tirto.id - Titimangsa 1996 adalah tahun penting dalam karier militer Prabowo Subianto. Dia naik pangkat, dari Kolonel jadi Brigadir Jenderal. Sebenarnya itu hal biasa, apalagi bagi perwira pasukan khusus. Tapi jika itu bersamaan dengan jabatan baru bernama Komandan Jenderal (Danjen) dalam Komando Pasukan Khusus (Kopassus), barulah itu tak biasa.
Saat itu, Prabowo jadi orang nomor satu di satuan elite Angkatan Darat itu. Kala itu, kariernya diprediksikan bakal cemerlang sampai posisi panglima. Di tahun yang sama, Kolonel Chairawan Kadarsyah Nursyirwan juga memegang jabatan penting di tubuh Kopassus: komandan Grup IV (Sandi Yudha).
Chairawan satu angkatan dengan ipar Susilo Bambang Yudhoyono, Pramono Edhi Wibowo di Akabri. Mereka lulus 1980 dan keduanya lalu dinas di Kopassus.
“Chairawan besar di lingkungan Kopassus, khususnya Sandi Yudha, bagian dari Kopassus yang bertugas untuk mengumpulkan data intelijen tempur (combat-intelligence),” tulis peneliti militer, Made Supriatma. Sebelum menduduki jabatan itu, Chairawan pernah jadi satuan gugus tugas intel di Timor-Timur, tempat Prabowo pernah bertugas juga di sana.
Jadi komandan grup tentu suatu jenjang karier yang cukup baik. Pasukan Grup IV punya reputasi sebagai pasukan andalan. Sebelum dipimpin Chairawan, pasukan yang bermarkas di Cijantung pernah dipimpin Sintong Panjaitan, Luhut Binsar Panjaita, juga Edy Sudrajat—yang belakangan semua jadi jenderal. Jadi semacam ada pola, bahwa mantan Komandan Grup IV ini biasanya jadi jenderal.
Namun, di zaman Chairawan jadi komandan grup, satuan ini terlibat dalam kasus penculikan aktivis 1998. Para penculiknya dikenal sebagai Tim Mawar. Kasus penculikan itu bikin buruk muka Chairawan sebagai perwira. Media selalu menyorotnya dan mengaitkannya dengan penculikan 1998.
“Akibatnya, Chairawan dicopot dari kedudukannya sebagai komandan. Dia ‘diparkir’ di Mabes AD,” tulis Made.
Chairawan tak seapes Letnan Prabowo Subianto. Kariernya seperti Danjen pengganti Prabowo, Mayor Jenderal Muchdi PR. Meski tersangkut kasus besar --Muchdi adalah terdakwa di balik pembunuhan aktivis HAM, Munir Thalib-- dua-duanya tak pernah dipecat dari dinas.
Chairawan dan Muchdi, seperti dicatat buku Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (2000:431), hanya dibebastugaskan dari jabatan yang mereka sandang di tahun 1998 itu. Sedangkan Prabowo harus menerima kariernya tamat pada 1999.
Meski dibebastugaskan dari jabatan, karier Chairawan terus berlanjut dengan ditarik ke Badan Intelejen Strategis TNI, dan kemudian di Badan Intelejen Negara (BIN) juga. Muchdi sendiri pernah menjabat sebagai Direktur V BIN. Nasib Chairawan tak seapes bawahannya yang terlibat penculikan, seperti Mayor Bambang Kristiono yang kena pecat dan terpaksa harus jadi orang sipil.
“Setelah dipecat, hidup Bambang bergantung kepada Prabowo,” tulis Made.
Di luar jagat militer, Chairawan juga menjalani hidup sebagai pebisnis, bukan sebagai pendiri, tapi komisaris perusahaan. Dia pernah jadi Komisaris PT Cowell Indonesia—perusahaan yang bergerak di bidang pembangunan perumahan di sekitar pinggiran Jakarta dan Tangerang, berekspansi juga ke Kalimantan Timur.
Seperti banyak jenderal lain, selain ke dunia bisnis, Chairawan juga terjun ke dunia politik. Lagi-lagi, hidupnya tak jauh dari Prabowo. Dia bergabung dengan Partai Gerindra, dan langsung menjabat sebagai anggota Dewan Pembina Partai.
Sebagai petinggi Gerindra, Chairawan adalah salah satu pendukung penting Prabowo Subianto dalam maju menjadi calon Presiden. Jelang Pilpres 2014, bukan hal aneh jika Chairawan tampak sibuk. Dia berkeliling ke beberapa daerah. Termasuk di Aceh, tempat dia pernah ditugaskan. Seorang jenderal, apalagi dengan pengalaman sebagai perwira intelijen, tentu sangat berguna bagi sebuah partai.
Editor: Nuran Wibisono