Menuju konten utama

6 Cerita Rakyat dari Aceh yang Sarat akan Pesan Moral

Ada banyak cerita rakyat dari Aceh dengan kisah menarik dan sarat pesan moral. Simak 6 cerita rakyat Aceh beserta ringkasan kisah dan pesan moralnya.

6 Cerita Rakyat dari Aceh yang Sarat akan Pesan Moral
Ilustrasi buku dongeng. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Banyak cerita rakyat dari Aceh menyajikan kisah-kisah menarik dengan kandungan pesan moral tertentu. Seperti cerita rakyat Indonesia lainnya, dongeng-dongeng rakyat Aceh itu juga merujuk pada karakter atau kisah fiksi.

Berbicara mengenai cerita rakyat Indonesia sebagai sastra lisan, kisah yang disuguhkan biasanya menyinggung budaya khas daerah masing-masing. Meskipun begitu, mayoritas cerita rakyat dari Indonesia mengandung pesan mendidik, hikmah, dan petuah tertentu.

Perkembangan teknologi membuat cerita rakyat, termasuk dari Aceh, bisa dibaca dalam dokumen tertulis. Umumnya, dongeng-dongeng yang sudah terdokumentasikan berupa cerita rakyat pendek. Kisah beberapa cerita rakyat Aceh bisa disimak di ulasan berikut.

Kumpulan Cerita Rakyat Aceh dan Pesan Moralnya

Ada sejumlah judul cerita rakyat dari Aceh yang sarat akan pesan moral. Beberapa cerita rakyat Aceh itu seperti Mentiko Betuah, Cut Caya dan Cut Cani, Bunga Melur dan Bunga Mawar, Legenda Gajah Puteh, Tempurung Kura-Kura, dan Banta Beuransah.

Berikut ringkasan 6 cerita rakyat pendek dari Aceh tersebut beserta penjelasan karakter, alur, dan pesan moralnya:

1. Cerita Rakyat Aceh Mentiko Betuah

Mentiko betuah diartikan sebagai batu bertuah. Cerita rakyat Aceh Mentiko Betuah berisi kisah kelahiran Rohib, anak raja negeri Simeulue.

Alkisah, sang raja dan permaisurinya semula sulit memperoleh keturunan. Mereka lantas memutuskan menjalani ritual mandi suci di sebuah sungai. Alhasil, keinginan mereka pun terkabulkan. Lahir seorang putra kerajaan yang bernama Rohib.

Namun, saat tersebut tumbuh dewasa, Rohib mengalami kegagalan dalam pembelajaran. Ayahnya kemudian memerintahkan Rohib mengasingkan diri dengan membawa sedikit perbekalan.

Di tengah pengasingan, Rohib bertemu orang-orang yang sedang mengganggu burung. Sebagai orang baik, ia pun mengusir manusia di hadapannya.

Penghargaan atas kebaikan ternyata dibalas langsung di depan muka. Muncul sosok ular yang memberinya hadiah batu bertuah. Konon, batu itu bisa mengabulkan berbagai hal, termasuk saat Rohib meminta uang koin sebanyak-banyaknya.

Ayah Rohib bangga dengan pencapaian anak semata wayangnya, bahkan sampai mencari tukang cincin untuk menjadikan batu ajaib tersebut perhiasan. Namun, nahasnya barang yang sulit diperoleh itu malah dicuri.

Sang ular lantas memerintahkan anjing, kucing, dan tikus, untuk menemukan cincin yang hilang. Kendati berhasil menemukannya, tikus ternyata sudah menyiapkan strategi untuk menguasai batu bertuah.

Cerita rakyat pendek dari Aceh ini mengandung pesan moral supaya tidak memercayakan barang berharga kepada orang lain, apalagi tanpa perikatan atau perjanjian tertentu. Di cerita yang sama, tersurat pula pesan moral bahwa kita tidak boleh mengabaikan amanat.

Karakter cerita rakyat Aceh Mentiko Betuah: Rohib, Raja, Permaisuri, Ular, Tikus, Burung, Anjing, Kucing

2. Cerita Rakyat Cut Caya dan Cut Cani

Cerita rakyat Cut Caya dan Cut Cani mengisahkan dua anak yang kehilangan salah satu orang tuanya. Cani kehilangan ayah, sementara Caya tidak memilki ibu.

Pada awalnya, mereka tidak mengenal satu sama lain. Cani setiap hari bertugas menjaga rumah sambil bermain seorang diri, terutama saat sang ibu pergi berkebun. Keluarga ini memiliki kebun dengan tanaman melimpah dan bisa dipanen setiap hari.

Di sisi lain, Caya tinggal bersama ayahnya yang berprofesi sebagai pemburu. Berbeda dari Cani, Caya lebih banyak mengonsumsi daging hasil buruan orangtuanya.

Suatu hari, Caya dan Cani secara tidak sengaja bertemu saat bermain di luar rumah. Dua anak ini lantas saling membagi bekal yang berbeda, bercanda ria, serta menikmati hari-hari di daerah tempat tinggalnya.

Cut Caya dan Cut Cani kemudian ingin orang tua keduanya bersatu dalam pernikahan. Dengan latar belakang ingin bersatu, Caya dan Cani bersikeras membujuk ayah maupun ibunya agar menikah.

Ayah Caya dan Ibu Cani pun pada akhirnya menikah atas dasar ingin membahagiakan anaknya masing-masing. Mereka berempat hidup bahagia di satu tempat yang sama, menikmati lauk pauk kombinasi dari profesi ayah-ibu.

Pesan moral cerita rakyat dari Aceh ini adalah keindahan jika saling berbagi antarsesama, menjalin persahabatan, dan kasih sayang. Dengan ketiga hal tersebut, mereka akhirnya dipersatukan dalam ikatan sehingga bisa menutupi kekurangan.

Karakter cerita rakyat Cut Caya dan Cut Cani: Cut Cani, Ibu Cut Cani, Cut Caya, Ayah Cut Caya.

3. Legenda Gajah Puteh

Cerita rakyat dari Aceh, Gajah Puteh, dapat ditemukan dalam buku 108 Cerita Rakyat Terbaik Asli Nusantara (Reza, 2010). Kisah yang disuguhkan dalam karya tersebut menggunakan latar tempat Kerajaan Linge.

Alkisah, keluarga Kerajaan Linge mempunyai anak yang bernama Si Bener Meriah dan Sengeda. Nasib nahas diterima Bener Meriah lantaran dituduh oleh ayahnya sendiri akan menggulingkan pemerintahan.

Anak yang sakit hati pun pergi mengasingkan ke sebuah hutan, melakukan meditasi, dan merapal doa. Adapun doa yang dipanjatkan oleh Bener Meriah ialah “ingin menjadi seekor gajah putih, kemudian mengamuk di Linge.” Doa ini pun terkabul.

Sengeda ternyata punya kontak batin yang mendalam dengan kakak sekaligus guru bela dirinya itu. Adik dari Bener Meriah tersebut mempelajari berbagai metode penaklukan gajah, termasuk dengan menari.

Tibalah masa Gajah Puteh jelmaan Bener Meriah muncul dan mengobrak-abrik Kerajaan Linge. Sengeda dengan niat baik berusaha menenangkan kakaknya sendiri, lewat tarian bela diri yang sudah dipelajari olehnya lewat mimpi.

Gajah Puteh jelmaan Bener Meriah berhasil ditaklukan oleh Sengeda. Pascamengamuk, Bener Meriah diserahkan ke pihak kerajaan lain untuk dirawat.

Cerita rakyat Aceh di atas menyiratkan pesan moral bahwa kita tidak boleh sembarangan memfitnah orang lain, apalagi keluarga sendiri. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di dalam hati dan pikirannya, sehingga harus dicegah sebelum ada hal buruk terjadi.

Karakter utamma di cerita rakyat dari Aceh Legenda Gajah Puteh: Bener Meriah (Gajah Puteh), Sengeda, Raja Kerajaan Linge.

4. Cerita Rakyat Tempurung Kura-kura (Bruek Kura)

Kisah dongeng dari Aceh ini termuat di Cerita Rakyat Aceh: Aceh, Indonesia, dan Inggris terjemahan Muhibbudin (2014). Cerita rakyat dari Aceh Tempurung Kura-kura berkisah tentang suami-istri yang bersedih karena tidak kunjung punya buah hati.

Keterpurukan itu tidak memberhentikan niat mereka untuk memperoleh anak. Pasangan ini bahkan sampai berdoa ingin diberikan buah hati meskipun “mirip kura-kura”. Doa itu akhirnya terkabul. Lahir sosok anak bertempurung, menyerupai kura-kura.

Setelah dewasa, pria bertempurung itu punya keahlian memancing. Ia hampir seminggu mencari ikan dan setiap harinya mengirim hasil tangkapan kepada raja setempat.

Suatu hari, dia menyuruh ibunya untuk melamar putri raja, tetapi mengalami penolakan. Saat kesempatan kedua datang, ternyata putri raja menerima lamaran pria tempurung. Akan tetapi, raja tidak merestui hubungan mereka.

Akibatnya, mereka hanya menempati sebuah gubuk. Keajaiban anak bertempurung kura-kura ternyata ada. Ia bisa memperoleh harta, tanah, dan segala hal berharga.

Namun demikian, putri raja selaku istri tidak pernah mengetahui dari mana kekayaan itu muncul. Hingga pada suatu hari, ia memergoki suaminya yang sedang menyembunyikan tempurung, kemudian pergi ke pasar.

Tempurung itu disembunyikan oleh putri raja, sehingga anak bertempurung yang menjadi manusia secara utuh mengalami kebingungan. Kisah pun dilanjutkan dengan pengakuan tentang wujud dan asal harta kekayaan yang selama ini muncul. Harta kekayaan mereka lantas terus meningkat sampai bisa menyaingi barang-barang dan tanah kerajaan.

Cerita rakyat dari Aceh di atas menyiratkan pesan moral untuk tidak memandang sebelah mata orang lain berdasarkan status ataupun wujudnya. Kita dapat bercermin dari tokoh putri raja yang mau menerima kekurangan pria bertempurung.

Selain itu, kebohongan juga sebaiknya jangan pernah dilakukan karena harus disambung bualan lain. Kejujuran lebih penting agar semua pihak tidak merasa saling dibohongi.

Karakter dalam cerita rakyat Aceh Tempurung Kura-kura: Pria Bertempurung, Putri Raja, Ibu Pria Bertempurung, Raja.

5. Cerita Rakyat Aceh Banta Beuransah

Dongeng Banta Beuransah adalah cerita rakyat dari Aceh yang mengisahkan sosok anak yatim yang tinggal bersama ibunya di suatu perkampungan terpencil. Anak tadi bernama Banta Beuransah.

Hidup serba kekurangan, mereka berdua mendapatkan harapan cerah kala raja setempat mengadakan sayembara. Sayembara tersebut mencari orang yang mampu menciptakan baju dari emas, sementara hadiahnya adalah menikah dengan putri raja.

Banta pun berangkat ke negeri seberang untuk mencari bahan-bahan pembuatan baju emas. Lantaran tidak punya kekayaan yang berlebih, dia menutupi biaya pembuatan baju dengan menjual jasa bernyanyi.

Ketika dirinya pulang dari negeri seberang, diantar oleh pamannya yang bernama Jakub, Banta ternyata dikadali. Barang mewah yang sudah dibuatnya susah payah dan berpeluh keringat malah dicuri oleh Jakub. Sialnya lagi, Banta dibuang ke laut.

Beruntung, Banta diselamatkan oleh sejumlah nelayan dan kemudian dirawat selama dua hari. Sementara itu, kabar Jakub yang memenangkan sayembara terdengar di seluruh penjuru kerajaan.

Banta yang ingin menonton acara merayakan pemenang sayembara malah mendapatkan keajaiban. Muncul seekor burung elang dengan ketinggian rendah, kemudian menyatakan bahwa baju emas yang memenangkan sayembara merupakan buatan Banta.

Jakub pun lari setelah rencana busuknya terbongkar, sementara Banta dinikahkan dengan putri raja. Bahkan, Banta Beuransah juga dikisahkan menjadi penerus kerajaan tersebut.

Karakter cerita rakyat Aceh Banta Beuransah: Banta Beuransah, Tuan Putri, Raja, Jakub, Ibu Banta.

6. Hikayat Cabe Rawit

Hikayat Cabe Rawit adalah cerita rakyat dari Aceh Selatan. Kisah dalam hikayat ini hampir serupa alurnya dengan dongeng Tempurung Kura-Kura.

Cerita juga bermula dari pasangan yang sulit punya keturunan. Namun, dalam hikayat ini, pasangan suami-istri itu bersumpah ingin punya anak meskipun “sebesar cabe rawit”.

Benar saja, keluarga serba kekurangan harta tersebut akhirnya mendapatkan buah hati yang amat kecil ukurannya sehingga dijuluki Cabe Rawit.

Pada suatu hari, diceritakan bahwa suami dari keluarga kecil meninggal dunia. Sementara ibu Cabe Rawit sedang sakit-sakitan, tidak bisa bangun maupun mencari penghasilan di luar.

Cabe Rawit yang mungil kemudian bersedia mencari pekerjaan di pasar. Namun, ia malah mendapatkan keuntungan tak terduga.

Pada hari pertama pergi ke pasar, ia mendapatkan pisang yang ditinggalkan penjualnya karena ketakutan mendengar suara Cabe Rawit. Peristiwa itu terjadi lantaran tubuh Cabe Rawit yang seukuran cabai tidak mudah terlihat saat ia bersuara.

Kejadian yang serupa berulang saat Cabe Rawit menghampiri pedagang beras, ikan, dan barang dagangan lain di pasar.

Kesejahteraan Cabe Rawit bersama orang tua satu-satunya pun perlahan meningkat. Hal tersebut menyebabkan tetangga, warga sekitar, pedagang, dan kepala desa curiga pada mereka. Para warga desa lantas berniat mendatangi rumah ibu Cabe Rawit.

Namun sesampainya di rumah ibu Cabe Rawit, mereka justru kaget melihat janda yang mempunyai anak sekecil cabai. Kendati niat awalnya menggerebek, warga desa malah mengirim bantuan untuk keluarga miskin itu.

Cerita rakyat dari Aceh di atas mengisyaratkan bahwa kita tidak boleh mengucap sumpah sembarangan, apalagi terkait masa depan. Hikayat Cabai Rawit juga mengajarkan bahwa di balik kesusahan, sering kali ada kemudahan dan keberuntungan.

Karakter dalam cerita rakyat dari Aceh Hikayat Cabe Rawit: Anak berjuluk Cabe Rawit, Ayah, Ibu, pedagang pasar, warga desa.

Baca juga artikel terkait CERITA RAKYAT atau tulisan lainnya

tirto.id - Edusains
Kontributor: Yuda Prinada
Editor: Addi M Idhom