lain.
Atlantic melaporkan bahwa Louis XIV pun turut mengatur seberapa cepat tren fesyen harus berganti. Hal itu kelak yang jadi pacuan para desainer dalam mengeluarkan koleksi busana teranyar setiap pergantian musim (prinsip yang berlaku di ranah fesyen dunia sampai hari ini).
Aturan-aturan yang diciptakan Louis XIV itu terbukti efektif. Paris sanggup menggantikan posisi Spanyol. Industri fesyen saat itu bahkan sudah mampu jadi salah satu motor penggerak perekonomian kota Paris.
Hitler tidak ingin hal tersebut berlangsung abadi. Lelong tentu saja tidak terima. Ia datang ke Berlin dan bilang kepada sejumlah pejabat Nazi bahwa proses produksi fesyen tidak akan berjalan mulus bila para pekerja, penjahit dan desainer, pindah dari tempat asal mereka. Para pejabat Jerman pun menuruti omongan Lelong.
Paris pada masa perang dunia II tetap jadi kota fesyen yang mempekerjakan 25.000 penjahit perempuan yang fokus di bidang bordir atau pemasangan manik-manik. Sebagian besar dari mereka adalah orang Yahudi.
DIOR by Christian Dior
Empat tahun setelah kejadian itu, yakni pada 1944, masih pada masa Perang Dunia II, Lelong tetap ingin menunjukkan kepada dunia bahwa Paris adalah kota fesyen. Harapan lainnya, ia bisa mendapat keuntungan lebih lewat penjualan barang fesyen.
Christian Dior, staf Lelong, adalah orang yang membantunya saat itu. Dior mulai bekerja dengan Lelong pada 1942 dan bertugas untuk merancang busana bagi klien yang sebagian besar adalah para istri pejabat Nazi.
Bagi Dior, menggambar bukanlah hal sulit. Ia hobi membuat sketsa dan pernah memiliki galeri seni pada 1920-an. Galeri seni tersebut ialah pemberian sang ayah, seorang pebisnis kaya asal Normandy, Perancis. Hidup Dior berubah kala bisnis ayahnya bangkrut dan perang mulai terjadi. Bekerja di ranah fesyen pun dirasa jadi jalan yang tepat untuk mencari uang.
Kebulatan hati Dior untuk mendirikan label busananya sendiri salah satunya muncul kala ia melihat kesuksesan proyek Lelong pada 1944-1945. Kala itu Lelong mengajak para desainer anggota asosiasi seperti Pierre Balmain, Jean Patou, dan Elsa Schiaparelli untuk membuat baju bagi 170 boneka. Boneka-boneka tersebut kemudian dipamerkan di Museum Louvre dan berhasil mendatangkan ratusan ribu pengunjung dan menghasilkan pendapatan jutaan franc. Kemudian pameran serupa diadakan pula di kota lain seperti Barcelona, London, Kopenhagen, dan San Francisco.
Pada 1946 Dior membuka rumah mode DIOR dengan prinsip melepas pakem gaya busana perempuan pada masa perang. Menurut laporan Independent yang dipublikasikan pada 11 Februari 1997, Dior muak dengan desain busana perempuan pada masa perang yang menurutnya tidak feminim. Perempuan bergaya dengan rok pendek berpotongan lurus dan jaket berpotongan maskulin.
Dior menciptakan koleksi New Look di mana ia membuat busana perempuan seperti jaket yang membentuk siluet pinggul pengguna, rok melebihi lutut, bahu dengan ganjalan, dan busana berkerah bundar. Ia tak segan-segan mendesain busana yang ‘bisa berdiri sendiri tanpa sanggahan’ lantaran dibuat dengan kain tebal, tulle, dan berbentuk lebar.
Lewat rancangannya, Dior seolah ingin ‘balas dendam’ atas segala keterbatasan yang mesti dilalui pada masa perang. Masa-masa ketika ia kesulitan mendapat kain dan harus bekerja dalam kondisi tidak kondusif lantaran keterbatasan listrik, air, hingga makanan.
Ketika perang usai, ia ingin lebih memuaskan klien dengan merancang busana-busana ekstravagan. Apalagi klien adibusana saat itu adalah kalangan elite Perancis dan para selebritas.
Busana karya Dior yang dipandang revolusioner itu mendapat pujian dari jurnalis mode di Paris. Dalam waktu singkat, rancangan Dior jadi tren di kalangan perempuan Paris. Aksi jiplak pun terjadi. Tapi hal itu tidak memberi pengaruh berarti bagi Dior.
Namanya kian melambung, bahkan sampai ke luar Paris. Dalam naskah yang terbit pada April 2012, Vogue melaporkan bahwa Dior pernah dipanggil keluarga kerajaan Inggris karena Putri Margaret menyukai rancangannya.
Di benua Amerika, penggemar setia Dior adalah Evita Peron. “Evita Peron adalah satu-satunya ratu yang pernah kudandani,” kata Dior seperti dikutip CR Fashion Book.
Mantan ibu negara Argentina itu kerap menghadiri acara kenegaraan dengan gaun lebar bertabur manik-manik berkilauan. Dior mendandaninya layaknya ratu.
Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, Dior mampu berekspansi hingga ke AS dan jadi idola sosialita di negara itu.
Feminim dan Feminis
Dior hanya bisa memimpin DIOR dalam waktu 10 tahun. Pada 24 Oktober 1957, tepat hari ini 62 tahun lalu, ia meninggal akibat serangan jantung. Bisnis rumah modenya terus berjalan. Orang pertama yang menggantikan posisi Dior sebagai perancang busana adalah Yves Saint Laurent. Waktu itu ia jadi direktur kreatif termuda dalam sejarah fesyen adibusana Eropa.
Sejak saat itu, entah disengaja maupun tidak, Dior seolah jadi label adibusana yang senantiasa memilih direktur kreatif dengan karakter tertentu yang mengundang perhatian.
Contoh lainnya adalah John Galiano. Pria tersebut menjabat sebagai direktur kreatif DIOR pada 1997, masa ketika DIOR merasa ranah adibusana perlu menyentuh konsumer yang lebih muda. Di tangan Galiano, DIOR tak melulu muncul sebagai label busana yang menghadirkan gaun-gaun lebar berkesan elegan. Galiano membuat DIOR jadi lebih berani lantaran menghadirkan busana-busana mini dan ketat. DIOR jadi terkesan sebagai label yang juga provokatif. Meski demikian, publik tetap menyukainya dan perusahaan tersebut terus mendapat keuntungan.
Lalu pada 2016 ditunjuklah Maria Grazia Chiuri sebagai perempuan pertama yang jadi direktur kreatif DIOR. Ia membawa prinsip baru dan mengubah feminitas jadi feminisme yang tersalur dalam gaya busana. Chiuri hadir kala gerakan Me Too tengah merebak di AS dan Eropa. Ia, yang kerap mengaku sebagai feminis, memanfaatkan momen tersebut dan membawanya ke ranah fesyen. Koleksi pertama Chiuri diisi dengan beberapa kaus bertuliskan “the future is female”, “we all should be feminist”, dan “sisterhood global”.
Kaos tersebut digunakan para pesohor seperti Bella Hadid dan Rihanna. Aksi itu bikin Chiuri semakin dielu-elukan di ranah mode. Sejauh itu, desainer fesyen yang berperan sebagai aktivis bisa dihitung dengan jari, di antaranya Vivienne Westwood dan Katharine Hamnett.
Chiuri selalu bilang bahwa dirinya ingin senantiasa melestarikan sejarah dan identitas DIOR. Menurutnya, pada masa ini, identitas tersebut layak diterapkan sebagai dukungan terhadap peran perempuan bukan hanya aksi memberontak aturan lewat gaya busana seperti tahun 1940-an.
Satu identitas yang tidak luntur adalah Bar Suit. Busana ikonik berupa setelan jaket dan rok yang diciptakan Dior pada 1947. Bar Suit terus direproduksi sampai hari ini—bentuknya tentu disesuaikan dengan selera dan karakter desain masing-masing direktur kreatif. Busana tersebut tetap jadi busana yang paling dicari dan paling dipuji.
Bar Suit adalah wujud imajinasi pertama Dior soal bagaimana perempuan harus bergaya setelah terkekang oleh masa perang. Bar Suit adalah Dior.
Editor: Ivan Aulia Ahsan