tirto.id - Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyatakan pesimistis Bank Indonesia (BI) masih memiliki ruang untuk menurunkan suku bunga acuannya pada tahun ini.
Menurut dia hal ini karena bank sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve) kemungkinan besar masih akan menaikkan suku bunganya sebanyak tiga kali selama 2017.
"Kalau BI tidak punya ruang untuk menurunkan bunga dan The Fed ( the Federal Reserve) terus menaikkan, tidak mengejutkan bila BI menaikkan bunga 25 hingga 50 basis poin, artinya cost of funds investasi menjadi mahal," kata Chatib dalam diskusi Prospek Ekonomi dan Bisnis 2017 di Graha CIMB Niaga, Jakarta, pada Selasa (24/1/2017) seperti dikutip Antara.
Menurut mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu besar kemungkinan bank sentral AS menaikkan Federal Funds Rate (FFR) menjadi lebih terbuka karena "the 10-year US Treasury bond yield" meningkat 80 basis poin, atau dari 1,6 persen menjadi 2,4 persen, semenjak Donald Trump terpilih menjadi Presiden AS.
"Kalau The Fed tidak mau tertinggal, The Fed harus menaikkan suku bunganya 75 sampai 100 basis poin, artinya tiga kali 25 atau empat kali 25 (basis poin)," ujar Chatib.
Kemungkinan besar, kata Chatib, peningkatannya terjadi tiga kali 25 basis poin mengingat sebelumnya, pada bulan Desember 2016, The Fed telah menaikkan suku bunganya sebesar 25 basis poin.
Penaikan FFR tersebut, kata Chatib, untuk mendukung kebijakan stimulus fiskal Trump, yaitu penerapan pemangkasan pajak dan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan peningkatan pembangunan infrastruktur.
Seperti dikutip dari laporan Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Trump berencana memangkas pajak pribadi dari tujuh golongan dengan tarif antara 10 dan 40 persen menjadi tiga golongan dengan tarif 12 hingga 33 persen. Sementara itu, pajak korporasi akan dipotong dari 35 persen menjadi 15 persen agar menarik kembali laba perusahaan AS yang selama ini disimpan di negara lain untuk menghindari pajak.
Rencana Trump tersebut bertujuan meningkatkan investasi sehingga dapat mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih besar.
Sementara itu, BI masih pesimistis kebijakan fiskal Amerika Serikat akan lebih agresif, sebagaimana yang dikatakan Presiden AS terpilih Donald Trump saat kampanye.
Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juda Agung mengatakan defisit anggaran AS saat ini mencapai 4,4 persen dari Product Domestic Bruto (PDB) dan utang pemerintahnya mencapai 106 persen dari PDB sehingga kebijakan fiskal yang agresif masih relatif sulit dilakukan.
"Artinya, ruang manuver bagi fiskal mungkin tidak seagresif yang disampaikan pada kampanye. Kami melihat mungkin ada adjustment (penyesuaian) dari yang disampaikan tersebut," ujar Juda pada Kamis (19/1/2017) lalu.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom