tirto.id - Rumah sakit itu bernama Shifa. Letaknya berada di Gaza Tengah, Palestina. Pada halaman rumah sakit terbesar di Gaza itu, terdapat sebuah tenda yang didirikan memanjang, menutupi berbagai benda-benda hasil perang dari terik matahari.
Benda-benda itu di antaranya tiga bangkai ambulans yang dipajang sebagai pesan kepada sejumlah relawan medis dari berbagai negara: serangan kepada pekerja kemanusiaan selalu bisa terjadi di Gaza.
“Jadi dipajang juga pecahan bom, mortar yang tidak meledak, kemudian jas putih petugas medis yang terluka, beberapa foto lokasi sekolah yang kena bom, lokasi perumahan yang dihujani bom,” kata Presidium Medical Emergency Rescue Committee (MER-C) Indonesia Arief Rachman kepada Tirto, Kamis (7/6/2018).
Arief merupakan salah satu dokter yang sempat bertugas di Gaza. Ia menjalani peran sebagai relawan kemanusiaan di daerah konflik itu pada Januari hingga awal Mei 2010.
Waktu itu, ia bertugas bersama dokter spesialis penyakit dalam, dokter bedah, dan dokter bedah syaraf. Arief merupakan satu-satunya dokter umum dari MER-C yang ditugaskan ke Gaza saat itu.
Arief mengatakan relawan dari berbagai negara yang hendak membantu di Gaza langsung ditempatkan di RS Shifa. Penempatan mereka diatur Kementerian Kesehatan Palestina. Dokter spesialis ditempatkan di rumah sakit yang memiliki fasilitas bedah, sementara dokter umum bertugas di unit gawat darurat (UGD).
Para dokter dapat berpindah-pindah rumah sakit dalam menjalankan tugas asalkan berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan Palestina.
Keamanan Tenaga Medis
Meski konflik bersenjata antara pejuang Palestina dan tentara Israel berkecamuk Arief merasa keamanannya tetap terjamin. Ini karena menurutnya pemerintah Palestina selalu melindungi para relawan.
"Selama teman-teman mematuhi rambu-rambu yang diberikan staf dari kementerian, Insya Allah aman. Biasanya kalau memang kami mau bertugas ke RS tertentu dan perlu ke sana, biasanya akan diantar. Kemudian kalau pergi cuma sebentar, 3-4 jam, si sopir akan menunggu. Tapi kalau full shift, nanti si sopir akan menjemput," ujar Arief.
Dokter dari MER-C itu menyebut, fasilitas kesehatan di Gaza tak sebagus apa yang biasa ditemui di Indonesia. Bahkan tak ada fasilitas kesehatan setara puskesmas di sana. Namun, warga Palestina di Gaza bisa berobat gratis bila menggunakan fasilitas di klinik atau rumah sakit yang sudah bekerjasama dengan pemerintah.
Meski kerap merasa aman, Arief mengaku bahwa ia juga kadang takut mendengar dentuman bom dan suara pesawat yang terbang rendah. Ia sering mendengar suara bom dari tentara Israel di beberapa lokasi yang diduga menjadi markas Pejuang Hamas.
Kaget Mengetahui Nasib Pekerja Kemanusiaan
Arief kaget saat mengetahui ada relawan medis di Gaza yang tewas ditembak tentara Israel. Sebab menurutnya serangan terhadap tenaga medis tak dibenarkan meski dalam kondisi perang. Hal ini sesuai isi dari Konvesi Jenewa.
Pokok keempat Konvensi Jenewa menyatakan, menembaki petugas medis termasuk kejahatan perang. Dilarang keras pula menyerang rumah sakit, klinik, atau ambulans. Aturan yang sama ditegaskan kembali pada 2016 lewat Resolusi Dewan Keamanan PBB 2286 yang disponsori lebih dari 80 negara, termasuk Israel.
“Diskusi saya dengan beberapa dokter di sana, hal itu [penembakan] sering terjadi di Gaza. Ambulans yang membawa korban sering ditembaki. Bahkan seorang warga di Gaza Utara bercerita, ketika perang itu ambulans tak bisa masuk untuk ambil korban. Sehingga terpaksa warga mengantar korban ke Gaza dengan kereta keledai," kata Arief.
Sepengetahuan Arief, hingga kini belum ada tenaga medis asal Indonesia yang menjadi korban di Gaza. Namun, ia berharap tak ada lagi korban baik dari warga sipil maupun pekerja kemanusiaan di Gaza.
Arief berkata, peran Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) untuk mengamankan tenaga medis dan pekerja kemanusiaan di Gaza sangat dibutuhkan. Ia meminta pemerintah melalui Kemenlu selalu memberi bantuan untuk relawan yang hendak pergi ke Gaza. Sebab tidak mudah untuk masuk ke Gaza, harus mendapat izin dari Mesir dan Israel.
“Pengalaman kami, sebelum memberangkatkan tim ke Gaza selalu koordinasi dengan Kemenlu dan kedubes Indonesia di Kairo agar menyampaikan info untuk audiensi dengan kedubes Mesir. Jika ketiga [pihak] sudah beri lampu hijau, akan besar kemungkinan bisa masuk [ke Gaza],” katanya.
Nasib relawan kemanusiaan di Jalur Gaza mendapat sorotan usai Razan Najjar, seorang paramedis asal Palestina meninggal. Perempuan berusia 21 tahun itu tewas karena timah panas tentara Israel bersarang di tubuhnya saat hendak menolong korban unjuk rasa, Jumat (1/6/2018).
Ia ditembak di dadanya hingga peluru menembus punggung. Awalnya Razan diduga tak menyadari terkena tembakan, tapi ia mulai menangis dan berkata 'punggungku, punggungku' sebelum jatuh ke tanah.
Proses pemakaman Razan pada Sabtu (2/6/2018) waktu setempat dihadiri ribuan warga Palestina. Para petugas media mengenakan seragam putih, berbaris dalam prosesi pemakaman.
Razan Najjar menjadi perempuan kedua yang tewas di perbatasan Gaza dan Israel sejak protes massal yang dimulai pada awal Maret lalu. Perempuan pertama yang tewas adalah seorang pengunjuk rasa yang masih remaja.
Ia juga menjadi warga Palestina ke-119 yang tewas sejak gelombang protes di Gaza dimulai pada Maret 2018.
Data yang dikompilasi oleh Medical Aid for Palestinians (MAP) pada Oktober 2017 menunjukkan, sejak 2008 ada 145 petugas medis di Jalur Gaza yang terluka atau terbunuh oleh serangan militer Israel. Kebanyakan di antaranya berstatus sebagai sopir mobil ambulans.
Pengamat Internasional dari Universitas Indonesia Yon Machmudi berpendapat, jatuhnya korban jiwa dari kalangan pekerja kemanusiaan di Gaza selama ini terjadi karena kesalahan Israel. Menurutnya, Israel tak bisa membedakan siapa saja orang yang berperan sebagai pekerja kemanusiaan dan lawannya saat di Gaza.
"Ini saya kira persoalan ada di pihak Israel yang dalam beberapa hal tidak mengindahkan aturan-aturan internasional berkaitan dengan konflik dan perang," ujar Yon.
Ketua Program Studi Pascasarjana Kajian Timur Tengah UI itu menyarankan Indonesia terus menyerukan dunia internasional untuk menekan Israel. Menurutnya, harus ada sanksi dan peradilan yang digelar karena kebiasaan Israel menembak pegiat kemanusiaan atau wartawan di daerah konflik.
“Karena kalau tidak ada tekanan, dan didukung dunia internasional, maka peristiwa ini akan berulang terus. Karena itu Indonesia melalui PBB atau OKI [Organisasi Konferensi Islam] harus terus mempersoalkan pelanggaran yang dilakukan Israel,” ujarnya.
Yon juga menyerukan agar Indonesia berani memutus hubungan bisnis dan perdagangan dengan Israel. Menurutnya, hal itu paling mungkin dilakukan karena tak ada hubungan diplomasi resmi Indonesia dengan Israel hingga kini.
Pendapat senada disampaikan pengamat internasional dari LIPI Dewi Fortuna Anwar. Eks Deputi Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK) LIPI menyebut, seharusnya Indonesia tidak melakukan perdagangan dengan Israel jika ingin konsisten memutus hubungan dengan mereka.
"Dengan berbagai tindakan berutalnya, sudah seharusnya Israel diisolasi secara internasional seperti Afrika Selatan di bawah rezim apartheid. Serukan saja isolasi internasional terhadap Israel," ujar Dewi.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, hingga 2018 Indonesia dan Israel masih terjadi aktivitas impor dan ekspor. Nilai total perdagangan kedua negara mencapai $232.953 pada 2017. Perdagangan kedua negara meningkat 11,23 persen dari 2013-2017.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Jay Akbar